Suara Hati

Malam hari di rumah Deddy tepat pukul delapan malam terbaring di atas kasur sebuah kamar yang saat ini sedang di tempati Alya dan putrinya Faya. Biarpun berbaring namun mata Alya tidak terpejam beda dengan putrinya Faya yang sudah terlelap dari tadi. Mungkin kelelahan karena asyik bermain di siang hari. Alya memandangi atap kamar sembari bicara dalam hati,

"Revan, aku tahu dia tapi aku tidak mengenalnya karena kami memang tidak dekat dari dulu, hanya sebatas tahu kalau dia adalah anak pak Andi. Hari ini dia seperti pengemis ah lebih tepatnya memang mengemis karena dia memohon - mohon kepadaku agar aku mau menikah dengannya. Lantaran pernikahannya yang sudah dekat telah di batalkan oleh pihak calon mempelai wanita. Konyol dia yang dulu seperti enggan bertatap muka dengan orang seperti ku hari ini memohon agar aku mau menikah dengannya dengan alasan kesehatan orangtuanya. Iya itu memang benar tapi tetap rasanya tidak adil bagiku. Bagaimana tidak ? Kalau tidak batal pernikahannya dia mungkin tidak sudi melihatku. Ya memang kami pernah berpapasan di jalan dan saling melempar senyum satu sama lain sebagai tanda penghormatan saja, itu hanya sekali. Dan sepertinya itu karena kami terlanjur berpapasan. Apa iya harus ku terima permohonanannya? Walaupun mungkin memang benar yang dikatakan bang Deddy biarpun dia kelihatan dingin, angkuh, dan mungkin sombong? Tapi sepertinya dia lelaki yang bertanggung jawab. Jujur aku pun punya pemikiran yang sama dengan bang Deddy. Akan tetapi kalau soal menghargai perempuan aku tidak tahu sebab sepertinya dia punya selera tinggi. Ya bisa dibilang setara dengannya lah. Sedang aku cukup sadar diri siapa aku ini. Hah... kenapa alau harus mengalami hal seperti ini ? Kenapa aku harus memikirkan hal ini? ".

Alya terus berpikir apakah ia harus bersedia menikah dengan Revan atau tidak. Kalau bersedia menikah dengan Revan ada rasa takut tersendiri di hatinya, rasa tidak di hargai atau di hormati. Tapi di sisi lain ia juga memikirkan masa depannya dan sang putri. Apakah Alya bersedia menikah dengan Revan ?

Di waktu yang sama, Revan yang setengah duduk di atas kasurnya dengan posisi bersandar pada tumpukkan bantal juga bicara dalam hati,

"Alya, aku tahu wanita itu tapi kalau dibilang kenal aku tidak mengenalnya. Hanya satu kenangan yang ku ingat tetang wanita itu. Ketika kami tidak sengaja berpapasan di jalan dan kami saling melempar senyum sebagai tanda penghormatan saja. Senyumnya manis. Bapakku pernah membicarakannya suatu hari dimana bapak menceritakan tentang dirinya yang lugu. Memang sih dia kelihatan wanita yang lugu tidak aneh - aneh. Aku pun tidak menampik itu sebab yang terlihat bahkan di mataku dia memang begitu. Tapi diriku punya selera tinggi dan dia sangat berbeda denganku. Apa iya aku harus dekat dengan wanita yang tidak selevel denganku ? Sebelum aku semakin mengenalnya lebih baik aku tak dekat - dekat dengannya. Aku takut kalau aku dekat dengannya malah jatuh hati. Itulah pemikiranku saat itu. Namun jujur aku tidak lupa dengan senyum manisnya. Huft... dan hari ini aku menjadi pengemis yang memohon pada wanita itu untuk menikah denganku. Aku seenaknya sendiri bukan? Egois ? Memang, tapi bagaimana aku tidak punya pilihan lain selain mengorbankan wanita lugu itu. Wanita yang tidak pernah berbuat salah kepadaku tapi harus menikah denganku dengan cara yang sangat buruk. Jelas aku memanfaatkannya untuk menutupi rasa malu ku serta keluargaku. Dan di sisi lain aku ingin menunjukkan kepada Kamila bahwa tanpa dirinya pun aku bisa bangkit. Tapi apakah Alya mau menikah denganku? Semoga saja dia mau. Dan untukmu Kamila selamat tinggal, terimakasih dengan luka yang kamu torehkan kepadaku dan keluargaku. Sungguh luar biasa hebat. Semoga kamu tidak bahagia seumur hidup. Hahahaha.... "

Revan benar - benar merasa benci pada Kamila saat ini. Tentu saja siapa yang tidak benci setelah menjalin asmara, bahkan ia berusaha membahagiakan orang yang dicintainya tapi malah seakan di buang setelah mengalami kecelakaan. Memang siapa yang mau mengalami kejadian itu? Setelah terakhir kali Kamila datang ke rumah sakit sampai saat ini Kamila sama sekali tidak menunjukkan barang hidungnya baik di depan Revan atau keluarga Revan. Ia seperti di telan bumi.

"Tok tok tok", ibu Farah mengetuk pintu kamar putrinya.

" Mama masuk ya? ", tanpa menunggu jawaban ibu Farah membuka pintu kamar putrinya. Dilihatnya putrinya hanya rebahan sambil memainkan ponselnya.

" Mila, apa kamu mau begini terus ? Kamu nggak masuk kerja beberapa hari ini dan di rumah kamu hanya main ponsel saja. Sekarang apa kamu puas dengan keputusanmu membatalkan pernikahanmu dengan Revan? hm...? ", yang ditanya hanya diam seperti enggan menjawab pertanyaan dari sang mama.

" hah... ", ibu Farah menghela nafas. Merasa lelah dengan tingkah laku putrinya.

" Mama harap kamu membuka hati dan pikiran kamu. Kamu sudah menghancurkan pernikahanmu sendiri, dengan itu mama harap kamu bisa mengambil pelajarannya. Mama hanya khawatir dengan apa yang kamu lakukan kehidupanmu ke depan akan sulit itu saja yang mama takutkan"

"Mama ngomong apa sih? Tolong biarkan aku sendiri ma? ", akhirnya orang yang dari tadi diam pun bersuara.

" Ya sudah mama keluar", ibu Farah mengalah dan memilih meninggalkan putrinya di kamar. Ia berjalan menuruni tangga. Pak Doni yang sedang menonton TV di ruang keluarga menyadari keberadaan sang istri pun bertanya,

"Mama ngapain dari kamar Mila ? "

"Nggak ada, cuma memastikan dia saja. Bagaimana kelanjutan setelah pernikahannya dengan Revan batal"

"Biarin ajalah ma. Sementara biarkan dia sendiri. Biar dia merenungi apa yang dia lakukan "

"Tapi sepertinya dia tidak begitu pa"

"Maksudnya? "

"Kalau mama perhatikan Mila malah seperti tidak peduli. Dia yang beberapa hari ini tidak masuk kerja itu sepertinya hanya untuk menghindari suatu hal"

"Hal...? yang seperti apa? "

"Mungkin di jalan dia takut berpapasan dengan salah satu anggota keluarga Revan, misal... Sandi. Yang mama tahu kan tempat kerja Sandi satu arah dengan tempat kerja Kamila"

"Hm... bisa jadi"

"Sudahlah ma jangan dipikirkan lagi nanti mama malah stres sendiri. Kamila juga sudah dewasa dia berhak dengan pilihan hidupnya sendiri", Pak Doni menasehati sang istri. Sang istri pun hanya tersenyum mengerti. Setelahnya tidak ada percakapan lagi karena mereka kini fokus menonton TV.

"Sialan itu perempuan beberapa hari ini nggak ada kelihatan. Padahal aku sudah berusaha menyempatkan waktu ku supaya ketemu dia", umpat Sandi kesal.

" Atau jangan - jangan dia sengaja menghindar ? Hm... benar - benar perempuan tak tahu diri, tidak ada rasa tanggung jawabnya ", Sandi mengoceh sendiri di dalam kamarnya. Pasalnya beberapa hari terakhir ini ia berusaha meluangkan waktu di sela - sela kesibukannya guna bisa bertemu dengan Kamila. Bahkan harus sampai menunggu di tempat yang biasa di lalui Kamila, namun nihil.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!