Setelah mereka melaksanakan sholat isya' mereka lantas merebahkan diri di atas kasur guna melepas lelah. Mereka tak bicara satu sama lain. Pikiran mereka berkelana masing - masing. Alya yang bingung harus berbuat apa sedang Revan berpikir ia punya kewajiban yang harus di tunaikkan walaupun mungkin belum ada rasa cinta kepada Alya dan tidak harus malam ini melakukannya. Mereka saat ini seperti patung berjajar di atas kasur seraya mata mereka menatap langit - langit kamar.
"Ehem... ", Revan berdehm setelah berdiam beberapa waktu dan Alya menoleh ketika mendengarnya.
" Anu... mbak, eh maksudnya sayang... i-tu apa akau boleh? ", Revan agak kesulitan mengutarakan yang ada di hatinya.
" Boleh... apa? ", tanya Alya.
" Ehm... sentuh aku! "
"Hah...? ", Alya melongo mendengar perkataan Revan.
" Aku bingung harus mulai dari mana. Kamu... sayang kan sudah berpengalaman"
Revan ingin mulai menyentuh Alya namun begitu tangannya ingin menggapai tangan Alya, ia malah teringat akan wajahnya saat ini. Luka di wajahnya sudah sembuh akan tetapi bekasnya masih terlihat jelas. Siapa yang akan tertarik? Oleh karena itu ia pun meminta Alya menyentuhnya.
"Mas yakin? ", Alya memastikan karena dari pengalamannya sebelumnya suaminyalah yang berinisiatif menyentuhnya terlebih dulu.
Revan yang mendapatkan pertanyaan seperti itu hanya mengangguk seakan pasrah dengan apa yang akan di lakukan Alya kepadanya. Di sisi lain Alya berusaha menyakinkan dirinya karena sudah lama ia tidak melakukan itu dan yang sekarang bukanlah orang yang sama. Beberapa menit kemudian setelah merasa yakin Alya mulai merubah posisinya menjadi miring menghadap Revan yang masih pada posisinya. Alya sedikit menaikkan tubuhnya sebagian di atas bantal dan lengan sebelah kanan yang di tekuknya guna menyangga tubuh. Ia juga menggunakan tangan kanannya mengusap kepala Revan. Membelai rambutnya. Posisinya saat ini wajah mereka berhadapan namun wajah Alya berada di atas wajah Revan dengan sedikit miring. Alya kemudian memainkan tangan kirinya membelai seluruh wajah Revan, mengelus janggut Revan pelan beberapa kali. Alya mulai mengecup kening,kedua mata, kedua pipi bergantian, hidung dan terakhir bibir. Ia melanjutkan mencium bibir Revan yang agak tipis sembari tangan kirinya berpindah ke dada Revan. Ia mengelus -elus dada Revan yang masih berbalut kaos oblong putih. Dirasakan tidak ada penolakan sama sekali maka ia semakin memperdalam ciumannya dan tanpa arahan Revan merespon dengan nafas yang berat dan jantungnya berdetak tak karuan. Alya tahu itu apa. Ciuman mereka pun semakin intim dan Revan sudah tidak segan. Ia jadi agresif. Revan menciumi leher Alya sesekali menghisap nya beberapa detik. Tangan Revan merangkul pinggang Alya, begerilya menyusuri lekuk tubuh wanita yang sekarang menjadi istrinya itu. Dari pinggang, dada dan ke bawah lagi menyikap daster yang sepanjang di bawah lutut ke atas sampai pinggul.Dan kembali ke atas lagi membuka kancing daster istrinya. Alya sangat menikmati sentuhan Revan hingga ia pun tak mau diam saja, ia mulai menelusup kan tangan kirinya ke dalam kaos suaminya. Revan semakin menggila ketika sesuatu kecil di dadanya di mainkan Alya. Membuat ia mendesah dan yang di bawah semakin berontak. Alya seakan mempermainkan Revan, setelah bermain di atas ia menurunkan tangan menuju celana selutut Revan. Alya melorot kan celana Revan, tinggallah dalaman yang tersisa di bagian itu. Pandangan Alya terkunci pada satu titik. Pusat Revan. Revan yang menyadari 'nakal juga ternyata' batinnya kemudian tersenyum. Lalu ia juga tidak mau kalah dengan Alya, ia semakin liar. Tidak melewatkan setiap bagian tubuh Alya. Antara nafsu dan ingatan film biru yang pernah ditontonnya sekarang di praktekkan pada sang istri. Hingga beberapa menit kemudian,
"Akh.... ", Alya teriak tertahan kesakitan karena sudah lama tak melakukan dengan lelaki.
" Sakit...? ", tanya Revan yang langsung berhenti mendengar teriakan sang istri. Namun entah kenapa ia merasa senang mendengarnya.
" Hm", jawaban Alya sembari mengangguk kecil yang saat ini posisinya sudah berada di bawah Revan.
Kemudian berlanjut kegiatan yang sempat tertunda beberapa detik. Semakin panas dan semangat hingga...
"Ahh.... " Revan kali ini yang mendesah. Alya merasakan sesuatu yang hangat menyembur di dalam rahimnya. Ia paham sekali itu apa. Dan ia merasa senang. Suatu perasaan yang sulit di artikan.
Keesokan harinya di rumah pak Andi sedang sarapan bersama di ruang makan. Suasana sangat bahagia dan ramai karena anggota keluarga yang dari luar kota masih berada di sini. Rencana setelah sarapan mereka baru akan pulang. Sarapan pun selesai keluarga yang dari luar kota berpamitan pulang. Keluarga pak Andi mengantar kepergian mereka di halaman hingga mobil mereka sudah tidak nampak. Alya dan bu Yani lebih dulu masuk rumah di ikuti Sandi yang harus bersiap pergi bekerja. Pak Andi menepuk pundak putra pertamanya, Revan.
"Gimana hm... ? ", pak Andi bertanya dan menggoda sang putra dengan mata nakal.
" Bapak... apa sih ? ", Revan berusaha mengelak karena malu.
" Enak kan ? ", pak Andi masih menggoda.
" Apa lagi sih? ", jawab Revan kemudian berlari masuk ke dalam rumah menghindari sang ayah. Sedang pak Andi hanya tertawa melihat tingkah lucu putra pertamanya sembari berjalan santai memasuki rumah.
Di tempat lain, terlihat wajah Kamila kesal ketika sarapan berdua dengan kedua orangtuanya.
"Kamu kenapa? Mukanya kok begitu? ", tanya sang mama.
" Nggak. Hanya agak kesal"
"Kesal kenapa? ", giliran sang papa.
" Mas Revan kemarin menikah"
"Apa? ", kedua orangtuanya bersamaan.
" Oh", kemudian bu Farah yang tak lain sang mama paham.
"Kok oh? ", tanya Kamila.
" Memang harus gimana ? Menikah itu kan hak setiap orang"
"Kan mama tahu pernikahanku sama mas Revan baru batal beberapa waktu lalu dan kemarin dia melangsungkan pernikahan? "
"Hei Kamila... kan yang membatalkan pernikahan kamu. Kalau kemarin Revan menikah itu artinya dia tidak main - main selama ini sama kamu. Dia serius mencari pendamping hidup. Kamu nya aja yang nggak mau. Iya kan pa? "
"Iya mamamu benar. Lagi pula keluarga Revan pasti lebih malu daripada kita, makanya ketika ketemu yang sepertinya cocok dengan Revan ya sudah dipercepat saja, menurut papa sih begitu. Kalau papa di posisi pak Andi mungkin papa juga akan melakukan hal yang sama."
"Iya ya pa", ibu Farah setuju dengan yang di ucapkan suaminya.
" Daripada itu Mila lebih baik sekarang kamu fokus pada masa depanmu saja! Yang lalu sudah berlalu, ini saatnya kamu membuka lebaran baru yang lebih baik", lanjut pak Doni menasehati putrinya.
" Dengerin papa tuh Mil ! Apa yang dikatakan papa itu benar".
Kamila hanya diam dan mendengarkan saja, menghabiskan makanannya. Kemudian bangkit dari duduknya dan berpamitan kepada orangtuanya. Siap berangkat bekerja. Setelah kepergian Kamila,
"Coba tidak batal ya pa mungkin anak kita yang jadi istrinya Revan. Mama sebenarnya sangat menyayangkan batalnya pernikahan mereka. Apalagi mama tahu sekali Revan sangat sayang pada Kamila"
"Sudahlah ma jangan di ingat lagi ! Mungkin mereka belum jodoh. Kalau mengingat Revan, papa juga sangat menyayangkan tapi mau bagaimana lagi anak kita tetap memaksa tidak mau. Ya sudah ma, papa berangkat dulu ya? "
Pak Doni bangkit dari duduknya kemudian mengambil tas kerjanya di kursi samping ia duduk. Istrinya menyalimi tangan dengan mencium punggung tangannya. Kemudian berjalan keluar bersamaan menuju teras.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments