Bagi Yungi, kenangan itu hal yang lucu. Saat dia mengalaminya, dia tidak pernah bahwa itu akan berkesan dan bahkan setelah 20 tahun lebih, dia tak menyangka bahwa ia akan ingat semua detailnya dan itu terjadi sekarang.
Yungi berdiri tidak jauh dari toko pernak-pernik di dalam bandara, mengawasi kedua anak lelakinya yang tengah asyik melihat-lihat di dalam, hanya untuk memastikan bahwa mereka aman dan baik-baik saja. Dia tidak bersama dengan Mina sebab Mina menunggui Yuna yang tengah lelap tidur di pangkuannya.
Mereka sudah check in dan tengah menikmati proses menunggu penerbangan di gate yang sudah ditentukan. Rencananya mereka akan terbang ke Jepang melalui Bandara Kansai di Osaka, lalu perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan taksi MK menuju Kobe, tepatnya di daerah Okamoto. Di sana, mereka menyewa sebuah apartemen yang hanya 10 menit saja dari stasiun **.
Yungi masih pada posisinya saat melihat tujuh anak remaja berjalan tak jauh darinya. Mereka memasuki kafe dan duduk di meja yang cukup untuk menampung semuanya. Yungi tersenyum karena beberapa tingkah remaja, khususnya yang lelaki mengingatkannya pada Jun, Justin, dan Jay.
Matanya mengamati satu per satu perempuan remaja yang juga duduk bersama mereka dan matanya terpaku pada seorang remaja perempuan yang berambut sebahu ikal dan dihiasi dengan topi baret berwarna merah. Wajahnya kecil dan imut dan dia sangat manis. Tubuhnya tidak terlalu tinggi tapi proporsional. Senyumnya indah dan terlihat sangat polos dan semua yang dilihat pada perempuan remaja itu mengingatkan dirinya pada Mina versi remaja.
Matanya kembali membelalak saat ia memperhatikan seorang anak remaja lelaki yang perawakannya mirip dengan dia versi remaja dan kini mereka tengah berargurmen. Entah apa yang mereka perdebatkan, tapi yang jelas, mungkin begitulah orang lain melihat dia dan Mina dulu, selalu ribut dan membuat teman-temannya menggeleng-gelengkan kepala. Salah seorang anak yang gayanya mirip Jun versi remaja berjalan menuju ke arahnya, dan tak lama kemudian anak remaja yang mirip dengan Yungi remaja menyusulnya dan hampir setengah berlari. Mereka berdiri tak jauh dari Yungi sehingga dia bisa leluasa mendengarkan percakapan mereka.
“Apaan sih, kamu, Ben? Gangguin si Bree mulu! Sakit kepala aku!” lelaki yang mirip dengan Jun versi remaja menggerutu kesal.
“Bukan aku yang mulai, dia yang mulai!” jawab lelaki yang mirip Yungi remaja yang dipanggil Ben. Mereka mulai berjalan dan semakin mendekat ke arah Yungi.
“Iya, tapi kan kamu bisa ngalah, Ben? ga usah bales-balesan! Lu kayak anak kecil aja,” sahut anak remaja yang mirip Jun bilang lagi.
“Ga bisa Juragan Alex-ku sayang! Aku ga bisa kalau sama dia. Jangan minta aku ngalah!” jawab Ben bersungut kesal.
“Lu tuh! kalau kayak gini terus kalian berdua bisa end up together, you know!” sahut anak remaja yang dipanggil Alex memainkan alisnya.
“Hah! Maksudnya apaan?” Ben mengernyitkan alisnya.
“Iya, nikahah! Mama aku sama papa aku juga dulu gitu. Mereka temen kuliah terus bertengkar mulu terus pisah ketemu lagi eh malah nikah? Aneh kan? Tapi itu cara Tuhan biar kalian bisa rukun, ngerti ga? dikasih kesempatan sama Tuhan biar baikan,” ujar Alex menjelaskan panjang lebar.
“Iiih! Najis, amit-amit! Uwo!!!! anjir! ...Masih banyak cewek yang naksir sama aku, ngapain sama si Briana?” Ben pura-pura muntah. Dia berhenti sejenak tepat di sebelah Yungi.
“Ngapain sih kamu ngomong kayak gitu, Lex! Ih liat nih bulu-bulu di tanganku jadi bergidik gini! Aku ga bisa bayangin ciuman sama dia, apalagi boboin dia... duuuh! hus... hus!” Ben tambah parah. Dia mengibas-ibaskan tangannya seolah mengusir imajinasi yang terbentuk dari pemikirannya.
“Ye! Jangan bilang gitu, Ben! Sekarang Lu bilang amit-amit, ntar Lu bilang dia imut-imut, hahahah!” Alex tertawa mengejek.
“Berisik Lu Lex!” jawab Ben.
“Tapi ga apa-apa lah! Bagus juga kamu ga suka sama Briana. Tuh liat!” Alex memutar kepala Alex ke arah kafe.
“Apa?” tanya Ben dengan nada kesal.
Mata Yungi mengikuti apa yang mereka tunjuk. Di kafe, seorang lelaki remaja lain yang mirip gayanya dengan gaya Jay remaja tengah asyik mengobrol dengan perempuan yang mereka sebut Briana.
Deg. Yungi tertegun. Ia menelan ludah. Ia menemukan bagian itu juga melintas di memori SMPnya dengan sangat jelas dan detail.
“Tuh, jangan nangis kamu nanti kalau si Jaden jadian sama si Briana. Kamu pikir aku ga tahu kelakukan kamu. Kamu gitu sama si Bree karena kamu lagi cari perhatian dia, kan?” Alex menatap Ben dan senyum-senyum. Wajah Ben langsung melotot. Dia diam tertegun, dan matanya menatap ke arah kafe.
Yungi menoleh ke arah Ben yang tidak jauh di sampingnya. Itu seperti dia tengah melihat masa lalunya.
“Briana dengan Jaden?” Gumamnya. Ada nada khawatir di sana.
Plak! satu pukulan kecil di belakang kepala membuat dia berbalik
“Aw! Apaan sih, Lex!” jawab Ben kesal.
“Kamu tuh sama diri sendiri dibiarin, giliran sama orang lain komen,” sahut Alex juga dengan nada kesal.
“Bodo, ah! Masih ada cewek lain!” ujar Ben, jelas menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Sekilas ada gurat kecewa di wajahnya.
“Awas aja kalau ganggu Clara!” ancam Alex sambil menatap perempuan yang duduk di sebelah Briana dan berbincang dengan satu perempuan yang lainnya.
“Bukan tipe,” jawab Ben.
“Iya, Jane, juga bukan kan! Tipe kamu itu sama dengan tipenya Jaden. Tuh liat si Jaden. Dia mainnya cantik. Ga kayak Lu. Grasak grusuk! Patah hati jangan telfon aku!” ejek Alex.
Ben diam, tapi matanya masih melihat Briana dan Jaden yang asyik dalam sebuah percakapan.
“Kalian mau pergi ke mana?” suara Yungi mengejutkan mereka berdua. Ben dan Alex saling menatap aneh.
“Mau ke Jepang, Om.” Alex menjawab dengan sopan.
“Bertujuh?” Yungi melirik ke arah mereka lalu ke arah teman-temannya di kafe.
“Ga, Om. Ada mama sama papa juga. Cuma mereka lagi nongkrong di beda tempat,” ujar Ben.
“Oh! Syukurlah. Kalau kalian hanya bertujuh, itu agak khawatir ya. Kalian masih SMP, kan?” tanya Yungi lagi.
“Iya, Om.” Ben menjawab. Wajahnya terlihat agak kaget saat Yungi bilang tentang jenjang sekolah mereka yang tepat.
Yungi menganggukkan kepala.
“Om mau ke mana?” tanya Ben. Alex menatap juga.
“Oh, ke Jepang juga dengan keluarga dan anak-anak. Itu anak-anak Om ada di dalam toko,” ujar Yungi menjelaskan agar mereka tidak terlihat canggung sambil menunjuk ke arah Zen dan Juna.
“Oh, begitu!” sahut Ben. Ben dan Alex menatap ke dalam toko, tepatnya ke arah kedua anak lelaki Yungi berada.
“Kami pamit dulu, Om! Kami mau cari sesuatu,” ujar Alex dengan sopan dan dengan cepat menarik tangan Ben yang masih tersenyum dan berpamitan dengan sopan.
“Oh, iya, silakan.” Yungi menjawab. Ia sangat paham dan sejak awal sadar seharusnya ia tak bertanya kepada mereka yang jelas tampak ketakutan. Mungkin mereka pikir dia seorang penculik atau lebih buruk lagi, pedofil. Ia juga tak tahu kenapa melakukannya. Hanya saja, Ben dan Alex mengingatkan dia kepada dia dan Jun versi remaja sehingga hatinya terdorong untuk berinteraksi dengan mereka.
Yungi menatap punggung mereka dari kejauhan dan pikirannya melayang pada banyak kenangan saat dia di SMP tentang bagaimana dirinya dan Mina bertemu untuk pertama kalinya dan bagaimana mereka berinteraksi dulu.
***
Seperti biasanya pagi itu lorong sekolah cukup ramai. Tidak ada yang aneh, hanya kegiatan anak-anak saja yang sebagian asyik bercanda, bergosip, atau berceloteh tentang apa saja dengan teman-temannya dan sebagian lainnya melakukan permainan teman lainnya. Ada juga yang lari-lari berkejaran karena salah satu dari mereka melakukan keisengan kepada teman lainnya.
Di antara mereka, tampak dua anak perempuan berjalan gontai sambil mengobrol. Mereka adalah Mina dan Gladys yang tengah berjalan menuju sebuah ruang kelas. Mereka sampai di depan pintu kelas dan tetiba Gladys berhenti di sana sejenak.
“Ada apa?” Mina ikut menghentikan langkahnya. Ia menatap Gladys yang tengah merapikan penampilannya.
“Ga ada apa-apa. Cuma di kelas ini 80 persen cowok-cowoknya oke punya hahaha. Malu dong aku, Gladys, Queen of Beauty kalau ga keliatan cantik,” sahut Gladys sambil senyum-senyum lalu mengedipkan matanya. Mulut Mina menganga. Ia lalu menggelengkan kepalanya.
“Vee!” Gladys berteriak dengan nada centil sambil berjalan menghampiri sebuah bangku yang ada di tengah di jajaran ketiga dari belakang. Suara centilnya cukup menarik banyak perhatian siswasiswa lainnya yang mulai melihat ke arahnya, termasuk kelompok lelaki di pojokan yang tengah asyik memainkan bola basket di jari mereka, termasuk Yungi, Justin, dan Jun.
Gladys sangat tahu kelebihan dirinya dan bisa menggunakannya dengan baik dan Mina tahu itu. Jadi, dia hanya senyum saja saat banyak siswa laki-laki di kelas itu menatap ke arahnya terpesona.
“Apa?” Vee yang bernama lengkap Victoria itu menjawab dengan nada heran. Ia sedang duduk dan mengobrol dengan beberapa temannya.
“Itu si Emilia kayaknya bakalan lama off-nya. Aku dah jenguk kemaren ke rumahnya. Tanya aja tuh si Min-Min kalau kamu ga percaya,” Gladys menjelaskan. Dia menunjuk ke arah belakang dengan pikiran Mina berdiri di sana.
“Mana?” tanya Vee sambil menatap Gladys.
“Apa?” Gladys balik bertanya dan terlihat bingung.
“Iya, temen kamu, si siapa namanya tadi?” tanya Vee celingukan.
“Eh! Mina? Min-Min,” jawab Gladys sambil juga menoleh ke belakangnya dan menemukan Mina tidak ada ada di sana.
“Nah loh!” mata Gladys langsung mengamati seisi kelas dan si Mungil yang ia cari tengah duduk tak jauh darinya di sebelah anak lelaki bertubuh gempal.
“Mina!” teriak Gladys dan suaranya sekali lagi menarik perhatian banyak orang. Nadanya terdengar kesal.
Yungi, Justin, dan Jun juga ikut melihat mereka. Namun, alih-alih melihat Gladys, ketiganya lebih tertarik melihat Mina yang tengah duduk di sebelah anak lelaki bertumbuh gempal tadi. Ketiganya saling menatap heran dan aneh lalu menyunggingkan senyuman.
Pikiran mereka sama. Bagaimana bisa seorang anak perempuan mungil duduk di sebelah anak laki-laki gempal yang mereka pikir sangat aneh. Beberapa orang menyebutnya anak autis saking kesalnya karena dia sama sekali tidak berbicara dengan teman-teman sekelasnya, apalagi teman dari luar kelas. Bahkan ketika dikelompokkan, dia memilih tidak masuk ke dalam grup dan selalu mengumpulkan tugas sendirian.
“Ih, ngapain kamu duduk di situ sama si Gentong! Buruan sini! Ketularan autis kamu nanti!” teriak Gladys. Dia bahkan tidak mengontrol nada bicaranya, seolah sengaja agar terdengar oleh anak lelaki gempal tadi. Beberapa anak di kelas tertawa mendengar yang dikatakan Gladys. Mereka sepertinya setuju dan senang Gladys berani mengolok teman yang dikatakan ‘autis’ itu.
“Jaga bicara kamu, Dys! Dia ga autis. Nyebelin kamu! Namanya Genta. Dia pinter gambar tau. Liat dia gambar anjingnya. Bagus dan lucu bangett!” Mina mengomel dari bangku Genta sambil mengambil gambar yang tengah dilihat Genta sejak tadi dan menunjukkannya pada Gladys dari kejauhan. Rupanya Mina tidak melanjutkan langkah mengikuti Gladys tadi karena secara iseng ia melirik ke arah Genta yang tengah menggambar seekor anjing dan ia langsung teralihkan. Pasalnya, Mina juga punya anjing yang sama lucunya dengan anjing Genta.
“Bagaimana kamu tahu namaku?” tanya Genta dengan nada heran sambil menatap Mina. Baru kali itu seisi kelas tahu bagaimana rupa suara Genta.
“Eh, ini bukan namamu?” tunjuk Mina ke bagian kecil di bawah gambar anjingnya dan dia kembali duduk di sebelah Genta mengacuhkan Gladys yang hampir akan bersuara lagi.
“Oh, iya,” sahut Genta pelan. Mina tersenyum dan Yungi memperhatikan mereka. Entah kenapa mata Yungi tidak bisa beralih dari pemandangan mereka.
“Mina, kamu jangan acuhin aku. Sini bentar!” sahut Gladys yang sejak tadi ocehannya tidak didengar Mina karena ia tengah asyik berbicara dengan Genta.
“Minaaaa!” teriak Gladys karena Mina masih mengacuhkannya.
“Berisik, Dys!” sahut Mina. Dia mengerling kesal.
“Besok aku ke sini lagi, ya! Kamu bawa foto anjing kamu, ya!” sahut Mina dengan suara lembut.
“Bye, Gen!” ujar Mina sambil tersenyum lagi.
Genta hanya mengangguk sambil menggaruk bagian belakang kepalanya pelan. Jelas dia sangat malu.
“Ajaib tuh cewek!” Jun berkomentar sambil menatap Yungi dan Justin bergiliran lalu menatap ke arah Mina yang sedang berjalan menuju Gladys dan Vee.
“Siapa?” tanya Justin yang sejak tadi memang hanya fokus pada komik yang secara sembunyi-sembunyi ia bawa.
“Itu, .... temannya Si Gladys.” Jun agak manyun untuk menunjuk ke arah Mina dengan bibirnya.
“Oh, Si Mina,” jawab Justin.
“Kamu kenal dia?” tanya Yungi.
“Ya, iya. Kan sekelas,” sahut Justin pendek.
“Wait! Si Gladys sama tuh cewek ga sekelas?” tanya Yungi.
“Ga, cuma mereka satu TK, SD satu komplek rumah juga, jadi ya deket. Gitu!” Justin menjelaskan datar.
“Oh, gitu.” Jun yang menjawab.
“Kenapa? Kalian naksir si MinMin?” Giliran Justin menatap Jun dan Yungi.
“Bukan tipe.” Jun dengan cepat menjawab. Justin mengarahkan pandangannya ke Yungi.
“Aku juga,” ujar Yungi sambil memainkan alisnya.
“Iya, tipe kamu kan si Gladys. Seksi, bohai, tinggi," jawab Jun sambil senyum.
“Cengos Lu!” Justin menambahkan sambil menatap Yungi.
Jun tertawa. Yungi hanya mesem-mesem.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments