Setelah sampai di sekolah, entah kenapa Naila begitu semangat bahkan sepanjang pelajaran ia hanya senyam senyum sendiri sampai membuat Rani yang ada di sampingnya menatapnya heran karena sebelumnya Naila tak pernah seperti ini.
"Nai, kamu sakit?" tanya Rani sambil menyentuh kening Naila.
"Gak panas kog." Jawab Rani.
"Gimana mau panas, aku kan gak sakit." Jawab Naila sambil menepis tangan Rani yang masih menempel di keningnya.
"Kalau kamu gak sakit, kenapa kamu senyam senyum terus seperti ini. Kamu menang arisan tah?" tanya Rani asal nebak aja.
"Gimana mau menang arisan. Aku aja gak pernah sekalipun ikut arisan." Jawab Naila acuh tak acuh.
"Atau kamu mungkin dapat hadiah dari seseorang? Kalau iya, bagi bagi dong." Ujar Rani tersenyum
"Ha! Hadiah? Emang siapa yang mau ngasih hadiah ke aku. Jangan mimpi di siang bolong deh Ran." Ucap Naila sambil sok sibuk membaca buku.
"Terus kenapa dong?" tanya Rani penasaran. Dia emang sedikit kepo apalagi jika sudah menyangkut kehidupan Naila.
"Pengen tau apa pengen tau banget?" Goda Naila.
"Ih, apaan sih. Cepet dong, cerita ke aku. Ada apa sampai sahabatku yang biasanya serius belajar dan fokus sekarang malah kebanyakan bengong dan senyum senyum gak jelas." Ujar Rani yang sudah tak tahan pengen tau penyebab sahabatnya yang terlihat ceria dan tersenyum sepanjang pelajaran.
"Oke, oke aku akan cerita." Ujar Naila.
"Cepetan dong." Ucap Rani.
"Sabar sabar. Aku pasti cerita. Oke."
"Iya udah cepetan, aku udah penasaran banget nih." Ujar Rani.
"Iya ya, dasar tukang kepo. Aku tuh tadi malem ketemu pangeran." Ucap Naila pelan namun mampu membuat Rani terlonjat kaget karena ini pertama kalinya Naila menyebut seorang pangeran karena sebelumnya, Naila jarang dan hampir gak pernah mau deket ma cowok lain bahkan ketika ada cowok yang mengungkapkan perasaannya atau nembak dia pasti akan di tolak tanpa berfikir dua kali. Tapi sekarang gak ada hujan, gak ada angin. Sahabatnya yang dari tadi senyam senyum gak jelas ternyata karena ia sudah bertemu dengan pangeran.
"Kamu gak lagi bercandain aku kan Nai?" tanya Rani.
"Ngapain bencada coba. Aku serius nih." Jawab Naila santai.
"Sejak kapan kamu mulai menyukai pria?" tanya Rani.
"Siapa yang menyukai pria, aku kan hanya bilang aku ketemu pangeran tadi malam." Jawab Naila.
"Iya aku tau, tapi kamu pasti sudah ada rasa kan sama dia? Kamu pasti menyukai dia kan? Buktiknya hanya mengingat dia aja, kamu bisa senyam senyum kek gitu." Ujar Rani.
"Bukan suka, mungkin hanya sekedar kagum aja karena dia orang baik." Ucap Naila.
"Ia sekarang kagum, besok naksir, besok sayang, besoknya lagi cinta dan besoknya lagi kangen dan besok besoknya lagi jadian. Terus nikah." Ujar Rani tertawa.
"Ih amit amit dah. Siapa juga yang mau nikah di usiaku yang masih remaja gini. Aku masih pengen belajar, masih pengen ngejar cita citaku. Masih pengen membuat bundaku bangga karena sudah melahirkan anak sepertiku." Ucap Naila.
"Makanya jangan coba coba main hati dan perasaan." Ujar Rani menasehati.
"Aku gak main hati atau pun perasaan. Aku kan cuma bilang aku hanya kagum aja padanya karena dia sangat baik." Ucap Naila.
"Emang dia ngapain sampai kamu bilang dia itu sangat baik?" tanya Rani.
"Hemm gini, tadi malem tuh aku pulang kehujanan terus aku mampir ke taman Love tapi aku gak sadar kalau banyak mata mata liar yang liat ke arahku seakan akan ingin memangsaku. Terus ada Kak Fahmi yang menolongku." Ujar Naila.
"Bentar bentar Kak Fahmi itu siapa?" tanya Rani kepo.
"Ya Kak Fahmi itu yang menolongku tadi malem. Makanya jangan di potong kalau aku belum selesai cerita." Ujar Naila kesal.
"Iya iya deh maaf." Ucap Rani cengengesan.
"Nah tadi malem pas aku hujan hujanan tuh, dia tiba tiba datang ngepayungin aku gitu. So sweet gak sih? Terus dia nawarin aku minum teh. Nah dia juga meminjamkan jaket dan juga mantel buat aku. Terus aku juga kenalan ma dia sekalian aku juga minta nomer Hp nya buat mengembalikan jaket dan juga mantel yang ia pinjemi buat aku." Ujar Naila.
"Ganteng gak orangnya?" tanya Rani.
"Ganteng kog." Jawab Naila.
"Tua apa masih muda?" tanya Rani.
"Masih muda, umurnya masih 20 tahun." Jawab Naila.
"Kulyah, kerja apa udah nikah?" tanya Rani lebih detail.
"Kulyah tapi sambil kerja." Jawab Naila.
"Wah hebat tuh. Kenalin dong." Ujar Rani.
"Ngenalin gimana, aku aja ma dia baru kenal. Kapan kapan deh." Ucap Naila.
"Beneran ya?" Ujar Rani.
"Iya ya."
"Oh ya by the way, menurut kamu tampanan mana dia dan Pak Marfel?" tanya Rani.
"Iya Kak Fahmi dong. Pak Marfel mah gak ada apa apanya." Ujar Naila tanpa ia ketahui bahwa nama yang ia sebut barusan ada d belakangnya dan mendengar semua obrolan mereka berdua.
"Ya Tuhannnnn..............jadi tambah penasaran, setampan apa sih yang namanya Kak Fahmi itu?" tanya Rani.
"Pokoknya ganteng banget deh, lembut, penuh perhatian, gak kasar, murah senyum dan wajahnya tuh kalau di pandang enak banget. Beda ma Pak Marfel, kalau Pak Marfel tuh cuek, jutek, kasar, marah marah mulu dan kalau ngomong itu pedes, nyelekit ke hati ya walau kemaren sempat nolong aku juga sih tapi tetep aja dia itu orangnya kasar banget. Bahkan aku gak bisa ngebayangin kalau jadi istrinya, mungkin istrinya akan kena struk atau kena serangan jantung karena punya suami kayak dia." Ujar Naila membayangkan jika Pak Marfel nikah dengannya, ia merasa hidupnya akan benar benar tersiksa bak neraka. Naila terus aja nyerocos tanpa melihat dengan keadaan sekitar sedangkan Rani yang tanpa sengaja melihat ke arah belakang. Merasa sok melihat gurunya yang dari tadi ada di belakangnya sedangkan sahabatnya terus saja ngoceh panjang lebar.
"Hemhem." Ujar Marfel.
"Kenapa kamu Ran, sakit tenggorokan?" tanya Naila tanpa menoleh ke samping dan sibuk dengan buku yang ia pegang.
"Hemhem.....Enak ya gosipin gurunya sendiri dan membanding bandingkan dengan orang lain. Puas sudah ceritanya?" tanya Marfel dengan nada datar dan tersenyum sinis.
Mendengar suara gurunya, Naila pun langsung menoleh ke belakang.
"Eh Pak Marfel, sudah dari tadi pak di sini?" tanya Naila tersenyum manis sedangkan Rani sudah kikuk karena bingung gak tau harus berbuat apa.
"Sudah dari tadi bahkan saya sudah mendengar ceritamu dari A sampai Z." Jawab Marfel cuek.
"Hehe maaf ya pak." Ucap Naila tersenyum.
"Lain kali kalau mau gosip itu di hadapan orangnya, jangan di belakangnya." Ujar Marfel
"Hehe iya pak." Ucap Naila.
"Dan jangan suka menilai orang sembarangan jika kau belum tau sifat aslinya." Ujar Marfel.
"Iya pak, maaf." Ujar Naila.
"Sebagai hukumannya, kamu tulis Astagfirullahaladzim di buku tulismu menggunakan bahasa arab. Tulis sampai 50 halaman. Itu sebagai hukumanmu agar di lain waktu tidak mengulangi kesalahan hal yang sama." Ujar Marfel lalu pergi dari hadapan Naila dan juga Rani.
"Kenapa kamu gak bilang kalau Pak Marfel ada di belakang kita?" tanya Naila sebel.
"Aku mana tau kalau dia ada di belakang kita." Jawab Rani yang tak mau di salahkan.
"Kamu harus bantu aku nulis ya, soalnya bisa keriting nih tangan kalau nulis sendiri" Ujar Naila.
"Oke, oke. Nanti aku akan bantu kamu. Jangan hawatir. Tapi tulisanku ma kamu kan beda. Tulisanku jelek beda sama punya kamu. Nanti kalau aku bantu nulis bisa bisa Pak Marfel curiga dan tambah marah terus nambah hukuman buat kamu. Mau di tambahi hukumannya?" tanya Rani.
"Kog malah ruwet gini ya. Kamu sih, aku bahas Kak Fahmi, eh Malah nanya tampan mana dengan Pak Marfel. Gini kan jadinya." Ujar Naila yang masih kesal.
"Iya ya maaf. Sudahlah jangan marah marah mulu, jelek tau. Kita ke kantin yuk makan. Laper nih." Ujar Rani mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Males. Kamu aja ke kantin. Aku mau belajar aja." Ujar Naila.
"Iya udah aku ke kantin dulu ya." Ucap Rani yang langsung pergi menuju kantin.
"Nyesel aku ngomongin Pak Marfel dan sekarang aku di kasih tugas sebanyak ini." Ujar Naila dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments