After Reunion

After Reunion

Alasan

Pov : Widya

Aku sedang menundukkan kepala dengan sangat rendah. Lebih lama dari biasanya. Meminta pada Allah agar nanti saat diriku dipanggil dalam keadaan husnul khotimah, bertobat, dan tetap menjadi islam. Ya, aku sedang melaksanakan salat lail.

Menangis di sepertiga malam dan meminta pada Pencipta agar aku dikuatkan dalam menjalani takdir rumah tanggaku. Kalian pasti ingin tahu apa yang terjadi?

Namaku Widyasari, usiaku 40 tahun, seorang wanita yang bisa dikatakan masih bau kencur menyandang status janda. Suamiku bukan lelaki panutan yang bisa kujadikan imam dalam perahu rumah tanggaku. Jika dulu masalahnya adalah karena lalai terhadap tanggung jawab, maka alasanku berpisah tiga tahun lalu adalah karena dia sudah bisa menduakan cintanya.

Kata orang, wanita yang berpisah dari lelakinya akan sangat tertekan hingga mengubah keadaan mereka. Mental para wanita itu akan menjadi sangat hancur ketika kehilangan. Benarkah?

Justru aku, tidak merasakan hal yang demikian. Sebaliknya, hatiku terasa lega. Beban penat dan penuh yang dahulu mendesak kini sudah terhempas. Bukan mudah menjalani kehidupan dengan lelaki yang lalai terhadap tanggung jawab.

Aku, seorang diri banting tulang mencukupi segala keperluan keluarga dan anakku sendiri. Suamiku yang telah menjadi pengangguran, malah terlena dengan keadaannya. Asyik menganggur dan menikmati waktu luangnya.

Bagaimana jika lelakiku tidak punya uang? Minta padaku. Untuk apa susah jika masih memiliki seorang istri yang pekerja giat?

Alasan bertahan dahulu adalah memikirkan anakku. Sembari berharap akan ada hidayah dari Allah yang datang padanya. Sayangnya, suamiku malah semakin menggila.

Kami sempat pisah pulau karena orang tuaku menyuruhnya untuk meminta pekerjaan pada saudaranya. Kenapa tidak minta tolong pada saudara yang dekat?

Sudah, itu sudah kami lakukan. Hanya saja, suamiku selalu mengeluh jika pekerjaannya sedikit membuatnya susah. Akhirnya orang tuaku yang sudah kehilangan kesabaran menyuruhnya untuk kembali ke asalnya.

Lagi-lagi aku berharap bahwa dia akan berubah dan bertanggungjawab pada keluarga kecil kami. Ternyata pemikiran ini salah! Bukan sebuah hidayah yang menghampirinya, malah sebaliknya. Musibah datang menghantam kapal kami.

Dia berselingkuh dengan seorang wanita. Disaat itulah aku sadar, bahwa selama ini yang mencoba terus menahan agar jangkar kami tetap terikat ketika deburan ombak semakin besar, hanyalah salah satu pihak. Hingga membuat tali jangkar itu putus dan menyakiti satu sama lain.

Aku tidak menyalahkan siapapun disini. Hanya yang membuatku terpuruk adalah kemarahan anak semata wayangku. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, pokoknya perpisahan kami adalah murni kesalahanku. Itulah pikirnya.

"Mamah itu nggak sayang sama Bapak. Selalu menuntut Bapak punya uang banyak! Makanya sekarang Bapakku pergi karena tidak tahan dengan Mamah!" Begitulah reaksi Gandi, anakku yang berusia enam belas tahun.

Setiap ucapan Gandi selalu teringat ketika sepi menghampiri. Kupanjatkan do'a agar dia selalu diberikan kesehatan, kebahagiaan, keberuntungan, umur panjar, serta hal baik lainnya. Begitulah seorang ibu, masih saja mendo'akan meskipun hatinya terluka.

*

"Assalamu'alaikum," suluk seseorang di depan rumahku.

"Wa'alaikum salam." Aku beranjak menuju pintu dan melihat siapa yang datang.

"Shofi? Ya Allah, apa kabar?" Aku memeluk sahabat karibku. Kami kenal mulai dari SD. Lama tidak berjumpa membuatku rindu akan hal tentangnya.

"Alhamdulillah, Baik Wid. Kamu sendiri?" tanyanya padaku.

Aku mempersilahkannya masuk ke dalam rumah. Meminta Shofi duduk. Banun mengetuk pintu yang terhubung dengan klinikku guna menanyakan ingin dibuatkan minum apa?

"Tolong belikan Ibu es teh sama kebab ya, Nun. Sahabat Ibu suka sekali dengan makanan itu. Belikan juga buat Gandi dan para karyawan." Aku memberikan uang pada Banun.

Masih ingat betul aku dengan kesukaan sahabatku satu ini. Kami berbagi cerita tentang kehidupan. Dia turut sedih mendengarkan kisah rumah tanggaku.

"Eh, hampir saja aku lupa." Shofi mengeluarkan sebuah undangan dari dalam tasnya. Lalu menyerahkan padaku.

Aku baca perlahan undangan itu. Ternyata sebuah undangan reuni SMP. Ini baru pertama kalinya diadakan reuni setelah kelulusan kali puluhan tahun silam.

"Nyumbang yang banyak," ucapnya sambil terkekeh.

Akupun tersenyum, "Iya. Kamu datang?"

"Aku datang kalau kamu juga menghadirinya," jawab wanita yang masih terlihat awet muda itu.

Aku berpikir sebentar. Reuni, ajang bertemunya kembali dengan teman lama yang sudah jarang kita temui. Ingin mendengar kabar dari mereka. Tapi ada juga kekhawatiran yang mendera.

Banyak yang menjadikan ajang reuni sebagai pertemuan untuk membanggakan apa yang sekarang mereka miliki. Aku paling malas jika berhadapan dengan orang model begini. Masalahnya, SMP ku dahulu adalah SMP favorit. Jadi, tahu sendiri nanti seperti apa?

Ajang pamer kekayaan dan kekuasaan pasti akan terjadi disana. Tapi, aku juga ingin mendengar kabar dari yang lainnya? Haruskah aku datang?

"Woi ..., malah melamun!" Shofi membuyarkan lamunanku.

"Nanti aku kabari, deh!"

"Datang sih, Wid. Ada mas itu lho ...," bujuknya.

Aku mengernyitkan dahi sambil menahan senyum, mas itu? Siapa? Pikirku. Ternyata Gandi memperhatikan gerak-gerikku. Mukanya langsung masam sembari menyalami Shofi.

"Ini Gandi? MasyaAllah, Nang. Ganteng sekali, sih." Shofi terpesona akan pesona anakku.

Aku akui, ketampanan Gandi turun dari bapaknya. "Iya ini Gandi, masih ingat nggak, Nang? Ini Tante Shofi. Mamahnya Dirga."

Gandi hanya menunjukkan ekspresi wajahnya yang datar dan tidak bersahabat. Dia langsung pergi begitu saja. Shofi sampai heran melihatnya, ya, karena dia tahu Gandi bagaimana.

Banun mengantarkan makanan pada kami. Shofi yang sangat suka dengan dua makanan itu langsung menyantapnya.

"Kamu memang sabahat terbaikku, Wid."

Aku hanya tertawa kecil. Banun mengatakan bahwa ada pasien hamil tiga orang dan harus segera aku periksa. Shofi menyuruhku bergegas melayani pasienku.

"Ini letak janinnya kok masih sungsang ya, Bu Nina? Saya rujuk ya? Usia kandungan Ibu sudah tujuh bulan lebih," ucapku pada pasien pertama.

"Kalau ditangani Bu Widya sendiri nggak bisa, Bu? Saya parno kalau harus ke rumah sakit," jawab Bu Nina.

Aku menggelengkan kepala. Banyak resiko ketika terjadi persalinan sungsang. Apalagi ini taruhannya nyawa. Jawabanku tetap sama meskipun pasien itu merengek. Itu demi kebaikan mereka sendiri.

"Nggak usah takut, Bu. Dokternya teman saya sendiri kok. Masalahnya, selain posisi janin Ibu sungsang, ternyata akhir-akhir ini tensi Ibu tinggi."

Aku kembali membaca dengan seksama status pasienku. Setelah akhirnya pasien itu setuju, aku melanjutkan pemeriksaan terhadap pasien lain.

Sementara aku melayani pasienku, ternyata Gandi sedang mengulik sesuatu pada Shofi. Hal ini aku tahu ketika sahabatku bercerita tentang Gandi.

"Kok aku merasa, Gandi seperti menyalahkan kamu atas perpisahan kalian?" tanya Shofi.

Aku mengangguk. "Dia tidak tahu alasanku meminta pisah dari bapaknya."

Shofi memelukku, "Kenapa tidak jujur saja?"

Aku menggelengkan kepala. "Dia sudah banyak terluka. Aku tidak mungkin mengungkapkannya sekarang."

"Memang apa yang Mamah sembunyikan dari aku?"

Gandi muncul dari belakangku membuat kami terlonjak kaget.

Terpopuler

Comments

Mukmini Salasiyanti

Mukmini Salasiyanti

Assalamu'alaikum
salken thor..
dr Riau....

2024-11-06

0

martina melati

martina melati

reuni maut nih

2024-11-06

0

Sri Wahyuningsih

Sri Wahyuningsih

kangen kabare njenengan Mak... salam dari kebumen

2023-09-09

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!