Langit abu-abu terdengar bergemuruh, sepertinya hari ini juga akan turun hujan lagi. Sudah satu minggu hujan terus mengguyur kota kembang ini. Sienna menengadahkan kepalanya ke langit memastikan hujan belum turun, ia buru-buru berlari ke halte menunggu angkot menjemputnya. Hari itu Sienna dan Talia tidak pulang bersama karena Talia sudah lebih dahulu pulang menggunakan ojol.
Sedangkan uang Sienna tak cukup untuk memesan ojol, karena uang jajannya sudah habis untuk jajan di kantin. Sienna cukup menyesal menghabiskan uang jajannya untuk mengisi perutnya saja, akibatnya sekarang Sienna harus menunggu angkot yang kedatangannya tak dapat diprediksi akan cepat atau lambat. Sedangkan langit terus bergemuruh dan mulai terlihat gelap, cahaya yang terlihat hanyalah kilatan petir yang melewati awan.
Cukup lama Sienna menunggu kedatangan angkot untuk menjemputnya, air mulai menetes dari langit. Sienna mulai cemas karena angkot yang dinantikannya tak kunjung datang. Kakinya sudah mulai tak sabar diayunkannya kaki itu perlahan untuk mengusir rasa bosan. Kepalanya juga sudah mulai bergerak-gerak mengikuti irama kakinya. Akhirnya datang juga angkot yang ia nantikan sedari tadi.
Tak biasanya angkot sepi di jam pulang seperti ini, terlebih hari sedang hujan, Sienna sengaja duduk di ujung belakang dekat jendela karena pemberhentiannya di akhir rute angkot ini. Udara hujan yang dingin aroma tanah yang basah terkena tetesan air hujan menambah suasana hujan yang khas. Belum jauh angkot itu berjalan tepat di depan halte SMP yang tak jauh dari sekolah Sienna, angkot itu berhenti karena lampu merah yang menyala. Mata Sienna meneliti apa saja yang ada di luar angkot yang ia tumpangi, lalu perhatiannya tertuju pada seorang gadis yang duduk di halte sambil memegangi payung.
Mata gadis itu terlihat meneliti sekitar, kepalanya menengok kesana-kemari seperti sedang mencari sesuatu.
Bukan tanpa alasan Sienna memperhatikan gadis itu, tetapi karena gadis itu memakai seragam sekolah yang sama dengan yang sedang Sienna kenakan. Sienna penasaran apa yang dilakukan oleh anak SMK sepertinya disitu? Namun tak lama lampu merah itu telah berganti menjadi lampu hijau, angkot itupun kembali bergerak Sienna sudah mengalihkan pandangannya kembali.
***
"Udah giliran kita siaran lagi ya," kata Luan seraya duduk di kursi siaran.
"Iya nih, ceritanya soal apa ya?" tanya Sienna penasaran.
"Gak tau nih, penasaran juga cerita apa yang dipilih sama Rigel dan Talia." Jawab Luan sambil mendekati naskah yang ada di meja.
"Narasumber nya perempuan nih, berarti kamu yang ceritanya ya." Ucap Luan sekaligus menyerahkan naskah ke tangan Sienna.
Sienna mengangguk dan berkata, "Yaudah yuk siaran."
Luan mulai menyalakan microphone yang ada dihadapannya dengan perlahan. Siaran Tepi Senja siap mengudara.
"Sampurasun, wilujeng sonten Baraya Kata. Tepang deui sareng Radio Sora 44,4 FM. Kumaha damang Baraya Kata? Ketemu lagi di program Tepi Senja yang bakal nemenin kita semua selama 30 menit ke depan. Bersama saya Luan dan Sienna yang akan menjadi teman cerita kalian sore ini."
"Hari ini kita akan menceritakan pengalaman horror sekolah yang dikirimkan oleh Teteh Lora ke email Tepi Senja. Kisah yang membuatnya bernostalgia akan hari-hari nya semasa dasi biru menggantung dilehernya. Penasaran dengan kisahnya? Langsung saja kita dengar ceritanya."
Luan mulai menyentuh audio mixer yang ada di hadapannya, dan langsung memelankan suara microphone miliknya dan memasukan backsound yang telah mereka siapkan. Sienna mulai bercerita dengan sedikit berbeda kali ini ia bercerita dengan suara yang sendu.
"Hai, aku Lora. Aku ingin bercerita, mungkin memang bukan tentang saat ini. Aku ingin bercerita tentang masa putih biru ku sekitar empat tahun lalu. Saat pertama kali aku masuk SMP saat itu entah mengapa musim hujan, padahal waktu untuk musim hujan itu sendiri sudah berlalu. Semua kegiatan dilaksanakan didalam ruangan, tak ada kesempatan untuk kami merasakan hangatnya sinar mentari. Kami selalu berada dibawah langit abu-abu.
Kami selalu pulang dalam kesuraman langit yang gelap maupun guyuran hujan deras, bagi kami itu semua sudah seperti makanan sehari-hari. Saat itu aku belum memiliki banyak teman, sekalipun ada rumah mereka terletak di arah yang berbeda dengan diriku. Jadi aku sudah terbiasa untuk pulang sendiri.
Aku selalu menunggu angkot sendirian di halte depan sekolahku. Hingga hari itu aku pulang sedikit lebih sore dari biasanya karena mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, langit kelabu menghiasi hari itu suara guntur terus bergemuruh tak lama kemudian langit tak mampu lagi membendung tangisnya. Belum sempat aku sampai kesana, aku berlari dengan kencang karena tak membawa payung. Aku basah kuyup karenanya.
Aku mencoba mengurangi air yang masuk ke seragamku dengan menepuk-nepuk air yang ada di badanku, ya tapi gak ngaruh sih. Setidaknya aku berusaha agar tubuhku tak kedinginan. Dari ujung halte terlihat ada seorang anak laki-laki yang sedang memeluk dirinya sendiri. Kelihatannya dia sebaya denganku, seragam yang kami pakai juga sama. Apa sebaiknya aku sapa dirinya? Saat aku sedang memikirkan apa yang harus ku lakukan tiba-tiba anak lelaki itu menoleh ke arahku dia berkata, "Dingin ya?"
Wajahnya terlihat pucat, seragamnya pun basah kuyup. Aku menganggukkan kepalaku, kemudian ia kembali mengeluarkan suara. "Sini duduk, jangan berdiri terus cape." Tanpa pikir panjang aku menuruti perkataannya, sebagai seorang anak yang pemalu sepertiku aku merasa senang ada yang mengajakku berbicara terlebih dahulu. Tanpa sadar kami pun banyak berbincang, hingga dari kejauhan terlihat angkot yang akan aku naiki. Aku mengajaknya untuk naik angkot bersama denganku tapi ia menolak, "Kamu duluan aja, aku nunggu ayah datang menjemput. Pasti sebentar lagi juga dateng," katanya sambil tersenyum.
Aku mengangguk dan melambaikan tanganku padanya, karena terlalu asyik mengobrol membuatku lupa menanyakan siapa namanya dan dia berasal dari kelas mana. Ah memang dasar diriku ini, sudah mendapatkan teman baru tapi lupa menanyakan hal penting tentang dirinya.
Keesokan harinya bertapa senangnya hatiku saat melihatnya ada disana, di halte yang sama di posisi yang sama dengan kemarin. Meskipun langit belum berbaik hati memperlihatkan sinarnya padaku, tapi aku bahagia karena bisa bertemu lagi dengannya. Langsung saja ku sapa dirinya, "Nungguin ayah?"
ia terlihat kaget saat melihatku.
Tetapi dengan senyum berseri diwajahnya ia menjawab pertanyaan ku dengan lembut, "Iya."
Sebelum kelupaan seperti kemarin buru-buru saja ku perkenalkan diriku sekaligus bertanya tentangnya.
"Aku Lora kelas VII C, kamu? Kemarin kita lupa kenalan." Kataku sambil menyodorkan tanganku untuk bersalaman.
Lagi-lagi ia tersenyum, "Erik VII G, kamu mau jadi teman ku?" tanyanya sambil menjabat tanganku, tangannya terasa begitu dingin, sedingin es. Mungkin saja dia sedang masuk angin karena kemarin tubuhnya kebasahan terlalu lama.
"Mau." Kataku sambil tersenyum kegirangan, karena aku mendapatkan seorang teman yang baik seperti Erik.
Mata Erik berkaca-kaca seketika air matanya jatuh ia menangis penuh haru, tak henti-henti nya ia berterimakasih kepadaku karena sudah mau menjadi temannya, "Terimakasih sudah mau berteman denganku." Ia tersenyum ke arahku, saat melihat senyumnya itu aku seakan merasakan rasa kesepian yang ia rasakan seolah terobati.
Lalu ia bercerita bahwa dia sama sekali belum mendapatkan teman selama ia bersekolah disini, ia baru saja pindah dari kota lain untuk melanjutkan pendidikannya. Ia merasa terasingkan disini, ia merasa seperti makhluk asing. Tak ada yang berani mendekatinya selain diriku, sebelumnya ia sudah berusaha untuk beradaptasi namun yang ia dapatkan hanyalah hinaan. Terutama dari murid laki-laki, mungkin karena dia tak suka sepak bola. Mereka sering menyebutnya sebagai pengecut.
Dan siapapun yang berani mendekatinya juga akan diasingkan sepertinya, alhasil tak ada siapapun yang berani mendekatinya karena tak ingin diasingkan.
Ketika mendengar ceritanya hatiku terasa sakit sekali, mungkin karena aku juga merasakan hal yang sama sulit berbaur dan memiliki sedikit teman, aku dapat merasakan kesepian yang dialami oleh Erik.
Aku menepuk pundak Erik sambil berkata, "Gak apa-apa rik, kan sekarang kamu udah punya temen. Jadi kamu gak akan kesepian lagi."
Ia mengangguk sambil tersenyum, tak terasa sudah hampir satu semester setiap pulang sekolah aku mengobrol bersama Erik sambil menunggu angkot, anehnya Erik selalu terlihat jika langit kelabu ataupun hujan sedang turun. Tapi ia tak pernah terlihat ketika langit sedang cerah.
Seiring berjalannya waktu pun aku mulai memiliki banyak teman, aku sering pulang bersama mereka. Kakak sepupuku yang duduk di kelas IX juga mulai diperbolehkan untuk membawa motor ke sekolah, aku sering menumpang pulang bersamanya. Aku sudah mulai jarang menunggu angkot di halte.
Kehidupanku berjalan seperti biasanya. Kehidupanku berjalan dengan mulus hingga membuatku terlena, jujur aku sedikit lupa tentang Erik. Jam kosong yang tak kusukai karena tak punya teman kala itu berubah menjadi jam yang paling ku tunggu-tunggu karena aku bisa mengobrol dengan teman-temanku lebih lama. Kami selalu mengobrol tentang banyak hal mulai dari membicarakan tentang orang yang kami sukai, hingga entah siapa yang memulai kami mulai menceritakan cerita-cerita mistis yang beredar disekolah.
Saat itu kami menceritakan kisah mistis pada umumnya seperti mitos sekolah bekas rumah sakit sambil sesekali dibumbui dengan gerakan-gerakan mengejutkan agar suasana lebih mencekam. Hingga sampai pada satu cerita mengenai halte yang berada tepat di depan sekolah. Aku memasang telingaku dengan seksama karena penasaran cerita apa sih yang ada di balik halte yang selalu aku datangi itu.
"Katanya setahun yang lalu ada korban tabrak lari yang meninggal di depan halte itu ..." Semua yang serius mendengarkan cerita itu dikejutkan dengan kilatan petir yang menyambar.
"Hari itu sama seperti hari ini, langit menangis tak henti-hentinya guntur terus bergemuruh. Ia menunggu ayahnya datang menjemput tepat di depan halte seperti biasanya, ia menunggu sendirian disana.
Lama sudah ia menunggu namun sang ayah tak kunjung datang, ia memeluk badannya yang menggigil kedinginan.
Sembari ia menunggu ia melihat seorang nenek yang kebingungan tak bisa menyebrang jalan. Ia dengan senang hati membantu menyeberangkan nenek itu, sayangnya saat ingin kembali ke halte ia ditabrak oleh seorang pengendara motor yang menerobos lampu merah. Kepala belakangnya pecah karena membentur aspal, badannya basah kuyup terkena guyuran hujan ia meninggal ditempat.
Sang ayah yang ditunggu-tunggu pun tak akan bisa menjemputnya disana, karena sang ayah mengalami kecelakaan saat menuju halte untuk menjemput anak kesayangannya itu.
Kabarnya ia tak memiliki teman karena dikucilkan oleh teman sekelasnya. Tetapi semua teman sekelasnya saat itu merasa menyesal karena telah mengucilkan anak sebaik itu.
Konon katanya ia sering terlihat di halte saat mendung ataupun hujan menunggu ayahnya datang menjemput."
Erik
Seketika aku mengingat Erik, semua ciri-ciri yang disebutkan semuanya tertuju pada Erik. Sekaligus jawaban dari teka-teki yang selama ini ia pertanyakan. Sekalipun sekarang aku mengetahui fakta bahwa Erik yang ku kenal bukanlah manusia aku sama sekali tidak takut. Mengetahui kisah dibalik senyuman tulus Erik membuat hatiku teriris, aku memutuskan untuk datang ke halte sepulang sekolah nanti.
Erik terlihat duduk termenung di tempatnya biasa duduk, matanya terlihat sendu, senyum manis yang selalu menghiasi wajahnya hilang. Aku mencoba mengajaknya bicara akan tetapi ia hanya terdiam.
"Erik kamu marah sama aku?"
Ia menggelengkan kepalanya, "Gak Lora, aku gak marah sama kamu."
Ia mengangkat wajahnya, air mata mengalir diwajahnya bibirnya bergetar berusaha untuk tersenyum, "Lora terimakasih sudah mau menjadi temanku." Kata-kata yang sama saat kami berkenalan. Perlahan-lahan tubuh Erik menghilang.
Sejak saat itu aku tak pernah melihat Erik lagi, aku ingin sekali saja bertemu dengannya lagi.
Bertahun-tahun setiap musim hujan ataupun langit kelabu muncul, aku selalu kembali kesana berharap bertemu dengannya."
Sienna mematikan microphone miliknya sambil melepaskan headphone yang ia kenakan, Luan mulai menurunkan suara backsound musik dan menaikan suara microphone miliknya.
"Kisah persahabatan yang tak biasa yang dialami oleh Teh Lora dengan teman luar biasa nya membuat terharu ya, semoga Teh Lora bisa bertemu lagi dengan teman istimewanya lagi. Terimakasih kepada Teh Lora sudah berkenan untuk menceritakan ceritanya dan mengizinkan kami untuk menceritakan kisahnya disini. Tak terasa sudah hampir 30 menit Tepi Senja menemani Baraya Kata ya. Untuk Baraya Kata yang ingin ceritanya diceritakan di Tepi Senja seperti Teh Lora bisa langsung mengirimkan cerita ke email kita Soratepisenja@gmail.com terimakasih sampai ketemu lagi minggu depan, Assalamualaikum."
***
Keesokan harinya Sienna terpaksa menunggu angkot lagi untuk pulang, ia menunggu cukup lama namun angkot yang Sienna tunggu-tunggu tak kunjung datang. Hari mulai gelap, tak mungkin Sienna hanya berdiam diri disana ia memutuskan untuk menunggu angkot sambil berjalan. Saat sampai di halte tempat ia melihat gadis yang memegangi payung itu terlihat angkot datang dari kejauhan Sienna memutuskan untuk menunggu angkot itu disitu, ketika Sienna masuk kedalam angkot terdengar bisikan, "Terimakasih sudah bercerita tentangku." Sienna menoleh kebelakang untuk melihat darimana suara itu berasal, namun tak ada siapapun disana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments