Pov : Widya
Gandi sudah lebih tenang. Aku melihat jam dinding yang menunjukkan pukul dua belas malam. Gata dan keluarganya memakai kamarku untuk beristirahat. Aku ingin tidur dengan anakku.
Aku langsung naik ke tempat tidurnya. Dia yang tidurnya menghadap tembok membuatku leluasa memeluknya dari belakang. Aku sangat merasa bersalah, banyak luka yang kuberi untuknya.
"Maafkan Mamah ya, Gan. Maafkan Mamah." Air mataku kembali menetes.
"Mamah tidak salah," jawabnya. Oh, ternyata Gandi masih terjaga. Aku mengira dia sudah terlelap.
"Kok belum tidur?" tanyaku. Tiba-tiba saja dia berbalik dan memelukku dengan erat. Dia tidak menjawab pertanyaanku.
"Gandi tidak mau bertemu lagi dengan bapak. Gandi benci bapak." Perlahan ada sesuatu yang hangat membasahi daster yang kupakai.
Aku menepuk punggungnya. Tidak berkomentar apapun tentang hal yang baru saja dia katakan. Seburuk apapun, Rendi tetaplah bapak kandungnya. Aku juga tidak ingin mengajarkan kebencian pada anakku.
"Besok sabtu jalan-jalan, yuk? Mumpung om Gata pulangnya hari minggunya." Kualihkan pembicaraan agar dia lupa dengan kejadian yang baru saja menimpanya.
"Kemana?"
"Cimory? Pasti Naka, Nata, dan Najwa senang melihat banyak hewan. Ajak mbah uti dan akung juga," sahutku.
Dia mengangguk. Aku terlalu sibuk mencukupi kebutuhan hingga melupakan perhatian pada anakku. Gandi menunjukkan luka pada ruas-ruas jarinya. Aku tidak melihatnya tadi.
Segera kuambil kotak obat dan mengobati tangan anakku. "Ini kenapa bisa begini? Kamu berantem sama bapak?" Dia menggeleng.
"Berantem sama om Tompi?" Dia juga menggeleng. Membuatku keheranan.
"Berantem sama tembok, Mah. Ternyata tembok keras ya, Mah?" Pertanyaan aneh. Ya keraslah! Kalau letoy tidak akan bisa menjadi penyekat rumah. Aku tertawa mendengarnya.
Setelah selesai, aku menyuruhnya tidur. Gandi segera terlelap. Aku mengusap kepala anak semata wayangku. Aku mulai mengantuk, perlahan mataku menutup.
Keesokan harinya, mereka semua bersiap. Aku masih melayani pasien hingga jam praktikku selesai.
"Kurang berapa, Nun?" tanyaku.
"Dua, Buk. Yang lain saya jadwalkan besok sore." Banun mengambil status pasien yang telah selesai.
Aku mengangguk. Segera kupercepat pemeriksaanku. Akhirnya selesai. Aku berpesan pada Banun untuk menghubungi bidan mitraku jika ada persalinan. Gandi dan yang lain sudah menungguku.
Mereka memintaku gesit dalam hal berdandan. "Nggak usah makeup, Mah. Nanti malah makin lama. Sekalian beli laptop ya, Mah?"
"Iya." Aku menuruti keinginan anakku. Hanya memoles sedikit gincu agar tidak terlihat pucat dan bedak tabur saja.
Kami pun berangkat. Menuju sebuah mall di Semarang untuk membeli laptop. Untung saja emas yang kumiliki sudah terjual waktu Gandi ngotot minta laptop. Setelah mendapatkan yang dia minta, kami menuju Cimory.
Mbah uti dan akung memilih menunggu di resto. Mereka tidak kuat jika berjalan naik turun. Kami membeli tiket, berjalan mengikuti langkah para bocah itu. Burung merpati yang memang dibebaskan menyambut kami.
Anak-anak berebut memberi makan. Ada sebuah merpati yang hinggap di pundakku. Kuminta Ita untuk mengambil gambar. Wah, bagus sekali aku dalam foto itu. Semua kesedihan mampu kututupi dengan senyum ceria.
Kami melanjutkan tur selanjutnya, yaitu memberi makan kelinci dan rusa. Wah, mereka doyan makan semua. Setelah puas bermain dengan para hewan, kini kami menuju tur keliling dunia.
Kaki kami terasa sangat pegal. Padahal hanya berjalan mengikuti langkah anak-anak. Saatnya membeli buah tangan.
"Gan, mau pie?" tanyaku. Anakku itu suka sekali makan pie.
"Boleh, Mah. Sama susualmond ya, Mah." Dia bergegas mengambilnya. "Sama ini," pintanya membawa bolu gulung itu dan memasukkannya ke keranjangku.
Transaksiku selesai, aku keluar lebih dulu. Gata dan istrinya masih berbelanja untuk oleh-oleh. Aku mencari keberadaan abah dan ibu, tapi nihil. Mungkin mereka sedang salat karena memang baru masuk waktu dzuhur.
Gandi dan para anak Gata memilih menu makanan. Mereka sudah lapar. Selesai memesan makan, aku bercanda dengan mereka.
"Mas Gandi kalau malas bangun jadinya kayak kura-kura tadi ya, Budhe." Naka yang jarang sekali bicara kini lebih bisa mengungkapkan isi hatinya.
"Kamu tukang makan, makanya gendut kayak sapi," balas Gandi. Naka menangis karena dikatakan begitu. Aku hanya tertawa menyaksikan mereka saling ejek.
Tiba-tiba beberapa orang mengatakan bahwa ada keributan antar lansia di luar. Aku merasa heran, lansia? Apa yang mereka ributkan hingga menjadi heboh? Ita datang sambil tergopoh-gopoh membawa barang belanjaan. Dia memintaku agar segera menuju mushola.
"Abah sama ibu lagi bertengkar sama orang, Mbak." Aku mengerjapkan mataku. Tidak, abah dan ibu tidak mungkin bertengkar di tempat umum seperti ini. "Mas Gata sudah disana. Buruan, anak-anak biar sama aku."
Aku bergegas menuju tempat yang dimaksud Ita. Astaghfirullah! Abah dan ibuku sedang beradu mulut. Tunggu, aku tidak asing dengan wajah wanita seusia ibuku itu. Siapa dia?
Aku maju untuk membantu Gata melerai pertengkaran itu. Tiba-tiba saja pipiku ditampar oleh wanita itu. Saat bertatapan aku baru sadar ternyata itu adalah mamahnya Tompi. Sedari tadi aku tidak menyadari keberadaan kak Tisha yang mencoba melerai. Tapi, apa alasannya ribut dengan orang tuaku? Kenapa aku ditampar?
"Kenapa anak saya ditampar?" teriak Abah mencoba membelaku. Aku meminta Gata dan satpam untuk membawa orang tuaku menjauh.
Aku, kak Tisha dan tante Wanda digelandang ke pos satpam. Tante Wanda, wanita dengan aura kehormatan paling mengerikan yang pernah aku kenal.
"Kenapa Tante bertengkar dengan orang tua saya?" tanyaku lembut.
Beliau menoleh dengan tatapan mautnya. "Masih bisa bertanya kamu?"
Aku tidak paham dengan maksud ucapannya. Memang ada apa? Kak Tisha mencoba memberikan air agar mertuanya sedikit tenang. Tapi, air itu malah ditepisnya dengan keras.
"Tante, tolong jelaskan kepada Widya. Saya tidak tahu apapun. Jika memang orang tua saya melakukan kesalahan saya minta maaf."
"Ya, mereka salah mendidik anak! Saya peringatkan kamu, jangan pernah mencoba mendekati Tompi!"
Tunggu, aku mendekati Tompi? Sejak kapan? Bukankah sahabatku itu dulu yang mulai menjalin komunikasi lagi denganku? Aku masih tidak mengerti motif tante Wanda mengancamku.
"Seharusnya kamu itu sadar diri. Kamu itu tidak pantas untuk Tompi. Kamu itu hanya seorang janda yang punya anak pembawa masalah. Status orang tuamu bukanlah orang berpangkat yang bisa menaikkan derajat Tompi. Jauhi anak saya! Saya tidak main-main dengan ucapan saya!"
Deg! Hatiku sakit mendengar kalimat bahwa orang tuaku bukan orang berpangkat yang bisa menaikkan derajat Tompi. Aku masih bisa terima jika diriku yang dihina dan dicaci. Tapi jangan salahkan jika aku murka karena ulah yang sudah diluar batas itu.
Aku, Widya, tidak akan tinggal diam ketika orang tuaku dan juga anakku dicaci dan dihina.
"Ya, memang orang tua saya bukan orang berpangkat atau petinggi yang bisa menaikkan derajat anak Tante. Tapi mereka berhasil menjadikan kami orang yang mandiri." Darahku benar-benar mendidih saat ini. Pelipisku terasa kesemutan karena saking marahnya.
"Tante tahu bedanya Anda dengan orang tua saya? Kalau orang tua saya, mereka tidak pernah memanfaatkan kelebihan orang lain demi keuntungan pribadinya. Bukan begitu, Ibu Wanda Hamidah yang terhormat?"
Aku mengatur napasku dan berbalik keluar dari pos satpam. Kuhentikan langkahku, "Perlu Tante ketahui, saya tidak tergila-gila pada anak Tante. Justru dia yang tergila-gila pada saya."
Aku tidak menghiraukan kak Tisha yang menenangkanku. Kutinggalkan dua wanita itu dan melenggang untuk menemui keluargaku. Ternyata mereka sudah berada di mobil. Aku langsung masuk dan mencoba meredam amarahku.
"Abah sama Ibu dikata-katakan apa sama tante Wanda?" tanyaku.
"Tidak penting kami dikatakan apa. Abah sudah pernah bilang sama kamu, jangan kembali menjalin hubungan dengan Tompi. Lihat? Apa hasil yang kamu dapat? Orang tuamu lagi yang harus menanggung malu." Abah mengatakannya dengan nada sangat kesal.
Ibu pun tidak mau kalah, "Kami ini sudah tua, tolong jangan menyusahkan kami dengan sikapmu itu. Anak kok dari dulu tidak bisa membahagiakan orang tua! Mbok ya jadi seperti Gata!"
Aku hanya diam tidak menyahut lagi ucapan orang tuaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
anisa f
3 orang tua yg sedang adu mulut ternyata mmg g ada yg bnr kl membuka mulutnya
sukanya menyakiti orang lain
2023-09-04
1
Bunda Aish
lhoo piye toh.... semua kok pada menyalahkan Widya, tak kira orang tuanya Widya bijaksana.... walah-walah, ngeri tau kalau ortu ngomong ke anaknya dengan kata² seperti itu.....😟
2023-09-04
1
Fitri Al Rasyid
oh ibu,,,, jangan banding kan aku dg orang,, aku berbeda ibu
2023-08-31
1