"Anda memanggil saya, Ayah?" tanya William swsaat masuk ke ruangan itu.
Tatapan Oscar terhadap William seolah merendahkan. Ketukan tangan menandakan ada hal yang salah dia antara mereka. "William, sudah saya katakan di awal ini adalah sekolah kamu dengan yang lainya sama saja," jawab Oscar.
Tundukkan kecil kepala William menandakan permintaan maaf sebelumnya. "Maaf Mr. Oscar. Ada keperluan apa Anda memanggil saya?" ulang pertanyaan William.
"Bagaimana kemajuan mu atas rival mu itu William?"
Senyuman Simpul William lakukan, salah satu alis yang meninggi sebagai tanda pertanyaan. Kelehan pelan William lakukan sebagai tanda ejekan. "Anda bilang jika Anda akan memperlakukan saya sama seperti murid lainya, pertanyaan apa itu Mr. Oscar? Sebuah perhatian?" tanya William.
Tatapan tajam Oscar atas putranya sendiri. Seolah itu menurun pada Oscar sekarang. Dia tak bergeming meskipun Oscar menatap nya tajam. Ini adalah hal yang biasa bagi William, dia tidak merasakan takut lagi.
Dulu dia pasti akan gemetar takut untuk di cambuk ataupun di pukul. Sekarang itu bagaikan sebuah pelajaran yang berharga. Mungkin dia harusnya berterimakasih kepada ayahnya itu. Karena didikan otoriter dari Oscar membuat William menjadi seperti sekarang. Cerdik, pintar, dan pandai mempengaruhi orang. Menarik orang-orang untuk ada di kelas sosialnya sebagai standar William Shakespeare.
"Kamu dan Damian mempengaruhi Dara, bagaimana keadaannya?"
"Dara? Anda salah bertanya Mr. Oscar, harusnya ini Anda tanyakan pada Damian bukan pada saya," jawab William singkat.
"Mr.. Caroline kemari, sepertinya kamu sudah bertemu dengan dia, seharusnya saya tak perlu menjelaskan apapun William, kamu yang mengajukan permainan dan taruhan itu," jelas Oscar.
Dirinya seolah hanyut dalam sebuah instuisi. Hubungan antara ayah dan anak yang tidak semestinya terjadi. Hubungan mereka renggang dalam masalah keluarga tapi dekat dalam hal taktik dan perencanaan. Seperti dua orang yang saling berargumen dan melayangkan pertanyaan satu sama lainya.
"Itu tak ada hubungannya dengan saya, Damian secara sadar mempertaruhkan Dara begitu pula dengan saya mempertaruhkan Delia, pendamping paling berbakat yang saya punya. Saya tidak melanggar apapun," jelas William sembari menatap tajam pada Oscar.
Bukannya marah justru senyuman yang Oscar tampilkan. Smrik tipis tak bisa dia sembunyikan. Tatapan bangga juga terlihat jelas membuat suasana cair di antara mereka.
"Jangan terlalu percaya diri William, kadang tikus berjalan dari jauh pandangan saat kamu tidak memperhatikan mereka," kata Oscar.
"Jangan khawatir Mr. Oscar, kegagalan Anda sebelumnya adalah pelajaran yang sangat berharga bagi saya," balas William.
Tak ada jawabab lagi dari Oscar. Dia melihat ke William yang masih santai ada di depannya. Oscar adalah kepala sekolah yang tegas, dia menciptakan kurikulum baru membuat banyak lulusan bagus dari Akademi. Di lain sisi, banyak orang yang takut pada Oscar.
Ucapan Oscar seolah sihir yang mampu mempengaruhi orang-orang. Dia terlihat baik hati, lain sisi dengan pikirannya. Oscar akan melakukan apapun agar tujuannya tercapai, hal itu menurun pada William. Sikap liciknya serta mempengaruhi orang-orang membuat dia berkarisma seperti layaknya pemimpin.
Cukup lama mereka diam dengan saling menatap seolah tau apa yang mereka pikirkan satu sala lain. Berbeda hal dengan Oscar, dia mulai mengambil sesuatu dadi lokernya. Sebuah ponsel milik Gerda tepat dia letakkan di sana.
"Jika kamu membutuhkan sebuah alasan untuk menemuinya, serahkan ini. Katakan ini dari ayahnya," ujar Oscar.
Sedikit tundukan dari William sebagai tanda hormatnya. Tak lama kemudian dia pergi dari sana. Terlihat ponsel yang unik menurut William. Sekilas ini terlihat seperti ponsel biasa, lain hal menurut William ada banyak hal yang tak bisa dia buka sekarang.
Perlahan William berjalan, melewati lorong menuju asrama perempuan. Banyak orang yang menyapanya, beberapa anak perempuan di sana terlihat seperti mencari perhatian atau hanya sekedar meneriakkan namanya.
"Apakah itu cukup?" ujar seseorang membuat William menahan langkah kakinya.
Senyuman simpul William lakukan sembari membalikkan badannya. "Apanya yang cukup?" pertanyaan dia balikkan sesaat melihat anak itu siapa.
Itu adalah Damian menampilkan wajah marahnya. Damian kesal saat hubungannya semakin merenggang karena William. "Perjanjiannya tak seperti ini," ucapanya.
"Saya tidak melakukan apapun, semual hal ini adalah hal wajar Damia," jawab William.
Tatapan William santai lain hal dengan Damian. "Saat hubungan kami semakin merenggang, kamu justru akan mendekati Dara," ucap Damian kembali. "Karena permainan itu banyak orang yang tidak mau menjadi pendamping ku William! Mereka takut mereka akan berakhir sama seperti Dara, kamu tak pernah bilang untuk mempublikasikan permainan ini," lanjut nya.
"Ini adalah permainan resmi Damian, semuanya terekam oleh drone pengawas. Kamu tau para jurnalis memiliki akses ke rekaman itu untuk mengawasi apakah ada kecurangan atau hal yang perlu di tulis mereka dalam blog mereka. Mereka tidak terikat oleh siapapun, bahkan saya," jelas William dengan santai.
Geraman tangan Damian kuat menahan amarahnya. Rahangnya memgeras, serta hanya bisa menggertak. "Matilah!" teriak Damian langsung mengarahkan pukulannya pada wajah William.
Tanpa di sangka dengan sigap William mengangkis pukulan itu, meletakkan tangan genggaman tangan Damian tepat pada telapak tangannya. Seringai tercipta dari wajah Damian, terlihat seperti raut wajah ejekan.
"Kamu masih belum paham Damian, jangan melakukan kesalahan seperti apa yang kamu lakukan di SMP dulu karena aku masih ingin bermain dengan mu, jangan paksa aku untuk mengeluarkan mu," bisik William langsung melepaskan tangan Damian.
Tanpa ucapan apapun lagi William langsung pergi, meninggalkan Damian yang masih terbakar amarahnya. Napas Damian memburu, melihat sekitar yang makin melihatnya dengan tatapan takut.
Satu malam sebelumnya Damian merasa ada hal yang aneh dengan Dara. Dia malah makin dekat dengan seseorang, itu membuat Damian khawatir jika Dara akan pergi meninggalkan dia. Sudah beberapa hari lalu Damian ingin meminta maaf, tapi banyak hal yang terjadi membuat Damian mengurungkan niatnya.
Perasaan egois Damian tercipta, dia malu untuk mengakui kesalahannya atas Dara. Damian mendapatkan kabar jika salah satu teman Dara tidak lulus, maka semuanya akan tidak lulus. Perlahan Damian pergi ke rooftop untuk menemui Elanor, saat dia ingin meminta maaf tanpa mengucapkannya. Damian akan mengalahkan Elanor lalu membuat kelas Dara aman.
Sayang sekali, Dara sudah ada di sana. Langkahnya terhenti saat Damian terlalu malu untuk menemui Dara. Ingatan saat dia menampar Dara sungguh membuat Damian bungkam atas amarahnya yang tak bisa dia kontrol sendiri.
"Untuk apa aku bertarung dengan mu, kamu bukanlah pemimpin kamu juga tidak memiliki pangkat di kelas. Saat aku menang pun, aku tidak akan memiliki banyak keuntungan," ucap Elanor yang membuat Damian langsung tersadar.
Saat itu dia ingin membantu Dara, dia ingin menawarkan bantuan agar Dara bisa menang. Tak seperti yang di harapkan William datang untuk membantu Dara. Pada akhirnya Dara mengalahkan Elanor sendiri, meskipun entah bagaimana dia pingsan dan tak sadarkan diri.
"Dara! Dara! Sadarlah!" teriak William cemas di sana.
"Apa yang terjadi!" ucap Damian saat melihat Dara yang sudah terkapar. "William! Apa yang kamu lakukan!" teriak Damian. Hampir Damian mengangkat Dara untuk membawanya pergi, justru tangan William menahannya.
"Apa yang aku lakukan? Harusnya aku yang bertanya apa yang kamu lakukan di sini, Damian."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments