Keesokan harinya...
Saat siang menjelang, di sebuah rumah sederhana milik nenek Ranti yang terlihat sepi. Kedua wanita yang berprofesi sebagai penjahit itu kini sedang tidak berada di rumah. Mereka tengah pergi ke kota untuk mencari kain sebagai bahan untuk membuat seragam pesanan dari salah satu warga desa itu.
Di dalam rumah, tepatnya di kamar mandi rumah sederhana itu, wanita muda korban rudap*ksa itu nampak merosot di dinding kamar mandi. Ia nampak mencengkeram rambut panjangnya dengan kuat seolah ingin melepaskannya dari kulit kepala. Sebuah ponsel dan tes kehamilan dengan dua garis biru tergeletak tepat di sampingnya. Menandakan bahwa wanita yang belum bersuami itu kini positif mengandung seorang bayi.
Hancur, remuk, sakit, bingung, kecewa, takut, marah, semua bercampur menjadi satu. Bagaimana nasib wanita ini selanjutnya? Apa yang harus ia lakukan? Kemana ia harus mengadu dan meminta pertolongan? Apa yang harus ia katakan pada nenek dan ibu tirinya? Bagaimana reaksi Ratna jika tahu ia hamil? Mungkin ia akan diusir dari rumah setelah ini! Lalu kemana ia akan pergi?
Astaga, Tuhan! Ini terlalu menyakitkan. Ini tidak adil. Kenapa cobaan seberat ini ditimpakan pada Anisa yang sejak kecil tak pernah diharapkan kehadirannya oleh ibu tirinya?!
Anisa menangis pilu, sesenggukan di dalam kamar mandi itu. Ia menjambak rambutnya sendiri, menggerak gerakkan kakinya menendang udara. Ingin rasanya ia berteriak sekeras yang ia bisa. Ia benar benar bingung harus berbuat apa sekarang. Ia tak mau hamil. Ia tak mau punya anak sedangkan ia belum punya suami. Tolonglah, apa yang harus wanita ini lakukan?!
Sementara di luar rumah, sebuah motor nampak berhenti di depan bangunan sederhana dengan cat putih itu. Tami, sang sahabat, nampak turun dari kendaraan roda duanya lalu berjalan mendekati pintu utama rumah tersebut.
"Assalamualaikum," ucap Tami.
Sepi, tak ada sahutan. Tak ada tanda tanda manusia yang berada di dalam rumah itu.
"Assalamualaikum, Nis, Anisa," ucap Tami lagi memanggil sang sahabat. Namun lagi lagi, tak ada sahutan.
Tami melongokkan kepalanya, menatap ke arah pintu kamar Anisa. Pintu itu terlihat tak tertutup sempurna.
"Anisa, Nisa..." panggil Tami lagi. Tetap tak ada sahutan. Wanita berhijab hitam yang sengaja meminta izin untuk pulang lebih cepat pada bosnya guna menemui sang sahabat setelah mendapatkan telfon dari Anisa itu kemudian menggerakkan kepalanya, menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Assalamualaikum," ucap Tami kemudian sembari melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah itu. Ia berjalan dengan langkah yang seringan kapas, mendekati kamar Anisa dan membuka pintunya perlahan.
"Nisa," ucap Tami lagi. Dilihatnya disana, kamar itu kosong. Tami kemudian celingukan lagi. Anisa tak ada di kamarnya.
"Nis, kamu dimana?" tanya Tami. Ia kemudian berjalan menuju dapur rumah tersebut. Kosong...!
Tami terdiam. Sayuk sayuk suara tangis terdengar dari kamar mandi. Tami membuka mulutnya, itu pasti Anisa!
Wanita berhijab hitam itu kemudian setengah berlari mendekati kamar mandi.
Ceklek...
Pintu terbuka,
"Astaghfirullah haladzim, Nisa!!" pekik Tami. Dilihatnya disana Anisa menangis, meratap pilu sembari memukuli tubuhnya sendiri. Tami dengan cepat mendekati wanita yang tengah rapuh itu. Diraihnya lengan itu, seolah ingin menghentikan pergerakan wanita malang yang kini terus menangis tersedu-sedu itu.
"Nisa, istighfar, Nis!" ucap Tami menghalangi pergerakan Anisa yang nampak tak terkontrol. Wanita itu menangis sejadi jadinya. Ia benar benar hancur. Ia seolah membenci dirinya sendiri. Tami mencoba memeluk sang sahabat. Air matanya ikut luluh mendengar tangisan Anisa.
Tami menggerakkan satu tangannya, meraih sebuah testpack bergaris dua yang tergeletak di samping Anisa. Benar, Anisa hamil...!
Tami memejamkan matanya. Ia memeluk sahabatnya itu dengan erat seolah ingin memberikan ketenangan pada wanita cantik itu. Didekatkannya wajah itu pada telinga sang kawan.
"Istighfar, kamu masih punya Tuhan, Nis," lirih wanita berhijab itu. Anisa menangis merintih.
"Kamu wanita yang kuat, kamu bisa hadapi semua ini. Banyak orang yang sayang sama kamu, Nis. Jangan nyerah..." ucap Tami lagi mencoba memberi semangat untuk Anisa.
Anisa makin menangis. Tami mengeratkan pelukannya. "Menangislah kalau itu bisa bikin kamu lebih tenang. Aku ada disini. Aku akan nemenin kamu sampai kamu tenang," ucap Tami sembari mengusap usap punggung sang sahabat.
Cukup lama sepasang sahabat itu di dalam kamar mandi rumah tersebut. Tami berusaha menenangkan Anisa, menemaninya hingga wanita malang itu mulai membaik. Beruntung, nenek Ranti dan Ratna sedang tidak berada di rumah. Membuat Tami dan Anisa pun bisa lebih leluasa untuk berbincang.
......................
Dua jam berselang, Tami mengajak Anisa untuk masuk ke kamar tidur wanita malang itu. Kini Anisa nampak duduk diam di atas ranjang dengan sorot mata kosong menatap lurus ke depan.
Tami datang dengan segelas teh hangat untuk Anisa. Ia lantas menyerahkan minuman tersebut pada sang sahabat.
"Minum dulu, Nis," ucap Tami. Anisa tak menjawab. Ia kembali mengusap lelehan air matanya. Tami menghela nafas panjang. Ia meletakkan teh itu di atas meja. Ditatapnya wajah sang sahabat dengan sorot mata iba.
"Kamu harus minta pertanggung jawaban dari Luke, Nis!" ucap Tami tegas. Anisa menoleh.
"Nggak mungkin, Tam," ucap Anisa putus asa.
"Nggak mungkin apanya? Kamu hamil anak dia, Nis!" ucap Tami kesal. Anisa tak menjawab. Lagi, air matanya jatuh tak terbendung.
Tami lantas menggerakkan tangannya, merogoh tas ranselnya kemudian mengeluarkan secarik kertas dari dalam sana dan menyerahkannya pada Anisa.
"Nih, ambil!" ucap Tami sembari meletakkan kertas itu di tangan Anisa.
Anisa menatap penuh tanya ke arah kertas itu dan Tami secara bergantian. "Apa ini, Tam?" tanya Nisa.
"Itu alamat perusahaannya Luke. Aku dapat itu dari paketnya Bu Jesslyn yang kemarin datang. Paket itu dari Luke. Dan ada alamat perusahaannya di situ," ucap Tami.
Anisa tak menjawab.
"Luke dan Jesslyn akan tunangan dalam waktu dekat, Nis!" imbuh Tami membuat Anisa menoleh. "Dia akan jadi milik Jesslyn setelah ini!"
Anisa tak bergerak dengan mata berair.
"Nis, biar gimanapun juga, Luke harus tahu kalau ada anak dia di rahim kamu! Dia harus tanggung jawab!" ucap Tami.
"Dia nggak mungkin nikahin aku, Tam..."
"Ini bukan masalah pernikahan, Nis!" Tami memotong ucapan Anisa.
"Ini masalah tanggung jawab! Luke dan keluarganya harus tahu soal ini, termasuk Jesslyn! Enak aja dia, seneng seneng mau tunangan sama pacarnya, sedangkan kamu disini mengandung anaknya tanpa dinikahi! Minimal kalaupun kamu nggak dinikahi, dia harus tanggung jawab dengan cara lain. Menafkahi secara finansial mungkin sampai anaknya gede. Dan dia harus datang ke sini, minta maaf sama nenek dan ibu kamu, plus...mengakui semua perbuatan dia. Biar ibu tiri kamu itu tahu kalau kamu nggak salah. Kamu hamil karena diperk*sa sama laki laki itu. Bukan karena kamunya yang nggak bener!" ucap Tami menggebu gebu.
Anisa menunduk.
"Nisa, kamu berhak buka suara. Kamu berhak menuntut. Kamu itu korban, sedangkan Luke itu pelakunya. Kamu nggak boleh pasrah dan menanggung aib ini sendiri sedangkan Luke bebas dengan nama baik yang melekat di dirinya. Luke harus tahu, orang orang harus tahu, minimal harus ada sanksi sosial untuk pelaku pemerk*saan seperti Luke! Seenggaknya kalau semua orang tahu akan hal ini, nama kamu nggak akan buruk buruk amat karena hamil tanpa suami. Kamu nggak akan di cap sebagai perempuan nggak bener karena yang sebenarnya kamu itu adalah korban!" ucap Tami.
Anisa tak menjawab. Ia bingung.
Tami menyentuh pundak sang sahabat. "Nis, cari Luke. Datangi kantornya. Bilang sama dia kalau kamu hamil anak dia. Kalau perlu kamu bilang ini didepan semua karyawannya. Biar semua orang tahu boroknya Luke. Biar bagaimanapun anak ini adalah anak dia. Bayi ini juga butuh keadilan!" ucap Tami.
"Aku punya saudara di kota. Aku akan minta bantuan dia buat nampung kamu sementara nanti disana. Dia orangnya baik, kok. Dia punya kos kosan gitu. Dia pasti nggak akan keberatan kalau kamu tinggal sementara disana
Anisa menitikkan air matanya. Ia menangis lagi, lagi, dan lagi. Tami menggerakkan tangannya. Dipeluknya tubuh ramping wanita malang itu.
"Nis, pertimbangin kata kata aku. Sebelum ibu kamu tahu kalau kamu hamil, datangin dulu Luke nya. Nggak peduli dia mau menikahi kamu atau enggak, yang penting dia tahu, keluarganya tahu, dan orang orang tahu tentang kejadian yang sebenarnya," ucap Tami.
Anisa menghela nafas panjang disela sela tangisannya. "Aku akan coba pikirin lagi, Tam."
Tami menatap iba ke arah sang sahabat. "Sabar ya, Nis. Kamu pasti kuat, kok!" ucap Tami menyemangati.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Mr.VANO
gak kebayang ke jadian di lami anisa...smg dia bisa cpt keluar tampak minta pertanggung jawapan sabun luke,,,biar dia nikah sama jeslyn,,,gak usa di ksh ke turunang,,,biar dia yg gila cari anisa,,,jahat ak ya
2023-07-28
1
Desyi Alawiyah
benar kata Tami,Luke dan keluarganya harus tau...krn bagaimanapun anak yg kamu kandung adalah anaknya...
tapi....gimana reaksi Luke nanti terlebih klo Jesslyn tau...apa nanti Luke mengakui perbuatan dia terhadap Anisa...🤔🤔🤔
lanjut kak...semangat yah...🤗
2023-07-07
1
Desyi Alawiyah
Luke bener" keterlaluan...apa Luke ga mikir yah,dia juga terlahir dari rahim seorang perempuan...kok tega"nya dia berbuat seperti itu ke Anisa...😑 aku yakin sih,klo Ratna sampe tau pasti dia akan semakin membenci Anisa...kasian Anisa...😔
2023-07-07
1