Sebuah ketukan di pintu membuyarkan lamunan Mina. Ia mempersilakan sang pemilik suara yang jelas ia kenal untuk masuk.
"Hai! Boleh kami masuk?" Jini dan Vee berdiri di depan pintu.
"Pake minta izin segala! Masuuk!" Mina membuka kedua tangannya lebar-lebar meminta pelukan.
Kedua perempuan itu menghampiri dengan cepat ke arah Mina dan meski mereka sangat ingin berpelukan sangat erat, mereka tak bisa melakukannya karena Vee berbadan dua.
"Gila, kamu, Min! Aku ga percaya kamu ngelakuin ini! Kamu sama Yungi! Astagaaa!" Vee berbicara dengan nada tak percaya.
Well, siapa yang akan menyangka juga Mina, si Wanita Kolot dan Yungi, Sang Playboy Cap Kadal?
"Iya, Min! Kamu yakin? Maksudku ini emang udah bukan waktunya nanya kali ya! Terlambat juga. Tapi, wow! Kamu dan Yungi hahahaha!" Jini tertawa.
"Sebenarnya sih, aku sendiri juga ga percaya! Tapi aku kasihan sama anak-anaknya! Mereka butuh sosok ayah dan ibu." Mina berbicara datar. Pandangannya agak kabur, sekabur ucapannya.
Sebenarnya ia juga merasa itu seperti mimpi, tapi kalau dia bisa mengulang waktu, dia juga tidak punya pilihan jika skenarionya sama.
"Ini bukan akting, kan? Kamu ga ada kontrak-kontrakan sama dia, kan?" Vee memastikan.
"Kontrak apaan? Kamu pikir ini proyekan! Jangan ngaco, Vee!" sahut Mina.
"Terus gimana? Ga kebayang kamu sama dia satu kamar! Hiii!" Jini bergidik tapi dia juga tertawa mengejek.
"Iya bukan adegan ranjang ya kan? yang ada malah perang!" Vee ikut tertawa.
"Duh, amit-amit ngebayangin aku sama dia gituan!" Mina ngelus-ngelus perutnya sambil geleng-geleng kepala.
"Jangan bilang amit-amit, nanti kejadian loh!" Jini mengingatkan.
"Pengalaman ya Jin?" ejek Vee.
"Heeh!" Jini nyengir.
Semuanya tertawa.
"Aku ganggu ga?" Tetiba Yungi berdiri di depan pintu.
"Wah! Nggak lah!" Jini langsung berdiri dari duduknya sambil senyum-senyum. Ia lalu berjalan ke arah Yungi.
"Buru-buru amat, Yun! Malam masih awal loh!" goda Vee yang menyusul Jini.
Sementara itu wajah Mina memerah malu.
"Apaan sih kalian? Orang tua aku pengen ngobrol sama aku dan Mina. Ga ada yang aneh kok!" Yungi menjawab tenang.
"Aneh-aneh juga ga pa pa kok, Yun! Kan udah sah!" lanjut Vee sambil menepuk bahu Yungi pelan.
"Apaan sih kalian?" Yungi dan Mina kompak menjawab. Mereka saling tatap dan tetiba wajah mereka terlihat malu.
"Wow, kompak nih! Padahal ga janjian hihi!" celetuk Jini dan langsung kabur. Vee menyusul di belakangnya sambil senyum-senyum.
Tersisa hanya mereka berdua. Mereka saling menatap.
"Ga ganti baju?" tanya Yungi dengan nada bicara agak canggung.
"Iya, mau." Mina berdiri dengan cepat dari duduknya melangkah menuju Yungi dan mendorongnya keluar.
"Kok didorong?" Yungi coba bercanda. Padahal tampak jelas nada bicaranya gugup.
"Biasa aja Yun. Jangan kayak gini ah! Awkward nih! ga enak! keluar! Mau ganti dulu!" nada Mina juga gugup.
"Tapi nanti aku tidur sini kan?" Yungi menoleh sebelum ia keluar.
"Iya. Di sini. Lagian ada banyak hal yang perlu kita omongin. Tapi, nanti aja kalau urusan sama mamah dan papah kamu kelar ya!" sahut Mina sambil menutup pintu pelan.
Yungi hanya mengangguk dan berlalu. Ia sendiri belum ganti pakaian, tapi sudah melepas jas dan dasi pernikahannya sehingga tidak seformal dan seribet Mina.
Tak lama mereka sudah berada di ruang tengah. Ayah dan Ibu Yungi duduk berhadapan dengan Yungi dan Mina yang juga duduk bersebelahan.
Suasana hening dan terlihat agak tegang. Bagaimanapun pernikahan mereka tidaklah direncanakan.
"Mina," sahut Ibunya Yungi lembut.
"Iya, Tante," jawab Mina dengan suara yang lembut juga.
"Kok tante sih? Sekarang kami kan orang tua kamu juga. Panggil Tante... Mama dong," pinta ibunya Yungi sambil tersenyum ramah.
Mina terkejut. Itu benar, tapi ia sama sekali tak berpikir ke arah sana.
"I, ... Iya Ma," jawab Mina gugup.
Ia berusaha menyunggingkan sebuah senyuman agar tak terlihat tegang dan kaku.
"Mama berterima kasih banyak sama kamu untuk semuanya." Mama Yungi berkata tulus.
"Ga apa-apa, Ma," sahut Mina. Ada nada bingung di sana, khususnya saat Mama Yungi menekankan kata 'semuanya'.
"Sebenarnya, Mama ingin bilang ini dari dulu. Mama dengar dulu dari Erika, kamu banyak bantu dia selama Yungi ga ada. Kamu juga jagain Juna dan Yuna seperti anak kamu sendiri. Dan kamu tuh ga sekadar jagain, tapi beneran ngemong, ngerawat, beneran ngurus mereka kayak anak kamu sendiri. Kami sangat bersyukur. Ga ada yang lebih berhak atas mereka kecuali kamu. Makanya Mama sangat setuju kalau kalian bersama." Mama Yungi menjeda.
Sementara menunggunya melanjutkan pembicaraan, Mina mencoba mencerna apa yang ingin mertua perempuannya itu bilang. Sekarang, dalam hitungan jeda detik itu, dia dengan cepat tercerahkan dengan definisi kata 'semuanya'.
Dan itu belum selesai. Kenyataannya setelah itu Mama Yungi melanjutkan lagi pembicaraan dan kali itu lebih menekankan pada hubungan keduanya.
"Ini pernikahannya kan mendadak, ya! Jadi, sebenarnya kalian ini saling cinta atau ada perasaan gimana gitu?" Mama Yungi menatap Yungi dan Mina bergantian.
Kedua wajah langsung memerah.
"Apaan sih Ma! Kita temenan aja ga lebih ga kurang!" sahut Yungi sambil menggaruk kepalanya, tapi sebenarnya tak gatal.
"Iya, Ma. Nanti kalau Yungi sudah menemukan perempuan yang cocok, khususnya yang anak-anak pikir sesuai juga dengan mereka, saya ga keberatan untuk bercerai, Ma," ujar Mina.
"Hus! Ga boleh bilang gitu. Pamali. Nanti Malaikat catat. Jangan bilang gitu!" Mamanya langsung menimpali.
Mina terkejut. Tapi, itu yang sebenarnya ada di pikirannya. Pernikahan tanpa cinta jarang bertahan dan dia tahu persis Yungi bukan orang yang akan memperjuangkan orang macam dirinya atau sesuatu yang tidak ada artinya untuk dia.
"Iya, jangan bilang gitu. Papa sama Mama juga dulu gitu. Dijodohkan, ga saling kenal. Jadi, setelah nikah ada banyak hal yang kami pelajari bersama. Dan kami masih bisa bersama dan bahagia. Tidak apa-apa. Kan cinta bisa menyusul, ya, Ma!" Papa Yungi menatap Mama Yungi sambil tersenyum. Ia meraih tangannya sambil menciumnya lembut dan tersenyum. Mama Yungi tersenyum sambil mengangguk.
Pemandangan itu membuat kedua orang di hadapannya tersipu malu. Keduanya berada pada pemikirannya masing-masing sejenak, merasa tidak mungkin mereka bisa melakukan hal seperti itu. Membayangkannya saja sudah membuat keduanya bergidik.
"Papa sih berharap kalian kayak kami juga, berjuang bersama. Apalagi sekarang kalian ada anak yang harus dipertahankan juga, kan?" Papa Yungi melanjutkan.
"Iya, Pah! Kami paham. Doakan kami ya Pah, biar kami seperti Mama dan Papa." Yungi tersenyum.
Ia lalu meraih tangan Mina dan menggenggamnya erat, membuat Mina agak kaget dan menoleh ke arahnya sambil melotot. Raut wajahnya terlihat kesal. Sementara Yungi membalas tatapannya sambil tersenyum tengil.
"Syukurlah kalau begitu. Mama dan Papa tenang meninggalkan kalian. O, iya, Yun, ga usah pikirin soal uang. Mama dan Papa sudah berniat memberikan hadiah pernikahan untuk kamu dan Mina. Ini!" sahut Mama Yungi menyerahkan selembar cek dengan jumlah nominal yang fantastis.
"Ma, ini sangat besar!" Yungi melotot.
"Kamu tuh anak Mama sama Papa satu-satunya. Dan keras kepala juga! ga pernah mau menerima pemberian kami. Udah ga usah sok-sokan ga butuh ah. Sekarang waktunya kamu menerima uluran tangan kami. Mama sama Papa bangga dengan gaya pikir dan prinsip kamu. Tapi ada kalanya kamu juga harus berlari kepada kami. Kamu tahu kami selalu ada buat kamu, paham!" Mama Yungi menatap Yungi sambil tersenyum.
"Ma!" Suara Yungi tercekat. Matanya berkaca-kaca.
Ia menatap Mina sejenak sambil tersenyum dan kemudian menunduk. Ia agak terkejut saat tangan Mina mengelus lembut punggungnya.
Sekali lagi Yungi menoleh ke arah Mina yang menatapnya lembut dan hangat sambil tersenyum. Selama lebih dua puluh tahun mereka berteman, itu baru kali pertama untuk Yungi melihat sisi Mina yang menurutnya berbeda dan ia suka.
Yungi membalas senyumannya sambil menganggukkan kepala.
Pembicaraan bergulir ngalor ngidul selama beberapa waktu dan kebanyakan lebih berbicara tentang bagaimana ayah dan ibu Yungi menghadapi situasi setelah mereka baru saja menikah.
"Pokoknya semuanya ada waktunya. Karena kalian adalah keluarga sekarang, jadi sebaiknya kalian bekerja sama dan berkomunikasi lebih baik. Saat ini itu yang paling dibutuhkan," sahut Papa Yungi.
"Iya, itu benar. Kalian ada rencana bulan madu ke mana?" Mama Yungi menegaskan pertanyaan Papa Yungi lalu bertanya hal lain.
Deg. Yungi agak tersentak. Mau bilang apa soal ini. Bulan madu yang ia rencanakan ke Eropa dengan Soraya sudah tidak mungkin dilakukan.
"Kami mau pergi ke Jepang, Ma. Sebenarnya, saya dan anak-anak sudah membuat rencananya sejak lama. Kalau Yungi dan Soraya bulan madu, kami akan pergi ke Jepang. Kebetulan kan waktu liburan sekolah juga." Mina menjelaskan.
"What??? Kok aku ga tahu soal ini sih?" Yungi menatap Mina kaget. Ekspresi di wajahnya jelas marah.
"Kan aku udah bilang, Yun. Udah lama banget ini! Inget ga waktu aku telfon kamu waktu kamu lagi di Jakarta. Terus waktu itu aku minta izin buat bawa anak-anak kamu buat liburan ke Jepang. Terus kamu bilang oke dan bahkan kamu minta tolong aku urusin paspor dan visa mereka juga. Nah dah gitu kamu tutup soalnya kamu lagi nanggung. kayaknya sih lagi mantap-mantap tuh sama cewek kamu. Orang jelas banget aku denger suara Soraya cekikikan di belakang kamu macam kuntilanak hahahaha!" Mina skakmat Yungi dengan santainya.
"Ah oke... oke, paham!" Yungi langsung menutup mulut Mina karena terlihat ia akan buka mulut lagi.
Semua tertawa.
"Oke deh! Enjoy aja semuanya ya! Mama sama Papa ga khawatir kalau gitu. Semangat dengan keluarga baru kalian ya! Besok kami balik ke Ausi. Jadi ga akan ganggu kalian kalau mau have fun! ujar Papa sambil senyum-senyum.
"Apaan sih Pah! Kami ga ada rencana buat ke arah sana. Ini murni teman tapi nikah aja!" ujar Yungi. Dan Mina langsung mengamini.
"Ga bisa gitu. Dosa itu. Ya udah. Sekarang kami mau balik ke hotel ya, mumpung masih ga terlalu malam," ujar Papa. Mereka berdiri dan berpelukan. Setelah itu pamit seusai melihat anak-anak yang sudah nyenyak di kamar mereka karena kelelahan.
Orang tua Yungi adalah pasangan terakhir yang pamit dari rumah. Ketika mereka berbicara, teman-teman anggota Circle 7 sudah pulang ke hotel. Mereka memang tidak akan langsung pulang ke negara masing-masing karena ambil cuti seminggu untuk menikmati Bandung dan sekitarnya.
Mina berjalan menuju kamarnya disusul Yungi dari belakangnya.
"Aku tidur sama kamu kan?" Yungi tersenyum tengil.
"Iya, tapi pisah ranjang. Ingat waktu kita dulu kuliah dan pergi sewa Vila di Ciwalini kan? Kita satu kamar juga dan pisah ranjang juga. Nah, mirip lah kayak gitu," jelas Mina.
"Hah! Tapi kita kan suami istri sekarang. Seranjang juga, aku ga bakalan kesetrum sama kamu," nada Yungi merendahkan.
Mereka sudah duduk di bibir ranjang sekarang berdampingan.
"Iya, aku juga yakin itu. Cuma aku khawatir khilaf." Mina memainkan alisnya sambil senyum-senyum.
"Tsk! bilang aja pengen ranjang luas biar enak gelipakan! Kamu kan kalau tidur motah jiga lauk( banyak gerak seperti ikan)!" Yungi mengerling. Ia membawa satu bantal dan selimut.
"Aku tidur di mana?" tanya Yungi lagi.
"Sofa bed. Ntar aku gelarin buat kamu deh. Mendingan sekarang ganti baju sana." Mina memerintah.
"Ih, aku ga bawa baju Min. Semuanya kan di rumah sana!" Yungi nunjuk rumah seberang. Rumahnya.
"Iya, makanya sana ambil dulu!" sahut Mina.
"Ih ga mau ah! Males juga... cape ah!" Yungi langsung bawa bantal yang barusan ia simpan di ranjang, siap menaiki sofa.
"Tsk! Kamu nyebelin ah! Ya udah kamu ganti pakai baju Awan! Mau tidur bau kayak gitu. Mandi dulu. Tunggu sini!" Mina menggerutu sambil berjalan menuju kloset dan tak lama. kemudian dia keluar membawa sebuah piyama dan handuk.
"Nih! Mandi sana!" ujar Mina.
Yungi agak tercengang.
"Ini piyamanya Awan loh, Min! Kamu yakin?" Yungi menatap Mina.
"Iya, ga apa-apa. Awan juga pasti seneng kalau barangnya bermanfaat buat orang lain. cepetan sana!" Mina menarik lengan Yungi dan membawanya ke arah kamar mandi.
Yungi diam sejenak di balik pintu kamar mandi. Itu pertama kali untuknya berada di kamar Mina, terlebih sekarang kamar mandinya.
Ia menghela napas panjang. Ada begitu banyak pikiran di dalam otaknya dan beberapa di antaranya adalah pertanyaan- pertanyaan yang berkaitan dengan hubungan dirinya dan Mina.
Shower yang mengucur deras membasahi kepala dan tubuhnya lumayan membuatnya agak dingin dan tenang dan akhirnya sambil ia memakai pakaian ia menarik sebuah kesimpulan bahwa ia harus berbicara dengan Mina tentang hubungan mereka.
Yungi keluar dari kamar mandi dan dengan rambut yang masih basah dan handuknya menumpanh singgah di salah satu pundaknya.
"Wow!" Yungi tercengang sebab saat ia keluar dari kamar mandi, ia mendapati pemandangan yang membuatnya terpukau. Yang pertama sofa bednya yang sudah tertata rapi, siap ia tiduri. Yang kedua, Mina dengan pakaian piyama yang meskipun tertutup menurutnya terlihat sangat manis.
"Sudah selesai?" Mina, duduk di atas ranjangnya berselimut tengah menulis sesuatu di atas buku beralaskan bantal menurunkan kacamatanya.
Yungi mengangguk sambil tersenyum dan berjalan melangkah ke arah sofa bed.
"Kenapa rambutnya masih basah?" Alis mata Mina mengernyit.
"Ga pa pa. Nanti juga kering." Ujar Yungi.
"Kebiasaan buruk itu! Ga boleh itu!" Nada Mina terdengar kesal. Ia turun dari ranjangnya mendekati Yungi dan menghadapkan ke arahnya.
"Ini handuk dekorasi pundak ya, Yun?" Mina mengerling. Ia mengambil handuk dari pundak Yungi dan menyimpannya ke rambut Yungi lalu mengeringkan dengan kedua tangan Mina.
"Sekarang aku tahu dari mana kebiasaan Arjuna kayak gini! Kamu rupanya gurunya! Guru badung ini mah! ngajarin anak ga bener!" Mina menggerutu tapi masih mengeringkan rambut Yungi.
Ia bahkan tak sadar Yungi tengah asyik menatap dirinya yang tengah mengomel itu. Mina tak tahu bahwa Yungi tengah asyik mencium bau tubuhnya yang jelas bukan dari parfum yang ia semprotkan ke tubuhnya. Toh yang Yungi tahu Mina hampir tak pernah pakai parfum.
Bagi Yungi momen itu adalah pertama kalinya ia benar-benar berhadapan dengan Mina secara dekat. Selama mereka berteman, interaksi mereka tidak pernah mengharuskan mereka sedekat itu.
"Sini duduk!" ujar Mina sambil menarik tangan Yungi membawanya ke meja rias. Ia menyalakan mesin pengering rambut dan menyemprotkan sprayer ke rambut Yungi beberapa kali lalu mulai mengeringkan dengan mesinnya.
"Apa?" Tatapan mereka beradu melalui cermin.
"Pasti kamu mau nanya kamu ke Awan sering kayak gini, Min?" Mina bersuara.
"Wah, itu dia pertanyaanku. Tepat sasaran!" sahut Yungi sambil mengangguk.
"Oh. Kadang-kadang aja. Tapi kalau ke anak-anak sering banget. Mereka tuh kalau aku belum ngomel kayaknya gimana gitu!" Nada Mina terdengar seperti keluhan.
Yungi mengangguk.
"Tapi ya udahlah! Mau gimana lagi Namanya juga anak-anak!" sambungnya.
"Udah selesai. Sekarang kamu bisa tidur." Mina mematikan mesin pengering.
"Makasih!" ujar Yungi.
"Sip!" jawab Mina santai.
"O, ya, Yun, kamu ikut kami ke Jepang atau nggak ya?" tanya Mina saat keduanya baru menarik selimut.
"O, iya. Pasti. Masa iya aku sendiri di sini. Aku ga mau ditinggalin sendirian."
"Oke. Kalau gitu kita omongin lagi besok ya gimana gimananya. Sekarang istirahat aja," ujar Mina sambil menarik lampu di atas nakas dan mematikannya.
"Hmm!" Yungi mengumam sambil merebah.
Keduanya menutup mata. Mereka harus membuat energi untuk menghadapi besok.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments