Begitu sampai di dalam kamar, Revan mempersilakan Alya duduk di tepi kasurnya sedang ia memilih duduk di kursi tempat biasa ia menyelesaikan pekerjaan yang sekiranya tidak selesai di tempat kerja. Revan membuka pembicaraan,
"Maaf sebelumnya mbak Alya, mbak pasti bingung kenapa saya tiba - tiba mengajak berbicara empat mata dan itu pun di kamar. Mbak jangan salah paham saya tidak akan melakukan apa - apa terhadap mbak Alya. Saya hanya ingin meminta tolong kepada mbak Alya".
Alya mengernyit bingung kemudian berkata,
"Minta tolong? ", tentu Alya bingung orang yang hampir tidak pernah berbicara dengannya sekarang minta tolong.
" Iya"
"Minta tolong perihal apa? "
"Mbak dan kedua orangtua saya sudah saling mengenal lama, saat ini keluarga saya dalam masalah. Mbak juga tahu penyakit bapak dan ibu saya bukan? Sebenarnya sebentar lagi saya akan menikah namun tiba - tiba calon istri saya membatalkan sepihak. Hal itu membuat keluarga saya terguncang, bahkan dua hari yang lalu bapak masuk rumah sakit karena kaget mendengar pembatalan pernikahan saya. Saat ini memang sudah stabil tapi tetap itu akan menjadi pikiran kedua orangtua saya. Jadi saya ingin minta tolong mbak untuk... "
"Untuk apa? ", belum Revan melanjutkan kalimatnya Alya sudah memotong. Alya sudah merasa ada sesuatu yang kurang baik.
" Saya mohon menikahlah dengan saya mbak ! "
"Apa ? ", Alya terkejut dengan permintaan Revan. Ia pun lanjut berkata,
" Ini tidak masuk akal, bagaimana bisa saya? ", Alya protes pada Revan.
" Ini memang tidak masuk akal mbak tapi tolonglah saya kali ini ! Demi kedua orangtua saya mbak. Mbak Alya paham dengan kesehatan orangtua saya yang kapan saja bisa drop. Saya mohon mbak saya tidak tahu lagi bagaimana menyikapi hal ini ! Sekalipun saat ini orangtua saya terlihat baik - baik saja tapi saya yakin mereka tidak baik - baik saja", Revan memohon pada Alya bahkan berlutut di hadapan Alya sembari menakupkan kedua telapak tangannya. Alya terperanjat matanya melotot karna sikap Revan yang seperti orang menyembah sedang yang dipahami Alya yang boleh di sembah hanyalah Allah Tuhan semesta alam. Tapi apa daya Alya yang kaget hingga ia bingung harus bagaimana. Ia tersadar ketika Revan berucap kembali,
"Mbak saya mohon ! "
"Mas tolong berdiri ! Jangan seperti ini ! ", Alya yang tersadar dan pikirannya kembali normal.
" Maaf sebelumnya mas, tapi saya tidak bisa. Saya tahu bagaimana perasaan keluarga mas saat ini tapi untuk menikah dengan mas itu bukanlah sesuatu yang mudah diputuskan begitu saja. Apalagi antara saya dan mas bisa di bilang kita tidak saling kenal. Kita hanya sebatas tahu saja tapi tidak kenal. Dan lagi pula ini sangat tidak masuk akal, mas yang batal menikah kenapa bisa saya yang mas ajak menikah. Jujur ini jelas seperti menjadikan saya tumbal atau pengganti. Saya tersinggung. Maaf saya kira sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan kalau begitu saya mohon diri !", Alya beranjak dari duduknya berjalan menuju pintu untuk keluar namun sebelum ia memutar handle pintu Revan kembali bersuara,
"Saya akan memberikan waktu beberapa hari untuk mbak berpikir. Saya harap mbak berkenan sesuai harapan saya. Tolong pertimbangkan kedua orangtua saya walaupun kita bukan keluarga", setelah itu Alya keluar dari kamar Revan. " Cih bisanya dia memaksa ", batin Alya.
Sesampai di ruang tamu semua orang menoleh ke arah Alya. Tanpa di sadari Alya ternyata Revan mengekor di belakangnya. Jika bukan karena pak Andi yang bertanya sampai saat ini mungkin Alya tidak tahu kalau Revan ada di belakangnya.
" Ada apa Van? "
"Hah...? Jadi dia dari tadi di belakangmu? ", batin Alya namun ia berusaha memasang wajah tenang.
" Tidak ada apa - apa pak. Cuma tanya soal pembukuan, mbak Alya kan pernah jadi admin", yang ditanya pun menjawab menutupi alasan yang sesungguhnya. Mereka yang di sana pun percaya begitu saja karena memang Alya pernah bekerja sebagai admin. Sedang Alya hatinya kesal bukan main. Ia merasa Revan meremehkannya, "memang dia siapa? ", batin Alya. Ia kemudian beralih memandang putrinya yang sedang memperhatikan ikan di aquarium. Mungkin dengan mengalihkan pandangan bisa sedikit membuat rasa kesalnya hilang. Beberapa menit berjalan hingga Deddy berpamitan pulang. Di tengah perjalanan Deddy bertanya sekali lagi pada adiknya, rupanya ia masih penasaran.
"Emang Revan mau buat pembukuan apa dek? "
"Itu cuma alasan aja"
"Maksudnya? "
"Dia bilang katanya beberapa hari lagi akan menikah namun tiba - tiba calon istrinya membatalkannya"
"O itu tadi juga pak Andi dan istrinya cerita sih. Trus? "
"Masalahnya dia meminta aku buat nikah sama dia"
"Lha trus kamu? "
"Ya nggaklah bang sudah jelas aku cuma buat pengganti. Kesannya aku seperti tumbal. Lagian kita kan nggak saling kenal hanya sekedar tahu nggak lebih"
"Hm kamu bener sih dek tapi kalau di pikir lagi nggak ada salahnya juga kalau kamu menikah sama Revan", di luar dugaan tanggapan Deddy seakan mendukung Alya menikah dengan Revan. Alya yang kaget dengan penuturan sang kakak pun lantas menoleh menatap sang kakak dengan wajah bengong.
"Maksud abang gimana? Aku menerima gitu? "
"Itu sih terserah kamu dek, soalnya kamu yang menjalaninya tapi mungkin Revan begitu karena malu pernikahannya batal dan mungkin juga karena kondisi orangtuanya. Tadi sempat pak Andi cerita kalau dua hari yang lalu masuk rumah sakit perihal mendengar pembatalan dari pihak perempuan. Kalau aku sih tidak mempermasalahkan kamu menikah dengan Revan. Revan biarpun kelihatannya dingin cenderung angkuh tapi aku yakin dia lelaki yang bertanggung jawab"
"Jadi intinya abang mendukung aku menikah dengan Revan? "
"Abang akan mendukung sama siapapun kamu menikah tapi yang pasti abang harus lihat dulu seperti apa lelaki itu. Dia lelaki yang bertanggung jawab dan menghargai kamu atau tidak"
"Menurut abang, Revan begitu? "
"Iya walaupun kelihatannya angkuh tapi kalau ku perhatikan dia adalah lelaki yang bertanggung jawab dan bisa menghargai perempuan"
Alya terdiam beberapa menit kemudian berkata,
"Dia memang beralasan karena kesehatan orangtuanya tapi apakah harus begitu? "
"Terserah kamu, pikirkanlah baik - baik ! ", nasehat Deddy pada adiknya. Alya hanya mengangguk mengerti. Kemudian hening di dalam mobil, Alya dengan pikirannya sendiri, Deddy yang fokus menyetir dan Faya yang berada di kursi belakang bermain boneka sedari tadi.
Di tempat yang berbeda, tepatnya di rumah pak Andi saat ini Sandi berada di kamar Revan. Ia masih tidak percaya dengan alasan Revan secara Revan orang yang cerdas dan pasti bisa pembukuan yang sudah menjadi makanannya tiap hari karena selain sebagai pengajar Revan juga membuka usaha Cafe dan Resto bersama sahabatnya Rio.
"Mas sebenarnya tadi bicara apa sama mbak Alya? "
"Aku ngajak dia nikah? "
"Apa? Nggak salah ? ", Sandi bingung dengan pemikiran kakaknya saat ini. " Apa akibat dari kecelakaan membuat otaknya jadi error ? ", batin Sandi.
"Menurutmu ? ", yang di tanya malah berbalik bertanya.
" Kenapa mas ngajak mbak Alya nikah? Dia kan bukan tipe mas? "
"Kenapa, kamu bilang ? Tipe, apa saat ini itu penting ?"
Sandi hanya diam berusaha memahami yang dikatakan oleh sang kakak. Sesaat kemudian sang kakak berkata lagi,
"Dengan batalnya pernikahanku apa tidak cukup menjadi alasan untukku mencari pengganti pengantin"
"Tapi kenapa harus mbak Alya ? Memikirkannya saja terdengar tidak masuk akal. Dia sama sekali bukan tipe mas selama ini. Kalian jauh berbeda dan lagi dia janda yang sudah punya anak", kali ini Sandi mengatakan dengan nada pelan namun menekan.
" Lalu menurutmu dengan siapa ? Karena menurutku hanya dialah saat ini yang tepat ".
Sandi terdiam beberapa detik kemudian berkata,
" Terserah lah, aku nggak ngerti sama jalan pikiran mas", ia mengalah dan bermaksud keluar dari kamar kakaknya namun sebelum keluar kakaknya memberi peringatan padanya,
"Jangan sampai bapak dan ibuk tahu soal ini ! Nanti kalau waktunya sudah tepat aku yang akan memberitahunya sendiri"
Meskipun Sandi merasa agak kesal pada kakaknya tapi ia tetap menganggukkan kepala tanda mengerti dengan yang di sampaikan oleh kakaknya. Setelahnya ia pun keluar dari kamar sang kakak.
" Mau bagaimana lagi?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments