Bertemu Lelaki Itu

Pov : Widya

Mataku membelalak melihat lelaki jangkung itu berdiri di depan mataku sendiri. Ada seorang gadis yang sangat mirip dengannya. Siapa dia? Kenapa mereka berdua ada di dalam rumahku?

"Lama tidak bertemu, Wid. Masih ingat saya?" Suaranya masih sama seperti terakhir kali kami bertemu. Membuat kenangan lama terputar oleh mesin waktu.

Aku mencoba tersenyum meski hal itu gagal kulakukan. Gandi dan gadis itu serasa ingin memborbardirku dengan pertanyaan.

"Papi kenal dengan mamahnya Gandi?" tanya gadis itu. Baiklah, disini bisa aku simpulkan bahwa gadis itu adalah anak Mas Tugas.

"Papi? Bukannya ini om kamu, Ran?" tanya anakku pada temannya.

Gadis itu hanya tersenyum, "Dia papiku. Bukan salah aku dong kalau kamu menganggapnya om aku. Orang kamu tidak bertanya apapun."

"Papi kenal, om Tompi juga sangat kenal. Betul kan, Wid?" tanyanya padaku.

Aku hanya mengangguk, mencoba mengalihkan pembicaraan dengan mengenalkan Gandi pada Mas Tugas. Mas Tugas, seorang perwira polisi yang sudah memiliki banyak bintang. Entah bintang apa saja itu, bintang kejora, bintang malam, bintang emon, dan bintang lainnya.

Kalian sungguh ingin tahu siapa dia? Dia adalah kakak dari seorang sahabatku. Lebih tepatnya sahabat lelaki. Masih ingat bagaimana jika ada seorang lelaki dan wanita menjalin persahabatan? Pasti ditengahnya ada? Ada apa? Kalian pasti tahu.

Ya, ditengahnya ada rasa yang tumbuh. Aku tidak menampik hal itu. Perhatian, saling keterbukaan, dan rasa peduli menjelma dan meracik dirinya menyatu menjadi sebuah rasa sayang dan cinta.

Bagiku yang dulu masih SMP, yaang baru merasakan cinta monyet sangat senang akan rasa yang ada saat itu. Tapi, semua sirna karena ucapan lelaki yang kini ada di hadapanku. Mas Tugas dengan tegas dan dingin mengatakan kepadaku bahwa aku harus menjauhi adiknya.

Telingaku merekam dengan jelas perkataannya. Sampai detik ini, aku masih mengingatnya.

"Kamu benar-benar sayang kan sama Tompi? Lakukan pengorbananmu sekarang. Jauhi dia, biarkan dia sukses dengan impiannya. Lagian, di luar sana masih banyak cewek-cewek yang lebih dari kamu." Mas Tugas sangat dingin dan tanpa ekspresi saat memintaku untuk tahu diri. Sorot matanya saat itu, sama seperti sekarang. Masih kejam.

Aku mempersilahkannya duduk, tapi dia menolak. Ia memilih untuk bergegas dan menitipkan anak gadisnya padaku. Apa kelakuan orang-orang kaya seperti ini? Selalu tidak pernah merasa bersalah dan main memberikan perintah tanpa meminta maaf terlebih dahulu? Meskipun kejadian itu sudah sangat lampau?

Ah, sudahlah. Aku tidak mau mempermasalahkannya lagi. Daripada suasana hatiku menjadi buruk, benar kan?

Gandi memperkenalkanku pada anak Mas Tugas. Namanya Rania, cantik. Raut wajahnya seperti orang ketimuran. Apakah istri Mas Tugas masih berdarah Arab? Entahlah, aku tidak tahu.

Aku memuji kecantikan Rania, "MasyaAllah, ayu tenan kamu, Nduk."

"Mah, Rania nggak paham dengan bahasa kita. Dia kelahiran Sulawesi." Gandi menjelaskan padaku darimana asal gadis itu.

"Oh, maaf. Tante tidak tahu. Mami kamu asli Sulawesi?" tanyaku penasaran.

"Iya, Tan. Tante kenal sama om Tompi? Itu om aku, lho," kata Rania. Gadis ini ceria sekali. Auranya itu positif. Beda sama Mas Tugas. Menyeramkan!

"Iya, teman Tante waktu SD sampai SMP. Om kamu..., sehat?" tanyaku agak takut Gandi curiga.

"Sehat, Tan. Om sekarang satu kantor dengan papi."

Tanpa aku ulik lebih dalam, gadis ini dengan murah hati membagi informasi dimana keberadaan sahabatku. Ternyata kami satu kota. Aku hanya bisa menghela napas. Tidak tahu apa yang nanti terjadi kedepannya.

Gandi mengajak Rania bergegas. Aku bertanya rencana mereka. Akan pergi kemana?

"Keliling desa, Mah. Rania merengek terus dari semalam. Daripada dia meneror Gandi terus menerus." Gandi menyalamiku untuk berpamitan. Begitu juga dengan Rania.

"Jaga Rania seperti kata papinya, Gan. Awas kalau macam-macam." Pesanku padanya.

"Dih, kenapa juga Gandi macam-macam sama dia? Tenang saja, Mah. Gandi tidak ada rasa sama cewek cerewet dan jelek seperti dia." Gandi mengatakannya di depan Rania. Aku bisa dengan jelas menangkap ekspresi kekecewaan Rania.

Gadis itu memanyunkan bibirnya. Aku tertawa melihat mereka. Ya itulah remaja, masa-masa paling menyenangkan.

"Kata siapa Rania jelek? Rania ayu. Cantik!" Aku membela anak Mas Tugas.

"Tuh, kata mamah kamu aku cantik. Apa tadi Tante? A-ayu! Ah iya itu. Aku ayu!"

"Iyalah kamu cantik. Jadi sepeda keliling desa nggak, nih? Kalau nggak jadi aku balik tidur lagi nih!" kata Gandi ingin segera menyudahi percakapannya dengan Rania.

Agaknya, Rania menaruh hati pada Gandi. Aku menggelengkan kepala. Takut jika hal itu benar terjadi. Diriku tidak mau kalau Mas Tugas akan merendahkan Gandi seperti yang aku alami dulu.

"Jangan berpikir macam-macam, Wid. Cukup kamu saja yang direndahkan oleh keluarga Tompi. Jangan sampai keturunanmu juga. Semoga Gandi bisa menjaga perasaannya pada Rania. Aamiin." Aki berbicara sendiri.

Aku masuk ke kamar dan bergegas mandi. Lalu setelah selesai menuju dapur dan melihat bahan makanan yang ada. Hanya ada sosis, kecap, saus, bawang bombay. Baiklah, masak dengan bahan seadanya saja.

"Tara..., harumnya." Aku sudah tidak sabar menyantapnya.

Ah, nikmat sekali hanya berlauk sosis yang kutambahkan kecap, saus, dan bawang bombay. Setelah kenyang, aku masuk ke dalam kamar. Mataku terasa berat sekali.

Pasien datang jam tiga subuh. Setelah kupantau selama dua jam tidak ada kemajuan persalinan dan harus kubawa ke rumah sakit. Aku memeriksa ponsel, ada notifikasi agar aku segera mentransfer dana sumbangan untuk acara reuni besok.

"Oke, selesai. Markibo, mari kita bobok." Tidak perlu waktu lama untukku larut dalam mimpi.

Entah apa yang aku pikirkan sampai bertemu dengannya. Tompi melihatku lalu melemparkan senyumnya. Aduh, senyuman itu kenapa masih sama? Aku harus segera sadar agar tidak terlalu lama menatap senyum itu.

Ternyata Gandi sedang berusaha membangunkanku. Aku mengumpulkan nyawa sebelum beranjak dari tempat tidur. Ada pasien yang membutuhkan pertolongan.

"Ran, capek?" tanyaku melihat gadis itu sedang meluruskan kakinya sambil bersandar.

"Iya, Tan. Mana si Gandi lupa bawa air dan uang lagi," jawabnya.

Aku melihat anakku cekikikan. Pasti gadis itu kena usilnya Gandi. Kalau papi Rania tahu habislah kita, Gandi.

"Ambil minum sana. Sekalian makan, tadi Tante masak sosis." Aku bergegas menuju tempat praktikku.

Saat aku kembali ke rumah, aku sedang melihat Gandi menyodorkan gelas bekasnya minum ke Rania. Dengan cepat aku mencegahnya.

"Kalian itu bukan muhrim! Kalau minun dari gelas yang sama, apalagi itu sudah kena bibir kamu, Gandi, itu artinya kalian berciuman! Itu dosa!" Aku sampai menggebu-gebu menjelaskan hal itu.

Ah, sial. Kenapa kenangan itu harus terputar kembali? Gandi hampir saja melakukan kesalahan yang kulakukan.

Kalian mau tau sekali apa kesalahanku dulu? Nanti sajalah di episode selanjutnya. Ha-ha-ha.

Terpopuler

Comments

martina melati

martina melati

emang ada apa y thor???

2024-11-06

1

Mukmini Salasiyanti

Mukmini Salasiyanti

maaf, thor..
boleh ralat kah?
kl muhrim, itu org yg berihrom/haji
jd yg benar, Bukan Mahrom🙏

2024-11-06

1

Bunda Aish

Bunda Aish

lanjut..... suka dengan alur ceritanya

2023-09-04

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!