Pov : Widya
Aku sedang menundukkan kepala dengan sangat rendah. Lebih lama dari biasanya. Meminta pada Allah agar nanti saat diriku dipanggil dalam keadaan husnul khotimah, bertobat, dan tetap menjadi islam. Ya, aku sedang melaksanakan salat lail.
Menangis di sepertiga malam dan meminta pada Pencipta agar aku dikuatkan dalam menjalani takdir rumah tanggaku. Kalian pasti ingin tahu apa yang terjadi?
Namaku Widyasari, usiaku 40 tahun, seorang wanita yang bisa dikatakan masih bau kencur menyandang status janda. Suamiku bukan lelaki panutan yang bisa kujadikan imam dalam perahu rumah tanggaku. Jika dulu masalahnya adalah karena lalai terhadap tanggung jawab, maka alasanku berpisah tiga tahun lalu adalah karena dia sudah bisa menduakan cintanya.
Kata orang, wanita yang berpisah dari lelakinya akan sangat tertekan hingga mengubah keadaan mereka. Mental para wanita itu akan menjadi sangat hancur ketika kehilangan. Benarkah?
Justru aku, tidak merasakan hal yang demikian. Sebaliknya, hatiku terasa lega. Beban penat dan penuh yang dahulu mendesak kini sudah terhempas. Bukan mudah menjalani kehidupan dengan lelaki yang lalai terhadap tanggung jawab.
Aku, seorang diri banting tulang mencukupi segala keperluan keluarga dan anakku sendiri. Suamiku yang telah menjadi pengangguran, malah terlena dengan keadaannya. Asyik menganggur dan menikmati waktu luangnya.
Bagaimana jika lelakiku tidak punya uang? Minta padaku. Untuk apa susah jika masih memiliki seorang istri yang pekerja giat?
Alasan bertahan dahulu adalah memikirkan anakku. Sembari berharap akan ada hidayah dari Allah yang datang padanya. Sayangnya, suamiku malah semakin menggila.
Kami sempat pisah pulau karena orang tuaku menyuruhnya untuk meminta pekerjaan pada saudaranya. Kenapa tidak minta tolong pada saudara yang dekat?
Sudah, itu sudah kami lakukan. Hanya saja, suamiku selalu mengeluh jika pekerjaannya sedikit membuatnya susah. Akhirnya orang tuaku yang sudah kehilangan kesabaran menyuruhnya untuk kembali ke asalnya.
Lagi-lagi aku berharap bahwa dia akan berubah dan bertanggungjawab pada keluarga kecil kami. Ternyata pemikiran ini salah! Bukan sebuah hidayah yang menghampirinya, malah sebaliknya. Musibah datang menghantam kapal kami.
Dia berselingkuh dengan seorang wanita. Disaat itulah aku sadar, bahwa selama ini yang mencoba terus menahan agar jangkar kami tetap terikat ketika deburan ombak semakin besar, hanyalah salah satu pihak. Hingga membuat tali jangkar itu putus dan menyakiti satu sama lain.
Aku tidak menyalahkan siapapun disini. Hanya yang membuatku terpuruk adalah kemarahan anak semata wayangku. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, pokoknya perpisahan kami adalah murni kesalahanku. Itulah pikirnya.
"Mamah itu nggak sayang sama Bapak. Selalu menuntut Bapak punya uang banyak! Makanya sekarang Bapakku pergi karena tidak tahan dengan Mamah!" Begitulah reaksi Gandi, anakku yang berusia enam belas tahun.
Setiap ucapan Gandi selalu teringat ketika sepi menghampiri. Kupanjatkan do'a agar dia selalu diberikan kesehatan, kebahagiaan, keberuntungan, umur panjar, serta hal baik lainnya. Begitulah seorang ibu, masih saja mendo'akan meskipun hatinya terluka.
*
"Assalamu'alaikum," suluk seseorang di depan rumahku.
"Wa'alaikum salam." Aku beranjak menuju pintu dan melihat siapa yang datang.
"Shofi? Ya Allah, apa kabar?" Aku memeluk sahabat karibku. Kami kenal mulai dari SD. Lama tidak berjumpa membuatku rindu akan hal tentangnya.
"Alhamdulillah, Baik Wid. Kamu sendiri?" tanyanya padaku.
Aku mempersilahkannya masuk ke dalam rumah. Meminta Shofi duduk. Banun mengetuk pintu yang terhubung dengan klinikku guna menanyakan ingin dibuatkan minum apa?
"Tolong belikan Ibu es teh sama kebab ya, Nun. Sahabat Ibu suka sekali dengan makanan itu. Belikan juga buat Gandi dan para karyawan." Aku memberikan uang pada Banun.
Masih ingat betul aku dengan kesukaan sahabatku satu ini. Kami berbagi cerita tentang kehidupan. Dia turut sedih mendengarkan kisah rumah tanggaku.
"Eh, hampir saja aku lupa." Shofi mengeluarkan sebuah undangan dari dalam tasnya. Lalu menyerahkan padaku.
Aku baca perlahan undangan itu. Ternyata sebuah undangan reuni SMP. Ini baru pertama kalinya diadakan reuni setelah kelulusan kali puluhan tahun silam.
"Nyumbang yang banyak," ucapnya sambil terkekeh.
Akupun tersenyum, "Iya. Kamu datang?"
"Aku datang kalau kamu juga menghadirinya," jawab wanita yang masih terlihat awet muda itu.
Aku berpikir sebentar. Reuni, ajang bertemunya kembali dengan teman lama yang sudah jarang kita temui. Ingin mendengar kabar dari mereka. Tapi ada juga kekhawatiran yang mendera.
Banyak yang menjadikan ajang reuni sebagai pertemuan untuk membanggakan apa yang sekarang mereka miliki. Aku paling malas jika berhadapan dengan orang model begini. Masalahnya, SMP ku dahulu adalah SMP favorit. Jadi, tahu sendiri nanti seperti apa?
Ajang pamer kekayaan dan kekuasaan pasti akan terjadi disana. Tapi, aku juga ingin mendengar kabar dari yang lainnya? Haruskah aku datang?
"Woi ..., malah melamun!" Shofi membuyarkan lamunanku.
"Nanti aku kabari, deh!"
"Datang sih, Wid. Ada mas itu lho ...," bujuknya.
Aku mengernyitkan dahi sambil menahan senyum, mas itu? Siapa? Pikirku. Ternyata Gandi memperhatikan gerak-gerikku. Mukanya langsung masam sembari menyalami Shofi.
"Ini Gandi? MasyaAllah, Nang. Ganteng sekali, sih." Shofi terpesona akan pesona anakku.
Aku akui, ketampanan Gandi turun dari bapaknya. "Iya ini Gandi, masih ingat nggak, Nang? Ini Tante Shofi. Mamahnya Dirga."
Gandi hanya menunjukkan ekspresi wajahnya yang datar dan tidak bersahabat. Dia langsung pergi begitu saja. Shofi sampai heran melihatnya, ya, karena dia tahu Gandi bagaimana.
Banun mengantarkan makanan pada kami. Shofi yang sangat suka dengan dua makanan itu langsung menyantapnya.
"Kamu memang sabahat terbaikku, Wid."
Aku hanya tertawa kecil. Banun mengatakan bahwa ada pasien hamil tiga orang dan harus segera aku periksa. Shofi menyuruhku bergegas melayani pasienku.
"Ini letak janinnya kok masih sungsang ya, Bu Nina? Saya rujuk ya? Usia kandungan Ibu sudah tujuh bulan lebih," ucapku pada pasien pertama.
"Kalau ditangani Bu Widya sendiri nggak bisa, Bu? Saya parno kalau harus ke rumah sakit," jawab Bu Nina.
Aku menggelengkan kepala. Banyak resiko ketika terjadi persalinan sungsang. Apalagi ini taruhannya nyawa. Jawabanku tetap sama meskipun pasien itu merengek. Itu demi kebaikan mereka sendiri.
"Nggak usah takut, Bu. Dokternya teman saya sendiri kok. Masalahnya, selain posisi janin Ibu sungsang, ternyata akhir-akhir ini tensi Ibu tinggi."
Aku kembali membaca dengan seksama status pasienku. Setelah akhirnya pasien itu setuju, aku melanjutkan pemeriksaan terhadap pasien lain.
Sementara aku melayani pasienku, ternyata Gandi sedang mengulik sesuatu pada Shofi. Hal ini aku tahu ketika sahabatku bercerita tentang Gandi.
"Kok aku merasa, Gandi seperti menyalahkan kamu atas perpisahan kalian?" tanya Shofi.
Aku mengangguk. "Dia tidak tahu alasanku meminta pisah dari bapaknya."
Shofi memelukku, "Kenapa tidak jujur saja?"
Aku menggelengkan kepala. "Dia sudah banyak terluka. Aku tidak mungkin mengungkapkannya sekarang."
"Memang apa yang Mamah sembunyikan dari aku?"
Gandi muncul dari belakangku membuat kami terlonjak kaget.
Pov : Gandi
Aku mendengar dengan jelas bahwa mamah mengatakan dirinya tidak dapat memberitahuku. Menjelaskan secara jujur padaku alasan mamah dan bapak berpisah. Apakah aku salah menyalahkan mamah atas peristiwa itu?
Jujur, hatiku terkoyak ketika mendengar dari mbah uti bahwa bapakku tidak akan tinggal serumah lagi dengan kami. Aku yang saat itu masih SMP berpikir, oh mungkin karena bapak kerjanya jauh. Tapi, ada seorang saudara mengatakan dengan gamblang padaku bahwa mereka telah melakukan akad perceraian.
Bayangkan saja anak SMP ini saat itu berperan seolah tidak tahu apapun. Sejak saat itulah, aku selalu menyalahkan mamah karena berpisah dari bapak. Mengapa demikian? Karena mamah tidak pernah mengatakan kepadaku alasannya pisah.
Banyak yang bilang padaku bahwa itu karena bapak seorang pengangguran. Sudah lama tidak memberikan nafkah pada mamah dan juga aku. Tapi, bagiku uang itu bisa dicari. Dan, uang tidak dapat menggantikan keutuhan keluarga. Bukankah begitu?
Mengapa mamah tidak bertahan? Malah memilih melepaskan bapak. Aku hanya ingin punya keluarga utuh yang harmonis. Tapi mamah menghancurkan harapan itu.
"Mamah egois! Kenapa sih harus pisah sama bapak? Aku tidak dibelikan barang mahal juga tidak masalah. Kenapa Mamah selalu meributkan uang dengan bapak?" Uratku sampai keluar karena menahan amarah.
"Apa sih, Gan? Mamah banting tulang sendirian, apa kamu tidak kasihan? Kenapa selalu membela bapakmu? Apa dia pernah memberikan apa yang kamu minta?" bantah Mamah.
"Dia memberikan sayangnya tulus pada Gandi."
Mamah menghadap ke arahku, "Apa itu tidak Mamah lakukan? Maaf jika tidak bisa memberikan keluarga yang utuh untuk kamu. Tapi tolong, jaga perasaan Mamah. Setidaknya jangan bertanya apapun tentang perpisahan kami. Nanti, ada saatnya kamu akan tahu. Bukan sekaranh, Nang. Mamah hanya ingin menjaga kewarasan mental kita."
Semenjak saat itu aku tidak mau bertanya lagi pada mamah tentang alasannya bercerai. Aku menganggap bahwa mamah meminta berpisah karena perkara uang.
Namun, petang ini membuatku bertanya-tanya. Apa yang disembunyikan mamah dariku? Bukankah aku sudah cukup umur untuk mengetahui alasan perpisahan orang tuaku sendiri.
Ini lagi tante Shofi. Pakai acara mengajak mamah untuk ke acara reuni. Bisa gagal nanti rencanaku. Aku harus meminta mamah tidak datang pada acara itu.
Setelah tante Shofi pulang, aku mengambil undangan reuni yang ditinggalkan mamah begitu saja. Oke, aku akan meminta mamah pergi denganku.
"Mbak, mamah masih ada pasien?" tanyaku pada Mbak Banun.
"Masih, Gan. Kenapa?" Asisten mamah yang satu ini selalu saja sibuk merias wajahnya.
"Nggak, cuma tanya doang. Menor banget mau kemana, sih?"
Mbak Banun langsung berlari menuju cermin besar. Aku mengatakan sejujurnya, memang menor sekali dandanannya. Membuatku tidak tahan untuk tidak berkomentar.
Aku melihat mamah keluar dari ruang periksa bersama pasiennya. "Tumben anak Mamah disini. Ada apa?" tanya Mamah.
"Temankan Gandi mencari laptop yang baru." Tanpa ekspresi aku mengatakannya pada Mamah.
"Kapan?"
"Tanggal 18 besok pas tanggal merah," jawabku.
"Uangnya belum cukup untuk beli laptop seperti keinginanmu, Gandi. Mamah masih berusaha mengumpulkannya. Kan kamu sendiri yang bilang ke Mamah kalau laptop itu tidak mendesak."
Aku memutar otak agar mamah mau pergi denganku. "Aku minta ke bapak."
Mamah menghela napas pasrah. "Terserah kamu."
Aku segera bergegas mencari ponselku. Menghubungi nomor bapak. Setelah tersambung, aku segera mengatakan keinginanku.
"Bapak belum punya uang, Nak. Nanti ya?" kata Bapak dari seberang. Aku menelan kekecewaan. Memang betul kata mamah, bapak tidak pernah memberikan yang aku minta.
Aku segera memutus sambungan telepon itu. Kesal melanda diriku. Bergegas menuju kamar mamah. Saat itu pintu sedikit terbuka. Mamah sedang bicara dengan seseorang di telepon.
"Tolong jualkan, iya, untuk beli laptop Gandi. Segera ya?"
Aku mengurungkan niatku untuk merengek. Tanpa aku memaksa, wanita yang selalu aku salahkan malah terus menerus berkorban untukku. Membuatku semakin merasa bersalah.
Aku kembali ke kamar. Mamah ternyata tahu bahwa aku baru saja mendengarnya.
"Kenapa sedih?" tanyanya.
"Mamah jual apa lagi?"
"Jual emas. Kalau untuk keperluan sekolah ya harus dibeli, kalau uangnya belum cukup ya artinya harus ada yang dikorbankan."
Aku terpekur dalam pikiranku. "Mah, beli laptopnya besok lagi aja. Gandi masih bisa pakai laptop om, kok."
"Laptop om katanya lemot, kalau memang butuh untuk penunjang sekolah ya harus beli." Mamah masih saja ingin membelikanku laptop baru.
"Bapak kamu belum ada uang, kan?" tanyanya. Aku hanya mampu mengangguk pelan. Malu mengungkapkan kebenaran.
Aku menatap mata mamah, "Gandi belum butuh laptop itu. Tadi, Gandi hanya tidak ingin Mamah pergi ke acara reuni itu."
Terlihat sangat jelas raut muka mamah yang bingung akan ucapanku. "Kenapa?"
"Ya pokoknya nggak boleh," jawabku. "Kalau Mamah maksa tetap pergi, berarti Gandi harus ikut."
Mamah malah menertawakanku. Memangnya, apa yang lucu?
"Bagus kalau kamu mau ikut. Mumpung masih libur sekolah. Jadi ajudan Mamah selama seminggu kayaknya asyik, Gan."
Aku menatap tajam mamah yang sedang tertawa. "Gandi mau tidur, Mah."
"Oke, selamat malam, Nang." Mamah beranjak dari kamarku.
Aku memeriksa ponselku. Ada pesan masuk dari Rania. Dia teman sekelasku, lebih tepatnya anak baru. Pindahan dari Sulawesi. Entah kenapa dia sering mengajakku mengobrol.
Rania : "Gan, liburan hanya di rumah tak seru."
Aku : "Coba keluar rumah, main sama bocil. Pasti seru."
Rania : "Rumah kawasan pejabat polisi nih, mana ada bocil jam segini di luar?"
Rania : "Ajaklah aku ini ke rumahmu. Biar aku tak jenuh."
Ini anak kenapa tiba-tiba minta main ke rumah? Dasar Rania aneh. Tapi, asyik juga kalau bersepeda mengelilingi beberapa desa bersama.
Aku : "Keliling desa naik sepeda, berani?"
Rania : "Jangan salah, Bos! Besok aku minta antar sama om aku. Sharelock sekarang! Cepat!"
Aku tertawa membacanya. Tidak sabaran sekali gadis ini. Segera kukirim lokasi rumah, kalau tidak pasti nanti malam aku diterornya.
Aku mengirim pesan suara, "Aku ngantuk. Bye."
Rania : "Tidur, persiapkan fisikmu untuk melawanku besok!"
Aku tidak membalasnya lagi. Memejamkan mata lebih enak daripada membalas pesan Rania. Keesokan harinya, aku mencari keberadaan mamah sudah tidak ada.
Aku membaca pesan yang ditinggalkannya di depan pintu kamar. Ternyata semalam ada yang lahiran, tapi tidak bisa ditangani. Oleh sebab itu mamah sudah menghilang sejak pagi, ternyata pergi ke rumah sakit untuk merujuk.
Rania : "Aku sudah di depan rumahmu."
Aku segera membukakan pintu. Ada seorang pria yang aku perkirakan usianya sama seperti mamah, dan gadis cerewet yang selalu menerorku.
Aku menyalami pria itu. Dia tampak ingin tahu tentang plang bidan mamah.
"Mari silahkan masuk, Om."
"Om doang? Aku?" protes gadis itu.
"Ya masuklah!" jawabku sedikit sebal. Pria itu hanya tertawa melihat cara komunikasi kami.
"Aku siap-siap dulu. Om, adanya air putih dan sedikit cemilan. Silahkan dinikmati. Mamah sedang merujuk pasien ke rumah sakit. Maaf belum bisa menyapa."
Pria itu hanya tersenyum dan mengangguk. Aku bergegas bersiap.
"Assalamu'alaikum, Gan, bikinin Mamah teh." terdengar suara Mamah. Pasti sudah pulang.
"Astaghfirullah, maaf tidak tahu kalau ada tam... mu," kata Mamah sedikit terkejut.
Aku melihat mamah dan om Rania sama-sama beradu pandang.
Pov : Widya
Mataku membelalak melihat lelaki jangkung itu berdiri di depan mataku sendiri. Ada seorang gadis yang sangat mirip dengannya. Siapa dia? Kenapa mereka berdua ada di dalam rumahku?
"Lama tidak bertemu, Wid. Masih ingat saya?" Suaranya masih sama seperti terakhir kali kami bertemu. Membuat kenangan lama terputar oleh mesin waktu.
Aku mencoba tersenyum meski hal itu gagal kulakukan. Gandi dan gadis itu serasa ingin memborbardirku dengan pertanyaan.
"Papi kenal dengan mamahnya Gandi?" tanya gadis itu. Baiklah, disini bisa aku simpulkan bahwa gadis itu adalah anak Mas Tugas.
"Papi? Bukannya ini om kamu, Ran?" tanya anakku pada temannya.
Gadis itu hanya tersenyum, "Dia papiku. Bukan salah aku dong kalau kamu menganggapnya om aku. Orang kamu tidak bertanya apapun."
"Papi kenal, om Tompi juga sangat kenal. Betul kan, Wid?" tanyanya padaku.
Aku hanya mengangguk, mencoba mengalihkan pembicaraan dengan mengenalkan Gandi pada Mas Tugas. Mas Tugas, seorang perwira polisi yang sudah memiliki banyak bintang. Entah bintang apa saja itu, bintang kejora, bintang malam, bintang emon, dan bintang lainnya.
Kalian sungguh ingin tahu siapa dia? Dia adalah kakak dari seorang sahabatku. Lebih tepatnya sahabat lelaki. Masih ingat bagaimana jika ada seorang lelaki dan wanita menjalin persahabatan? Pasti ditengahnya ada? Ada apa? Kalian pasti tahu.
Ya, ditengahnya ada rasa yang tumbuh. Aku tidak menampik hal itu. Perhatian, saling keterbukaan, dan rasa peduli menjelma dan meracik dirinya menyatu menjadi sebuah rasa sayang dan cinta.
Bagiku yang dulu masih SMP, yaang baru merasakan cinta monyet sangat senang akan rasa yang ada saat itu. Tapi, semua sirna karena ucapan lelaki yang kini ada di hadapanku. Mas Tugas dengan tegas dan dingin mengatakan kepadaku bahwa aku harus menjauhi adiknya.
Telingaku merekam dengan jelas perkataannya. Sampai detik ini, aku masih mengingatnya.
"Kamu benar-benar sayang kan sama Tompi? Lakukan pengorbananmu sekarang. Jauhi dia, biarkan dia sukses dengan impiannya. Lagian, di luar sana masih banyak cewek-cewek yang lebih dari kamu." Mas Tugas sangat dingin dan tanpa ekspresi saat memintaku untuk tahu diri. Sorot matanya saat itu, sama seperti sekarang. Masih kejam.
Aku mempersilahkannya duduk, tapi dia menolak. Ia memilih untuk bergegas dan menitipkan anak gadisnya padaku. Apa kelakuan orang-orang kaya seperti ini? Selalu tidak pernah merasa bersalah dan main memberikan perintah tanpa meminta maaf terlebih dahulu? Meskipun kejadian itu sudah sangat lampau?
Ah, sudahlah. Aku tidak mau mempermasalahkannya lagi. Daripada suasana hatiku menjadi buruk, benar kan?
Gandi memperkenalkanku pada anak Mas Tugas. Namanya Rania, cantik. Raut wajahnya seperti orang ketimuran. Apakah istri Mas Tugas masih berdarah Arab? Entahlah, aku tidak tahu.
Aku memuji kecantikan Rania, "MasyaAllah, ayu tenan kamu, Nduk."
"Mah, Rania nggak paham dengan bahasa kita. Dia kelahiran Sulawesi." Gandi menjelaskan padaku darimana asal gadis itu.
"Oh, maaf. Tante tidak tahu. Mami kamu asli Sulawesi?" tanyaku penasaran.
"Iya, Tan. Tante kenal sama om Tompi? Itu om aku, lho," kata Rania. Gadis ini ceria sekali. Auranya itu positif. Beda sama Mas Tugas. Menyeramkan!
"Iya, teman Tante waktu SD sampai SMP. Om kamu..., sehat?" tanyaku agak takut Gandi curiga.
"Sehat, Tan. Om sekarang satu kantor dengan papi."
Tanpa aku ulik lebih dalam, gadis ini dengan murah hati membagi informasi dimana keberadaan sahabatku. Ternyata kami satu kota. Aku hanya bisa menghela napas. Tidak tahu apa yang nanti terjadi kedepannya.
Gandi mengajak Rania bergegas. Aku bertanya rencana mereka. Akan pergi kemana?
"Keliling desa, Mah. Rania merengek terus dari semalam. Daripada dia meneror Gandi terus menerus." Gandi menyalamiku untuk berpamitan. Begitu juga dengan Rania.
"Jaga Rania seperti kata papinya, Gan. Awas kalau macam-macam." Pesanku padanya.
"Dih, kenapa juga Gandi macam-macam sama dia? Tenang saja, Mah. Gandi tidak ada rasa sama cewek cerewet dan jelek seperti dia." Gandi mengatakannya di depan Rania. Aku bisa dengan jelas menangkap ekspresi kekecewaan Rania.
Gadis itu memanyunkan bibirnya. Aku tertawa melihat mereka. Ya itulah remaja, masa-masa paling menyenangkan.
"Kata siapa Rania jelek? Rania ayu. Cantik!" Aku membela anak Mas Tugas.
"Tuh, kata mamah kamu aku cantik. Apa tadi Tante? A-ayu! Ah iya itu. Aku ayu!"
"Iyalah kamu cantik. Jadi sepeda keliling desa nggak, nih? Kalau nggak jadi aku balik tidur lagi nih!" kata Gandi ingin segera menyudahi percakapannya dengan Rania.
Agaknya, Rania menaruh hati pada Gandi. Aku menggelengkan kepala. Takut jika hal itu benar terjadi. Diriku tidak mau kalau Mas Tugas akan merendahkan Gandi seperti yang aku alami dulu.
"Jangan berpikir macam-macam, Wid. Cukup kamu saja yang direndahkan oleh keluarga Tompi. Jangan sampai keturunanmu juga. Semoga Gandi bisa menjaga perasaannya pada Rania. Aamiin." Aki berbicara sendiri.
Aku masuk ke kamar dan bergegas mandi. Lalu setelah selesai menuju dapur dan melihat bahan makanan yang ada. Hanya ada sosis, kecap, saus, bawang bombay. Baiklah, masak dengan bahan seadanya saja.
"Tara..., harumnya." Aku sudah tidak sabar menyantapnya.
Ah, nikmat sekali hanya berlauk sosis yang kutambahkan kecap, saus, dan bawang bombay. Setelah kenyang, aku masuk ke dalam kamar. Mataku terasa berat sekali.
Pasien datang jam tiga subuh. Setelah kupantau selama dua jam tidak ada kemajuan persalinan dan harus kubawa ke rumah sakit. Aku memeriksa ponsel, ada notifikasi agar aku segera mentransfer dana sumbangan untuk acara reuni besok.
"Oke, selesai. Markibo, mari kita bobok." Tidak perlu waktu lama untukku larut dalam mimpi.
Entah apa yang aku pikirkan sampai bertemu dengannya. Tompi melihatku lalu melemparkan senyumnya. Aduh, senyuman itu kenapa masih sama? Aku harus segera sadar agar tidak terlalu lama menatap senyum itu.
Ternyata Gandi sedang berusaha membangunkanku. Aku mengumpulkan nyawa sebelum beranjak dari tempat tidur. Ada pasien yang membutuhkan pertolongan.
"Ran, capek?" tanyaku melihat gadis itu sedang meluruskan kakinya sambil bersandar.
"Iya, Tan. Mana si Gandi lupa bawa air dan uang lagi," jawabnya.
Aku melihat anakku cekikikan. Pasti gadis itu kena usilnya Gandi. Kalau papi Rania tahu habislah kita, Gandi.
"Ambil minum sana. Sekalian makan, tadi Tante masak sosis." Aku bergegas menuju tempat praktikku.
Saat aku kembali ke rumah, aku sedang melihat Gandi menyodorkan gelas bekasnya minum ke Rania. Dengan cepat aku mencegahnya.
"Kalian itu bukan muhrim! Kalau minun dari gelas yang sama, apalagi itu sudah kena bibir kamu, Gandi, itu artinya kalian berciuman! Itu dosa!" Aku sampai menggebu-gebu menjelaskan hal itu.
Ah, sial. Kenapa kenangan itu harus terputar kembali? Gandi hampir saja melakukan kesalahan yang kulakukan.
Kalian mau tau sekali apa kesalahanku dulu? Nanti sajalah di episode selanjutnya. Ha-ha-ha.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!