Seusai sarapan aku meminta Mas Jana ke atas untuk membantu mengangkat koper dari kamarku. Tidak banyak barang yang kubawa hanya 2 koper. Tentu saja agar tidak perlu extra bagasi. Toh barang habis pakai masih bisa dibeli di sana.
Aku meminta Ayah dan Ibu segera bersiap-siap jika akan ikut mengantarku ke bandara. Mas Jana kemudian
mengikutiku menuju kamarku.
“Sayang...” Panggilnya membuyarkan lamunanku.
“Ada apa, Mas?” Aku menjawabnya tanpa menoleh padanya.
“Apa kamu tidak akan merindukanku nanti?” Balasnya.
Tiba-tiba tenggorokanku serasa tercekat, aku tidak bisa lagi menjawab pertanyaannya. Sebenarnya aku sangat sedih kami akan berpisah untuk sementara waktu. Aku tidak bisa menahannya lagi, dan beringsut memeluknya. Bulir-bulir air mata lolos dari mataku. Aku menangis sesenggukan. Mas Jana mencoba menepuk-nepuk punggungku dan menenangkanku.
“Tidak apa-apa.. aku juga merasakan hal yang sama sepertimu. Hanya saja, ini sudah pilihan kita. Aku mendukungmu sepenuhnya untuk melanjutkan pendidikanmu setinggi mungkin. Kamu ingat kan, beberapa waktu yang lalu saat makan malam di sini aku sudah mengatakannya pada Ayahmu.”
Aku tidak bisa menjawab Mas Jana dan hanya bisa menangis semakin keras. Mas Jana melanjutkan kata-katanya.
“Aku tahu pasti akan berat menjalani ini semua. Tetapi, ingatlah Ta, didepan sana setelah ini semua usai. Percayalah ada hal yang begitu besar dan membahagiakan menanti kita. Nanti, aku usahakan kalau tidak ada banyak kerjaan setiap bulan aku akan menjengukmu. Bagaimana?”
Aku hanya menganggukkan kepalaku dan tersenyum. Tangisanku masih belum bisa kuhentikan. Bagaimanapun juga akan hidup jauh dari orang-orang terkasih yang selama ini selalu ada buatku akan sangat berat.
“Terimakasih, Mas...” Balasku sambil mempererat pelukanku padanya.
Mas Jana kemudian mengangkat koperku dan menaruhnya di bagasi mobilnya. Sementara aku bersiap-siap di dalam kamar. Aku memastikan ulang tidak ada lagi yang tertinggal. Kupandangi sekeliling
kamarku. Aku tersenyum mengingat kamar ini akan kosong selama kurang lebih 2
tahun lamanya. Membayangkan Ayah dan Ibu akan sesekali masuk ke kamar ini jika
merindukan anak perempuannya. Ah, benar-benar berat rasanya. Aku pasti akan sangat merindukan kenyamanan kamar ini.
Aku bergegas turun ke bawah. Ayah, Ibu, Mas Jana, dan Bi Vivi sudah menungguku di ruang keluarga. Aku sudah
menebak bahwa setelah ini adalah momen haru yang penuh tangis antara sedih dan
bahagia. Sedih karena aku sementara waktu akan jauh dari mereka dan bahagia
karena akhirnya aku bisa melanjutkan studiku di negara dan Universitas
impianku.
Nasihat demi nasihat dari Ayah dan Ibu kudengarkan baik-baik. Aku sangat mengerti bahwa mereka sangat khawatir terhadapku. Sejujurnya aku sudah tidak kuat menahan tangisku. Tapi, sebisa
mungkin aku berusaha terlihat bahagia agar Ayah dan Ibu tidak lebih mengkhawatirkanku lagi. Aku berpesan banyak kepada Bi Vivi agar menjaga Ayah dan Ibu saat dirumah. Aku juga memintanya untuk memasak makanan yang baik dan sehat untuk orang tuaku. Bi Vivi mengiyakan semua permintaanku dan bersedia menjadi penjaga Ayah dan Ibu ketika aku tidak sedang dirumah nanti.
Mas Jana kemudian mengeluarkan sebuah kotak kecil. Aku juga tidak tahu apa isinya. Ia hanya tersenyum karena
sudah membuat orang serumah kebingungan. Sejurus kemudian ia mengeluarkan
sebuah benda berkilauan dari kotak tersebut. Berlian!
“Aku hadiahkan kalung ini untukmu Ta. Sebagai ucapan selamat atas usahamu selama ini. Dan juga untuk merayakan keberangkatanmu ke Thailand hari ini. Aku sangat bangga kepadamu sama seperti
Ayah dan Ibu.” Ucap Mas Jana sambil memasang kalung berlian tersebut di leherku.
Ayah dan Ibu terkagum-kagum. Mereka sangat bahagia anaknya dicintai oleh laki-laki yang bertanggung jawab dan baik hati seperti Mas Jana.
“Mas, terimakasih banyak... Aku sudah mendapatkan banyak hal darimu. Sejujurnya kamu gak perlu ngasih aku ini
Mas. Cukup dukunganmu dan doamu saja aku sudah senang Mas.”
Mas Jana tidak menanggapi kata-kataku. Hanya tersenyum dan menatapku.
Kami kemudian berangkat ke bandara menggunakan mobil Mas Jana. Ayah duduk di kursi depan, sedangkan aku
dan Ibu duduk di belakang. Kulihat Mas Jana terus memperhatikanku melalui kaca spion.
Perjalanan kali ini terasa sangat berbeda. Biasanya kami pergi bersama-sama seperti ini ketika akan makan malam bersama. Tapi kali ini kami bersama untuk mengantarku ke bandara. Aku selalu berusaha terlihat tidak sedih dan memecah kecanggungan suasana di dalam mobil dengan candaan-candaanku.
Sekitar 45 menit kemudian kami sampai di bandara. Hatiku rasanya semakin berat. Mas Jana membantu mengangkat koperku lagi.
Melangkahkan kakiku masuk ke dalam bandara terasa sangat berat. Tapi aku tetap harus berusaha kuat. Aku tidak mau semua orang mengkhawatirkanku. Berulang kali Mas Jana mengatakan kalau setiap bulan akan berkunjung agar aku tidak terlalu rindu rumah dan orang-orang tersayangku.
“Ta, tadi Papa sama Mama titip salam ke kamu. Mereka sebenarnya ingin ikut mengantar, tapi aku tidak
memperbolehkan karena terlalu pagi. Lagian nanti yang ada malah Mama yang paling sedih karena dia sayang banget sama kamu. Maunya kamu cepet-cepet jadi menantunya.” Kata Mas Jana memecah keheningan kami.
“Apaan sih kamu Mas. Sabar dong, biar aku sekolah dulu nih.. Iyadeh, salam balik ya Mas. Nanti kalau aku udah
sampai di sana aku pasti kabarin Mama.”
Beberapa waktu kemudian kami akan segera berpisah. Lalu lalang orang di bandara membuat hatiku semakin sesak saja. Meskipun nanti aku akan bergabung dengan rombongan dari kotaku dan salah
satu teman dekatku, tetap saja aku sedih akan berpisah dari mereka.
Aku memeluk Ayah, Ibu, dan Mas Jana bergantian. Beberapa bulir air mata sempat keluar dari mataku. Namun aku
buru-buru mengusapnya dengan jemariku agar tidak terlihat oleh mereka. Aku pamit kepada mereka. Berat, tetapi aku harus pergi untuk sementara waktu demi impianku. Demi kebahagiaan orang tuaku dan tentunya Mas Jana.
Setelah check in dan menyerahkan barang-barang yang akan dimasukkan ke bagasi, aku menelpon temanku Trisa yang juga akan berangkat denganku. Trisa adalah teman dekatku saat kuliah S1. Ternyata teman-teman rombonganku sudah menunggu di ruang tunggu. Ada sekitar 30 orang dan kami sudah saling mengenal sebelumnya. Kami kemudian berkumpul di ruang tunggu untuk masuk ke dalam pesawat.
Aku sangat bersyukur ada teman dekatku Trisa yang juga berangkat. Kami kemudian briefing sebentar untuk
membahas beberapa hal yang harus kami lakukan setelah mendarat nanti. 10 menit kemudian kami masuk ke dalam pesawat. Kebetulan aku duduk bersebelahan dengan Trisa. Sebelum berangkat aku mengirim pesan whatsapp kepada Mas Jana.
Mas aku sudah duduk di pesawat. Sebentar lagi aku akan berangkat. Doakan
semoga penerbanganku lancar ya Mas.. See you!!
Tidak beberapa lama kemudian Mas Jana membalasnya. Tadinya aku tidak yakin akan segera ia baca. Tapi sepertinya sedang menunggu di lampu merah atau mungkin sudah sampai di rumah.
Have a safe flight dear.. Segera kabari kalau sudah sampai ya..
Aku segera mematikan ponselku dan pesawatpun lepas landas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Mardiah Nasution
8
2021-02-03
1