Kacau Balau

Pov : Widya

Aku mencoba mengatur napasku. Mengambil air minum, masih saja amarah menguasaiku. Aku putuskan untuk wudhu. Masih saja ada rasa kesal menggelayut. Kakiku segera naik ke tempat tidur.

Kupejamkan mata, tapi bukan untuk tidur. Akhirnya rasa kesal, amarah, dan sesak di dalam dada keluar menjadi air mata. Aku tidak mau menyalahkan Gandi. Ini semua salahku karena tidak mengatakan sejujurnya padanya.

Para pasien yang mendengar teriakanku sampai terkejut. Banun mencoba menenangkanku.

"Nun, tolong kamu layani pasien yang datang. Bilang Ibu sedang kurang sehat." Aku tidak berani menampakkan wajahku di depan Banun.

"Nggih, Bu. Yang sabar ya, Bu." Banun mencoba menguatkanku.

"Makasih ya, Nun."

Kudengar pintu kembali tertutup. Aku tidak tahu yang terjadi di luar sana. Aku mencoba untuk menghindari dunia nyata. Entah berapa lama aku tertidur hingga melewatkan salat maghrib.

Banun dan karyawanku lainnya sudah bersiap untuk pulang. Aku meminta maaf pada mereka membuat keadaan tidak nyaman.

"Nun, buat pengumuman kita libur dua hari. Saya butuh menenangkan diri." Setelah selesai memberi perintah itu aku segera kembali ke kamar.

Aku sengaja tidak mengganggu Gandi. Biarlah hati kami sama-sama tenang. Dua hari aku hanya minum air putih dan tidak makan apapun. Shofi menghubungiku karena besok adalah acara reuni. Tanpa pikir panjang aku mengiyakan akan datang pada acara itu.

Malam itu aku dipanggil oleh orangtuaku. Mereka mungkin mendengar dari beberapa pasien yang periksa, bahwa ada keributan dua hari lalu.

"Rumahmu itu tempat pasien, kendalikan dirimu. Kalau sudah tersebar seperti ini nama siapa yang jelek? Namamu sendiri, kan? Lelaki itu tidak usah kamu pikirkan! Biar Abah yang atasi!" Abah begitu marah saat mengatakannya.

Aku hanya diam tidak mengiyakan ucapan orang tuaku.

"Sudah saatnya kamu itu bicara sama Gandi. Anakmu sudah seharusnya tahu, Nduk." Kini gantian Ibu yang bersuara.

Jujur aku malu dihadapkan dengan situasi ini. Ada adik iparku disana. Ah sudahlah, toh mau aku sembunyikan seperti apapun lukaku, bagi mereka aku adalah orang rapuh.

"Abah dengar keponakan Tompi adalah teman Gandi. Apa betul?" tanya Abah lagi. Aku hanya mampu mengangguk.

"Abah peringatkan di awal, kamu sudah tahu bagaimana Abah dengan polisi. Kalau sampai kamu menjalin hubungan dengannya, siap-siap saja Gandi akan Abah ambil!"

Apa lagi ini? Abah dengar dari siapa? Bertemu Tompi saja hanya sekian detik, sudah diancam saja. Mataku tertuju pada Gata. Pasti bocah satu itu yang laporan dengan Abah.

"Nggak semua polisi kayak yang Abah pikir kali. Teman Abah saja dulu yang memang kurang ajar. Memangnya Abah mau lihat mbak Widya menjanda seumur hidup?" Gata mengatakan hal yang tidak perlu.

Keluargaku ini kenapa, sih? Meributkan hal yang belum tentu terjadi. Aku memilih pergi dari rumah orang tuaku dan kembali ke rumahku.

Aku melihat Gandi sedang mengisi air minum. Aku mencoba menyapanya.

"Mau makan apa, Nang?" tanyaku.

Dia tidak menjawab. Membuat amarahku kembali melanda.

"Kamu mau tahu alasan perceraian Mamah? Apa kamu siap jika yang bersalah atas hal itu adalah bapakmu? Mamah capek kamu persalahkan terus menerus. Di mata kamu, Mamah ini orang yang paling hina."

Gandi menoleh ke arahku, "Gandi bukan anak kecil lagi. Sudah saatnya Gandi tahu."

"Oke, alasan perceraian kami adalah karena bapakmu selingkuh." Aku menghentikan ucapanku dan melihat ekspresi wajah anakku.

Sungguh, aku tidak tega melihatnya kecewa. Inilah alasanku selama ini. Raut muka ini adalah ekspresi yang Gandi tunjukkan saat bapaknya keluar dari rumah ini. Saat itu aku bertekad tidak akan memberikannya ekspresi kecewa lagi.

Namun, kini harus terjadi lagi. Dia pergi tanpa mengatakan kalimat apapun. Persis seperti tiga tahun lalu. Aku ingin mencegahnya, tapi tidak mampu. Pintu kamar itu tertutup kembali.

Hari berganti, tapi suasana rumahku masih sama. Aku memutuskan untuk cuti dari rutinitasku dan menyerahkan semua pekerjaan ke Banun.

"Bu, nanti disana have fun, ya? Nggak usah mikir masalah di rumah. Bertemu sama teman-teman lama." Banun membantuku memakai jilbab.

"Makasih ya, Nun. Terima kasih sudah menghibur Ibu. Minta tolong jagakan Gandi." Aku menitipkan pesan itu pada Banun.

Aku meminta Shofi menjemputku. Ternyata dia hanya berangkat bersama suaminya.

"Halo, Assalamu'alaikum." Aku mencoba menyembunyikan suasana hatiku yang sebenarnya kacau. "Berdua aja, nih? Yah, aku jadi yang ketiga, setan dong."

"Nanti kucarikan teman biar jadi pasangan juga." Shofi mulai menggodaku.

Kami tertawa. "Gandi nggak jadi ikut?" tanya Agus, suami Shofi.

"Nggak, Mas. Dia lagi marah sama aku. Yuk, jalan."

SMP dua, sampai sekarang masih merupakan SMP favorit di kabupatenku. Dekorasi sudah terlihat di gerbang sekolah. Kami mengisi daftar hadir terlebih dahulu. Ternyata dibagi perkelas. Mataku secara cepat melakukan scanning siapa saja dari kelasku yang sudah hadir.

Ternyata lelaki itu belum datang. Absen kami hampir berdekatan, makanya aku tahu. Setelah mendapatkan souvenir kami segera mencari tempat duduk. Aku melaksanakan pesan Banun.

Aku menyapa teman-temanku. Senang melihat kebahagiaan menyelimuti mereka. Itu dari penglihatanku, tidak tahu bagaimana sebenarnya.

Galang dan Ria mendatangiku. Pasangan yang viral semasa SMP itu semakin terlihat serasi.

"Wid, Tompi belum datang?" Galang mulai menggodaku.

"Siapa? Tompi? Mana aku tahu!" jawabku gemas dengan suami Ria.

"Masa? Kemarin katanya kalian tidak sengaja bertemu?" Ria ikut nimbrung.

Ya Allah, comel sekali mulut Tompi. Bertemu apanya? Bukannya dia tidak menyapaku? Hal begitu kok diceritakan dengan orang. Dasar!

Aku menjauh dari teman-temanku karena ada telepon masuk dari Gandi. Saat berjalan menjauh, panggilan itu berakhir. Aku disapa oleh April, teman sekelasku yang dulu merupakan anak ter-hits pada zamannya.

Aku di-roasting habis-habisan oleh mereka karena statusku. Diam adalah jalan ninjaku. Kubiarkan mereka merendahkanku.

Saat ada panggilan lagi dari Gandi, aku segera mohon undur diri dari perkumpulan itu. "Maaf ya teman, anakku telepon."

"Oh, silahkan. Diurus yang benar anaknya. Nggak punya suami tuh bisa bikin pecah kepala, lho." April mengatakan hal itu dengan sengaja.

Aku ingin membalas perkataannya, tapi aku lebih memilih diam. Entah kenapa perkataan itu mengena di hatiku. Tiba-tiba saja aku jadi melow. Segera aku mencari tempat untuk menyetabilkan emosiku.

Bebanku satu persatu malah keluar karena semakin berdesakan. Air mataku kembali menguar. Aku menangis sendiri di belakang mobil. Cengeng sekali diriku. Inilah alasan aku enggan datang ke acara reuni. Sisi buruk yang selalu aku takutkan, kini menyapaku.

Disaat aku sedang tersedu, seseorang menutupi kepalaku dengan jas hitam. Aku segera menghapus air mataku. Berdiri dan berbalik menghadap orang itu. Kami beradu pandang cukup lama. Mulut kami saling terkunci untuk mengatakan sapaan pada seorang kawan lama.

"Luapkan saja dulu, aku akan menunggumu," ucap lelaki itu.

Terpopuler

Comments

Mukmini Salasiyanti

Mukmini Salasiyanti

aahhh
au.. au.... auuuwww

2024-11-06

1

Bunda Aish

Bunda Aish

reuni,ada positif & negatif nya ...

2023-09-04

1

anisa f

anisa f

astaga
knpa msh mau ngobrol ama teman kek gt 🤦‍♀️

2023-08-30

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!