Pengakuan Tompi

Pov : Widya

Ada keluarga yang datang menemui orang tuaku. Aku dikenalkan oleh Abah pada mereka. Lelaki itu bernama Johanto. Panggilannya Han. Dia dua tahun lebih tua dariku. Seorang duda dengan satu anak perempuan.

Orang tua mas Han berharap kami bisa lebih dekat dan menuju tujuan utama dari perkenalan ini. Aku belum siap membangun rumah tangga lagi. Jikapun aku siap, aku hanya ingin membangunnya bersama orang yang satu visi denganku.

Saat sedang berbincang, ada sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah Abah. Mataku membelalak ketika tahu siapa yang turun. Mau apa pria itu ke rumah orang tuaku? Apa dia sudah gila? Baru seminggu yang lalu mamahnya merendahkan orang tuaku, dan kini ia berani menginjakkan kakinya di kediaman abah.

Tubuhku bergetar melihatnya semakin mendekat. Tanpa pikir panjang lagi, segera kutemui dia agar tidak bertemu dengan abah maupun ibu. Kutarik tangannya menjauh ke sisi kanan rumah.

"Kamu mau apa kesini?" tanyaku tidak sabar.

"Ingin minta maaf sama orang tua kamu atas perlakuan mamah." Pria itu menatap mataku dalam-dalam hingga membuatku salah tingkah.

Aku menyuruhnya untuk pergi, "Kami sudah memaafkan hal itu. Pergilah, aku mohon."

"Siapa lelaki yang berjalan kemari?" tanyanya. Aku menoleh, ternyata mas Han hendak menyusulku.

Mas Han bertanya padaku ada apa. Terpaksa aku harus berbohong. Mas Han memperkenalkan dirinya pada Tompi.

"Johanto, panggil saja Han. Mari ikut bergabung bersama kami." Aduh Mas Han, kenapa kamu malah menawari dia untuk ikut ngobrol sama semuanya?

Tompi menolaknya dengan halus. Dia mengatakan pada mas Han ingin membawaku pergi. Alasannya ada urusan genting, istri temannya akan segera melahirkan tapi kawah atau air ketubannya sudah pecah terlebih dahulu.

Mas Han yang kurang paham dengan perkara itu hanya mengiyakan ucapan Tompi. Dengan gagah berani pria itu maju meminta izin pada orang tuaku.

"Rumah sakit banyak dokter, bidan, perawat, Mas. Kok minta pertolongan Widya? Daripada ada hal buruk, mending ke rumah sakit langsung." Ibuku ketus sekali menanggapi hal itu. Abah hanya bisa diam, berharap aku sendiri yang menolaknya. Itu terlihat jelas sekali dari tatapan matanya.

Oke, akan kulakukan, Bah. Batinku. Saat aku akan menolak memberi pertolongan, keluarga mas Han malah menyuruhku segera pergi.

"Urusan nyawa, Dek. Jangan dianggap sepele. Mungkin istri temannya mas ini punya trauma sama rumah sakit," sahut ibu mas Han.

Mau tidak mau aku akhirnya ikut dengan sahabat gilaku itu. Setelah berhasil menculikku dari sana, dia mulai bertingkah. Menginterogasiku perkara kedatangan mas Han dan keluarganya.

Tanpa persetujuan dariku, dia membuka nomornya yang sengaja aku blokir. Aku hanya diam tanpa ekspresi.

"Tadi siapa?" tanyanya.

"Mas Han. Kan tadi sudah kenalan, to." Aku menjawab dengan memalingkan wajah.

Dia berdecak sebal, "Ada urusan apa dia dan keluarganya menemuimu?"

"Menjalin silaturrahmi." Aku masih pelit memberikan informasi mengenai hal tadi.

Dia mengendarai mobilnya menuju arah Kudus. Tidak ada pembicaraan lebih lanjut. Kami berdua terdiam. Aku tidak tahan satu mobil dengannya. Jujur, aku sudah lelah dipersalahkan terus menerus.

Aku minta dia untuk putar balik dan memulangkanku ke rumah. Tompi tetap membisu. Dan aku tahu alasannya. Pria ini marah karena aku tidak mengatakan dengan jujur alasan mas Han dan keluarganya ada disana.

Aku tidak peduli, masih enggan menjelaskan padanya. Toh kami hanya sebatas sahabat, bukan? Jadi tidak perlu kubeberkan urusan pribadi ini.

Dia semakin menambah laju mobilnya. Aku ketakutan dan memintanya menepi.

"Bilang dulu," serunya masih dengan kecepatan tinggi.

"Oke aku bilang, tapi stop dulu, Tom." Akhirnya dia menurunkan kecepatan mobil dan menepi sejenak. Aku memintanya putar balik, dia tetap tidak mau.

"Mas Han itu lelaki yang mau abah jodohkan denganku. Sudah, puas?" tanyaku.

Dia kembali memacu mesin mobil. Melesat kembali ke jalanan yang ramai lancar. Tidak ada kata lagi yang terucap dari mulut lelaki di sampingku. Sesekali aku meliriknya, tapi ia tetap bergeming.

Menakutkan bukan jika Tompi sedang marah? Aku lebih baik adu mulut daripada didiamkan seperti ini. Aku tidak bisa membaca isi pikirannya. Apa yang membuatnya marah?

"Aku lapar," ucapku.

Dia menoleh, "Mau makan apa?" tanyanya lembut. Akhirnya, kemarahannya mereda.

"Terserah," sahutku sambil melihat jalanan. Kudus terkenal dengan sotonya. Sayang sekali yang dekat jalan raya sudah habis dan hampir tutup.

"Garangasem?" tanyanya. Aku menggeleng. Garangasem dari ibuku saja belum kumakan. Aku memintanya untuk berjalan menuju alun-alun. Ah, untung saja masih ada siomay langgananku.

Dia heran dengan pilihan makananku. Kalau lapar kenapa hanya makan siomay? Kenapa tidak diisi dengan nasi saja? Mungkin begitu.

"Sebagai pengganjal. Nanti aku makan di rumah saja," lontarku sembari membuka pintu mobil. Membeli dua porsi siomay untuk kumakan di dalam mobil.

Tompi berdecak, bagaimana mungkin dia bisa makan? Sedangkan ia baru menyetir.

"Tadi bisa buka blokiran, kenapa mendadak nggak bisa makan? Kalau nggak mau ya sudah. Biar kuberikan pada Gandi." Aku memang sengaja membuatnya kesal.

Aku ingin membuatnya menjauh lagi dariku. Tapi, kenapa sekarang rasanya sulit? Apa karena kami satu kota? Jadi kemungkinan untuk bertemu masih ada.

"Suapkan to, Mah." Dia memintaku untuk menyuapinya. Panggilannya itu lho, membuat tubuhku bergetar lagi.

Aku tidak menjawab permintaannya, membuatnya kesal dan merebut siomay yang akan kumakan. "No-no-no! Oke, aku suapkan."

Kututup sterofoam lalu membuka miliknya. Kutuangkan sambal kacang dan mulai mencampurnya dengan rata. Kuperintahnya untuk membaca basmalah. Satu suapan mendarat di mulutnya. Lahap sekali makannya, kukira dia tidak akan doyan jajanan pinggir jalan.

Aku menikmati siomayku. Dia kembali menepikan mobil lalu meneguk air dalam botol. Suasana tiba-tiba terasa sangat canggung. Tompi mengambil makananku lalu menggenggam erat tanganku.

"Kenapa?" tanyaku.

"Aku mau bicara serius sama kamu. Tolong jangan potong saat nanti aku bicara. Wid, kita sudah lama saling kenal ...," lirihnya.

"Wait, aku minum dulu." Dia mendesis kesal. Bagaimana tidak? Aku menghancurkan suasana itu, yang kata orang suasana romantis.

Wajahnya teramat kesal karena sikapku. Aku hanya terkekeh menyaksikannya. "Buruan ngomong," kataku.

"Kita sudah lama kenal. Sudah menjalin persahabatan dari SMP. Aku merasa ada yang berbeda diantara kita. Kamu merasakan hal itu juga atau tidak?" tanyanya.

"Merasakan apa? Coba kalau bicara itu yang jelas." Aku sedikit gugup mendengarkan pembicaraan ini.

Sebenarnya, aku merasakan apa yang akan dia katakan. Mungkinkah dia akan menyatakan perasaannya padaku? Ah, mungkin aku terlewat percaya diri. Segera kutepis pikiran nakalku ini.

"Memang betul kata orang. Tidak ada yang namanya pertemanan dan persahabatan diantara pria dan wanita. Aku tidak ingin melakukan kesalahan dulu lagi. Membiarkanmu dimiliki oleh lelaki lain. Wid ..., aku mencintaimu."

Hatiku bergemuruh riuh. Pernyataan lelaki ini membuatku ingin menangis.

"Aku ingin hubungan kita lebih dari sekadar sahabat. Berbagi cerita di ranjang yang sama. Menemanimu menghadapi kesulitan hidup. Mengantarmu kemanapun dirimu ingin pergi. Aku juga ingin menjadi teman bagi Gandi. Ingin mengajarkannya menjadi pria dewasa yang bertanggung jawab."

Matanya menatapku lekat-lekat, "Maukah kamu menjadi istriku?"

Terpopuler

Comments

Mukmini Salasiyanti

Mukmini Salasiyanti

wowwwwww
kereeeen!!!!?

2024-11-08

1

Eka Widya

Eka Widya

tahu nggak mam.mulai bab awal sampai bab ini jenengan berhasil membuat jantungku berdebar debar trs👍👍😄😄

2023-09-08

1

Bunda Aish

Bunda Aish

rintangan nya beraat Jhon... harus kuat banget ikatan cinta kalian untuk bisa menembus dinding-dinding yang di bangun ortu kalian

2023-09-04

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!