Bab 7 Pas
Yungi melirik jam tangannya. Sudah hampir tengah malam dan mereka masih berada di tepi jalan, pada posisi memeluk Mina yang tengah menangis sesenggukan. Alasan menangisnya tentu saja belum ketahuan dan ia yakin setelah selesai, Mina tidak akan mengatakan apa saja tentang itu.
Terlalu banyak hal yang Yungi tidak tahu. Jadi, ia mencoba mengurainya sendiri. Pikirannya melayang pada acara kumpul barusan. Pertama, sekarang ia tahu bahwa Jay menyukai Mina. Artinya, meskipun mereka teman, pada saat yang sama mereka juga saingan. Tapi ia juga menyangsikan kata ‘saingan’ cocok dengan definisi hubungan dia dan Jay. Pasalnya jika harus memilih, Mina pasti memilih Jay. Setidaknya, sejak dulu mereka lebih dekat dibandingkan dia dan Mina. Di mana dirinya saat dulu Mina memerlukan seseorang untuknya. Justru sebaliknya, dia yang selalu mengandalkan Mina dan Jay jika terjadi masalah kepadanya. Selain itu juga yang dikatakan Jay memang benar, bahwa Mina jatuh cinta kepada Yuna dan Juna dan alasan menikahinya karena kedua anaknya, bukan karena Mina murni menyukai dirinya.
Lalu, pikiran Yungi terhenti pada kejadian permainan. Ada sesuatu yang menyeruak panas di dalam hatinya. Tetiba ia kesal saat Mina menjadi sumber pertanyaan. Dan apa pula pertanyaannya. Si Justin dan Vee keterlaluan. Kenapa ada pertanyaan semacam itu. Eh, tapi dia juga penasaran sebenarnya dengan siapa pertama kali Mina melakukannya dan kapan? Tapi ini ga terlalu penting jika dibandingkan dengan reaksi Jay waktu itu. Itu membuat Yungi tetiba kesal dan berpikiran yang iya-iya.
Jangan-jangan Mina dan Jay. Oh!!!! tidak! tidak!!! Astagaaa!!!!.
Yungi menggeleng-gelengkan kepalanya dan mengepalkan tangannya saking kesal.
Yungi membuang napas dan mengusap wajahnya. Ia tak leluasa bergerak sebab Mina masih berada di pelukannya. Sekarang, ia menyadari Mina sudah berhenti menangis dan tertidur. Ia bisa menyimpulkan itu karena dengkuran halus yang keluar dari mulut Mina terdengar dengan jelas.
Yungi merebahkan Mina kembali ke kursinya dan menurunkan sandarannya, membuatnya nyaman tidur. Ia menelfon Sesil, menitipkan anak-anaknya dan sejurus kemudian, ia melajukan mobilnya ke arah berlawanan, membawanya ke Vila keluarganya.
Setibanya di sana, ia langsung menidurkan Mina di atas ranjang yang dikelilingi kelambu dan menyelimutinya. Ia sendiri merebah di sofa yang ada di dekat ranjang dan kemudian menutup matanya. Rupanya ia juga kelelahan. Berpikir kehidupan dan mencoba mencari jawaban itu sangat menguras otak dan tenaganya.
“Pagi!” sapa Yungi.
Ia duduk di pinggir ranjang dengan segelas ramuan herbal dan membiarkan Mina yang bangkit dari tidurnya mengumpulkan kesadarannya. Mina memegangi pelipisnya dan meringis. Yungi tidak membiarkannya. Ia menarik tangan Mina pelan dan itu membuatnya terkejut.
“Aku cuma mau kasihin ini!” jawab Yungi sambil menyodorkan minuman herbal yang sejak tadi ia pegang. Ia paham akan reaksi Mina yang menyangkanya akan melakukan sesuatu yang mesum.
“Oh!” Mina menerimanya dan menyisipnya pelan.
“Makasih!” sahutnya sambil mengangkat gelasnya dan melihat ke arah Yungi lalu melihat ke sekelilingnya. Rupanya ia baru sadar ia tidak ada di rumahnya.
Yungi menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
“Minuman itu bagus buat ngobatin yang hangover.” Yungi menjelaskan.
“Habiskan!” sambungnya.
“Hmm. iya.” Mina mengangguk pelan.
“Eh, tapi ngomong-ngomong, ini di mana?” sekali lagi mata Mina berkeliling kamar dan berakhir di Yungi.
“Di Vila keluargaku,” jawab Yungi.
“Hah?” Mina langsung mengangkat selimut. Oh bajunya masih menempel di tubuhnya. Aman. Dia melihat Yungi dan menyadari Yungi baru saja mandi. Setidaknya rambutnya yang masih basah mengonfirmasinya.
“Kenapa kita di sini? Tadi malam kita ngelakuin apa?” Mina mengernyitkan alis. Ia berusaha keras mengingat yang terjadi tadi malam.
“Pfft!” Yungi tak kuat menahan tawa.
“Ih, Yungi maneh, koplok! (Yungi, kamu brengsek!). Jangan-jangan ini tempat kamu beroperasi ya! Kamu bawa perempuan ke sini buat diapa-apain ya?” Mina menatap Yungi dengan wajah sedikit kesal.
“Astaga, Min! Jahat banget kamu sama aku! Kamu cewek pertama yang aku bawa ke sini loh! Ga pernah ada cewek lain ke sini selain mamaku dan Ibu Arni sama suaminya Pak Toto yang rawat tempatnya!” Yungi geleng-geleng kepala.
“Oh! Waw! Aku tersanjung!” nada Mina menyindir.
“Sumpah, Min, aku ga bohong. Tanya Bu Arni sama Pak Toto deh kalau ga percaya! Tuh mereka lagi di bawah nyiapin sarapan buat kita.” Yungi menunjuk pintu luar.
“Terus apa maksudnya aku dibawa ke sini? Kok kita ga pulang? Kamu mau ngapa-ngapain aku ya?” Mina menarik selimut dan ia mundur menjauhi Yungi. Tatapannya yang penuh curiga dan tingkahnya sangat lucu di mata Yungi.
“Iya bener! Aku mau ngapa-ngapain kamu.” Yungi menaiki ranjang sambil tersenyum dan mendekati Mina yang tampak ketakutan.
“Tapi entar itu mah kalau kamu mau, hahahaha!” Yungi tertawa renyah. Ia membalikkan tubuhnya dan loncat dari ranjang.
“Astaga!” Mina langsung menarik napas lega.
“Aku bawa kamu ke sini karena mata kamu bintitan, sisa nangis tadi malem tuh!. Ngaca deh! Kalau pulang nanti anak-anak pada nanya kenapa ibu matanya gitu. Terus aku harus jawab apa?” Yungi melipat kedua tangannya dan bersender pada pintu keluar.
“Ya udah jawab aja aku dipipisin kecoak, kan gampang!” jawab Mina sambil menuruni ranjang.
“Hahahahahahaha!!” Yungi terpingkal-pingkal. Ia menahan perutnya.
“Ah, Min. Kamu kocak deh, beneran!” sahut Yungi.
Mina diam dan menatap Yungi kesal.
“Buruan mandi. Aku tunggu di bawah ya! Kita sarapan,” sahut Yungi. Ia membuka pintu kamar.
“Eh, tunggu dulu! Yungi! Anak-anak sama siapa di rumah?” teriak Mina karena Yungi sudah menutup pintu dan melangkah menjauhi kamar.
“Sesil,” jawab Yungi dengan suara yang samar.
“Oh, Sesil!” ujar Mina sambil tersenyum.
Mina melangkahkan kakinya ke kamar mandi. Sejenak ia berdiri di depan kaca memandangi dirinya. Benar yang dikatakan Yungi. Matanya sembap sisa menangis tadi malam. Tapi, ngomong-ngomong kenapa dia nangis ya? Duh! Jangan-jangan dia meracau aneh di depan Yungi. Mina menelan ludah. Ia memukul-mukul keningnya beberapa kali, mencoba mengingat yang sudah terjadi tadi malam.
“Ada yang bisa saya bantu?” Mina berjalan ke dapur dengan kemeja Yungi yang agak longgar dan celana Jersey punya Yungi juga. Keduanya tentu saja kebesaran untuknya, tapi dia membuat pakaian itu sesuai dan senyaman mungkin di tubuhnya.
“Oh, Non, istrinya Den Yungi ya?” seorang ibu dengan wajah yang masih segar untuk orang seusianya menghampiri Mina dengan tergesa-gesa sambil menunduk sopan.
“Silakan duduk dulu. Den Yungi tadi di luar sedang telfon,” sahut ibu yang pasti bernama Arni.
“Terima kasih, Bu. Tapi saya bisa bantu kalau ibu mau. Sedang buat apa?” tanya Mina sambil merangkul bahu Bu Arni lembut dan membawanya ke dapur.
“Eh, aduh, Non! Ga apa-apa. Non duduk saja.” Ibu Arni merasa canggung
“Tidak apa-apa, Bu, Ibu buat apa. Harumnya pastri. Buat Croissant ya?” Mina membaui sesuatu yang jelas ia tahu apa itu. Mereka berjalan menuju dapur dan berdiri di depan oven. Mina mengambil satu celemek yang tergantung di dinding lalu memakainya
“Wah, Non tahu? Wah hebat!” ujar Ibu Arni. Wajahnya berbinar menunjukkan kekaguman, bukan hanya pada ketahuan Mina saja melainkan juga pada wajah Mina yang imut dan manis.
“Saya kan belajar ini, Bu. Tapi ini baunya khas. Resep rahasia Ibu, ya?” goda Mina sambil tersenyum.
“Ah, nggak Non, tapi dari kecil kalau Den Yungi ke sini, pasti minta dibuatkan ini,” sahut Ibu Arni.
“Oh, gitu! Kalau gitu, saya harus minta resepnya. Saya akan belajar dari Ibu, jadi saya bisa buat untuk Yungi, boleh?” tanya Mina.
“Oh, iya, Non, tentu boleh. Nanti ibu tulis ya untuk Non,” ujar Ibu Arni.
“Terima kasih, Bu. Anak-anak kami juga sangat suka croissant. Mereka pasti sangat suka resep dari Ibu.” Mina mengambil tangan Ibu Arni dan menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tulus. Bu Arni terlihat bahagia. Baru kali ini dia merasa seseorang yang derajatnya lebih tinggi darinya mau bersentuhan dan merangkul dia juga.
“Ibu, punya kopi Arabica?” tanya Mina.
“Untuk Den Yungi, Non?” tanya Bu Arni.
“Iya,” sahut Mina sambil mengangguk.
“Ada, tapi Den Yungi biasanya buat sendiri. Buatan Ibu dan Bapak biasanya kurang pas,” sahut Bu Arni.
“Tidak apa-apa. Saya yang buat. Dia ga pernah komplen kalau saya yang buat!” sahut Mina sambil tersenyum.
“Oh, iya!” sahut Ibu Arni. Ia berjalan menuju sebuah lemari dan mengeluarkan kopi yang diminta.
“Ibu, saya kan teman Yungi dari SMP, kenapa saya ga pernah liat Ibu di rumah Yungi yang di Cigadung ya?” Mina melanjutkan perbincangan. Mereka tengah duduk di meja makan.
“Oh, itu. Iya saya jarang ke sana, Non. Saya kan memang ditugaskan di sini oleh Bapak dan Ibu.” Ibu Arni menjawab.
“Saya pernah ke sana itu pas ngunduh mantu Den Yungi sama Non Erika terus yang kedua saya ga bisa ikut karena Pak Toto lagi dirawat, Maagnya kambuh,” terang Bu Arni.
“Oh, ya, pantes saya ga pernah liat, Ibu. Ibu pernah datang ke rumah Yungi yang di Ciumbuleuit?” tanya Mina lagi.
“Oh, belum pernah.” Bu Arni menjawab lagi.
“Oh, gitu. Kalau udah pernah mampir, Ibu pasti tahu rumah saya juga. Kami satu komplek. Ada lima rumah di sana, tapi rumah kami tepat berhadapan,” sahut Mina.
“Oh, dasar ya Jodoh mah jorok!” sahut Bu Arni.
“Eh, maaf gimana, Bu?” tanya Mina terlihat bingung.
“Iya, itu peribahasa Sunda, artinya kalau jodoh itu ga tahu siapa dengan siapa,” sahut Bu Arni berusaha menjelaskan.
“Ah, gitu.” Mina mengangguk.
“Sebenarnya, kalau Ibu ada waktu, saya pengennya Ibu datang ke rumah kami. Ibu belum liat anak-anak kami, kan?” tanya Mina lagi.
“Sudah pernah bertemu Den Arjuna, kalau Non Yuna belum,” sahut Bu Arni.
“Anak kami ada tiga, Bu!” Tetiba Yungi nimbrung dari arah belakang Mina.
Mina menoleh dan kaget karena Yungi berjalan dengan Juna, Zen, dan Yuna.
“Ibuuu!” semua berteriak kegirangan dan berlari menuju Mina.
“Waaaaah! Kaliaaaan!!” Mina tersenyum dan langsung memeluk mereka.
“Kamu jemput mereka?” tanya Mina sambil tersenyum bahagia. Mereka langsung duduk memenuhi meja makan.
“Iya. Cepet, kan? Ga macet soalnya aku cari jalan tikus,” sahut Yungi.
Mina hanya mengangguk.
“Ibu, kenapa matanya?” tanya Yuna kaget lihat mata Mina yang bintitan.
“Oh, kan papa dah Bilang Na, itu mata ibu dipipisin kecoak.” Yungi berkata sambil menahan tawa. Mina mengangguk-anggukan kepala meyakinkan.
“Oh, kasihan, Ibu.” Yuna langsung memeluk Mina.
“Ayo, kita sarapan dulu. Semuanya sudah siap,” sahut Bu Arni.
Mereka sarapan dan setelah sarapan Mina memperkenalkan anak-anak kepada Bu Arni dan Pak Toto juga. Mereka sekarang mengobrol di halaman belakang, menikmati pemandangan yang berupa gunung dari kejauhan dan udara yang segar.
“Pah, boleh ngomong ga bentar?” tanya Juna dan Zen.
Yungi yang sedang mendengarkan perbincangan Mina dan pengasuhnya sejak kecil langsung mengiyakan dan mereka pergi ke dalam ruangan. Mina hanya melihat sekilas dan kembali berbicara dengan Pak Toto dan Bu Arni.
“Ada apa?” tanya Yungi sambil menyisip kopinya.
Mereka duduk berhadapan di ruang tamu.
Juna dan Zen saling menatap seolah memberi kode siapa yang akan bicara duluan.
“Pah, kalau kami minta adik kembar keberatan ga?” tanya Juna sambil menatap ayahnya yang sedang minum kopi.
Ohek ... ohek. Yungi langsung tersedak.
“Gimana, Jun?” yungi masih menenangkan dirinya dari tersedak.
“Kami mau adik kembar, laki-laki dan perempuan, Pah. Papa bisa bikin sama Ibu, kan?” Zen menegaskan.
Wajah Yungi memerah. Ia menggaruk bagian belakang kepalanya.
“Aduh kok permintaannya mendadak,” sahut yungi sambil mendeham dan memperbaiki posisi duduknya.
“Oh, ini mendadak ya!” Wajah Juna terlihat polos.
Yungi tersenyum.
“Kalian emang tahu gimana cara bikin anak?” sahut Yungi sambil mesem-mesem.
“Tahu!” keduanya menjawab kompak.
Yungi tersentak kaget.
Anak zaman now ga ada malu-malunya. Itu pikir Yungi.
“Gimana?” Yungi menggoda kedua anaknya.
“Papah mau yang simpel atau yang ribet penjelasannya?” tanya Zen.
“Whattt?” Yungi kaget lagi.
“Dua-duanya juga boleh lah!” Yungi nantang.
Zen menjelaskan bagaimana kehamilan terjadi dalam perspektif sains dan itu membuat Yungi bergidik. Kok bisa anak segede uprit menjelaskan hal yang sulit gitu! Padahal dulu waktu seusianya, dia lebih suka ngejar layangan atau main kelereng dengan teman-temannya.
“Singkatnya sih, Papah sama Ibu ehem ehem terus abis selesai itu papah ikutin saran dari Zen tadi Pah, biar jadi anak kembar. Gitu Pah, Please ya Pah! Kami ga minta hadiah apa-apa deh buat ultah kami, tapi tolong kasih kami adik kembar ya, Pah, Please!!!” Juna memohon.
“Duh, ini permintaannya sulit. Papah mesti ngomong dulu sama Ibu. Gimana kalau kalian bantuin Papah bilang sama Ibu.” Yungi balik meminta kedua anaknya.
“Iya, kami udah bilang, Pah.” Zen dan Juna bilang bersamaan.
“Nah, terus, Ibu bilang apa?” tanya Yungi jadi penasaran.
“Kata Ibu, tunggu waktunya pas,” jawab Juna.
“Iya, waktu pas itu katanya kalau Ibu sama papah udah saling cinta udah saling sayang,” sambung Zen.
“Jadi, gimana sekarang Pah? Udah pas belum? Papah sama Ibu udah saling cinta saling sayang belum?” tanya Juna dengan polos.
Yungi terkesiap. Dia tidak bilang apa-apa.
“Papah sayang Ibu ga? Cinta Ibu ga?” tanya Zen lagi.
Yungi semakin diam.
“Kalau Papa ga punya cinta susah. Itu kata Ibu.” Juna melanjutkan.
Yungi terhenyak.
“Ibu kalian punya cinta?” tanya Yungi.
“Kalau Papah cinta Ibu, Ibu juga akan berusaha cinta Papah.” Zen bilang.
“Ayah selalu bilang, kalau ayah ga ada, aku harus pastiin ibu bahagia. Sendiri atau dengan siapa saja, aku ingin ibu bahagia. Tolong bikin ibu bahagia, Pah. Kadang-kadang, mata ibu bintitan kayak tadi. Aku tahu itu bukan karena dipipisin kecoak, itu karena ibu nangis, kan? Aku juga yakin itu bukan karena papah atau ayah. Soalnya waktu papah belum nikah sama Ibu, kadang-kadang Ibu juga suka nangis sendirian kalau malem-malem. Aku ingin kasih semua cinta buat Ibu, tapi aku ga bisa. Punyaku, punya Juna, dan punya Yuna ga cukup. Boleh aku minta cinta Papah buat ibu?” Air mata Zen mengalir. Juna ikut menangis.
“Hei, sini!” Yungi terenyuh. Matanya ikut berkaca-kaca. Dia memeluk kedua jagoannya dan mengelus punggung mereka.
“Papah akan berusaha bikin Ibu bahagia, tapi ada syaratnya.” Yungi berkata.
“Apa, Pah?” Zen menghentikan tangisannya.
“Kalian juga harus bantu Papah ya!” sahut Yungi.
“Gimana caranya?” tanya Juna.
“Nanti kalau sudah waktunya, Papah kasih tahu,” sahut Yungi.
“Siap, Pah!” Kedua anak menjawab kompak.
“Good! Sekarang hapus air mata kalian dan ayo kita main basket!” Yungi mencoba mengalihkan suasana.
“Oke!” kedua anak menjawab lagi.
Mereka berjalan ke belakang sudah membawa bola basket, siap bermain. Mereka melewati, Mina yang tengah merapikan rambut Yuna.
“Mina?” Yungi berhenti sejenak di dekat mereka.
“Hmm?” Mina menoleh.
“Mau ikut main basket?” tanya Yungi.
“Ga bisa main. Kan kamu udah tahu. Mau ledekin maksudnya?” Wajah Mina kesal.
“Aku ajari, ayo!” sahut Yungi.
“Ayo, Bu! ikut main pleaseeeee!” Juna dan Zen memohon.
“Dua lawan dua!” ujar Juna lagi.
“Ya oke deh!” Mina menjawab.
“Yuna, kamu video kami, ya!” sahut Juna pelan sambil mengedipkan satu matanya.
Yuna mengangguk sambil membawa HP. Ia tersenyum tengil.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments