"Halo, perkenalkan, namaku Tiara. Asal dari Jakarta. Semoga kita semua, bisa berteman baik yaa di sini." ucap Tiara dengan gaya gaulnya yang khas pada teman-temannya di pesantren.
Kebetulan, saat ini ada pertemuan rutin yang selalu dilaksanakan para santri/ah setiap seminggu sekali. Di acara itu, biasanya kreasi santri ditampilkan dari berbagai kontingen (kelompok). Ada yang bertugas menjadi MC, pidato, mengaji Al-quran serta sari tilawahnya, juga pembacaan kitab kuning yang ditampilkan oleh santri-santriahnya dari berbagai daerah.
Suasana pun menjadi riuh, apalagi santri putera. Dalam sekejap, rupanya Tiara mampu menghipnotis para santri. Saat ini dirinya banyak diidolakan oleh semua orang. Selain sosoknya yang cantik, pemberani, dan juga tidak pemalu, membuat imagenya luar biasa bagi para santri di sana. Namun tak sedikit pula orang yang iri pada Tiara. Selain dirinya dikenal dekat dengan pimpinan pondok. Tiara pun dijadikan santri yang dikhususkan oleh bu nyai.
"Aneh gak si, santri itu tiba-tiba diistimewakan gitu aja? Cantik si iya. Tapi, aku kayaknya pernah liat dia di mana gitu?" gumam santri yang nampak tak menyukai Tiara.
"Aku juga pernah liat. Yang waktu itu nabrak dek Clara gak sih?" ingat salah satu santri lainnya.
"Yang di Ancol? Dia kan gak pakai kerudung?? Masa iya itu dia?"
"Hush! Kalian lagi ngegosipin apa?" tegur Saskia yang tak sengaja mendengar kata Tiara dari mulut para santri.
"Teh, sadar gak si, dia itu pernah ketemu kita pas di Jakarta? Eh, teteh gak ada ya pas moment Clara ditabrak?" gumam santri bernama Rasya.
"Udah ah, kalaupun itu benar. Emangnya kenapa? Toh saat ini dia sudah berhijrah." ungkap Saskia yang tidak terlalu memperdulikan asal-usul Tiara.
"Hih, teteh aneh banget. Gimana kalau kelakuannya nanti gak bener di sini? Lagian aneh, tumben-tumbenan anak kota mau mondok di pesantren?! Mau jadi santri rock and roll gitu." umpat Rasya kembali.
"Astaghfirullah. Gak baik lho suudzon ke orang lain. Belum tentu hati Tiara seburuk kamu. Kalau dia denger, gak kebayang sakitnya. Jangan liat seseorang dari luarnya aja, tapi lihatlah ia dari segi positifnya." nasihat Saskia pada Rasya.
"Hem, iya deh. Aku salah. Habisnya aneh banget. Baru kali ini bu nyai seperhatian itu pada santri baru. Apa jangan-jangan, dia calonnya A Yusuf, ya?" tebak Rasya.
"Em, kalau itu benar. Ya, gapapa juga lah." jawab Saskia datar. Entah kenapa hatinya tiba-tiba sakit, saat mendengar Yusuf akan dijodohkan dengan seseorang.
"Teteh gak cemburu? Selama ini kan bu nyai kayak yang klik ke teteh. Tapi ya, semoga yang terbaik aja untuk kalian." Harap Rasya.
"Hem. Wajarlah, kan teteh khodimah juga (pembantu santri) di rumah Bu Nyai. Jadi hal-hal seperti itu, jangan terlalu diambil ke hati." ucap Saskia tegar.
"Yakin? Ko aku ngerasanya teteh ada rasa ke A Yusuf. Eh, apa A Yusuf nya ya?" tebak Rasya lagi.
"Udah ah, kamu ngomongnya ngelantur ke mana-mana." cegah Saskia agar perbincangan mereka tak panjang lebar.
"Eh, Tiara. Gimana, kamu deg-degan gak tadi perkenalan di atas panggung?" sapa Saskia tersenyum.
"Em, kenapa sih harus di panggung segala kenalannya. Kenapa gak besok aja di kelas?" tanya Tiara aneh.
"Oh itu, kan kita juga santri di pesantren ini, sekaligus murid SMA Boarding di pesantren ini. Jadi ya wajar kalau kamu perkenalannya lebih dulu sekarang, biar besok di kelas gak perlu lagi." jelas Saskia.
"Baiklah. Berbicara di panggung seperti tadi, tidak buruk juga untukku. Aku serasa ngebayangin, gimana suatu saat jadi jaksa. Pasti audience nya pun lebih banyak dari sini, mengingat tugasku nanti memberantas kejahatan yang ada. Ah, gak sabar pengen cepet beres SMA." gumam Tiara antusias. Ia sudah tak canggung lagi berbincang dengan Saskia. Saskia pun menanggapi curhatan Tiara dengan senang hati.
"Alhamdulillah. Berarti dugaan Tiara dijodohkan sama A Yusuf itu gak benar. Buktinya Tiara cuma mau mondok sampai SMA saja. Bagus deh." lirih Saskia dalam hatinya.
"Kia?" tegur Tiara yang duduk di sampingnya.
"Eh, maaf. Tadi aku ngelamun." kata Saskia salah tingkah.
"Hayo, kamu lagi ngelamunin apa?" goda Tiara berisik. Hal itu mengundang santri lainnya yang duduk di sekitar Tiara melirik ke arahnya.
"Udah ya ngobrolnya. Nanti lanjut lagi di kamar. Gak enak diliatin para santri." bisik Saskia pelan.
"Oh, oke deh." Tiara pun seketika menjadi calm seperti Saskia.
Mereka pun akhirnya menikmati setiap kreasi seni yang telah dijadwalkan pengurus bidang Pendidikan dan juga pengarahan talaran/setoran hafalan kitab dan al-quran, yang jadwalnya segera dilaksanakan setelah agenda muhadoroh.
(Muhadoroh : kreasi seni santri, seperti nge-mc, pidato, dan lain sebagainnya).
...----------------...
"Ti, aku boleh nanya gak?" tanya Saskia ragu.
Saat ini mereka sudah berada di kamar. Satu kamarnya terdiri dari 5-6 orang untuk pengurus santri. Sementara untuk santri biasa yang asramanya terpisah dari pengurus, setiap kamarnya terdiri dari 8-10 orang. Di dalamnya sudah dilengkapi kasur dua lantai beserta lemari untuk masing-masing santri. Jadi, bagi santri yang tinggal di sana, mereka cukup bawa diri dan perlengkapan seperlunya saja, agar mereka tak usah ribet-ribet lagi kalau ada perpindahan kamar ataupun sudah berhenti alias keluar dari pesantren.
"Boleh. Mau nanya apa?" tanya Tiara penasaran.
"Kamu keluarganya bu nyai? Maaf lho, aku sensitif gini nanya-nya." kata Saskia tak enak.
"Oh itu. Kebetulan orangtuaku sama Bu Nyai dan Pak Kiai sudah saling kenal. Aku ke sini pun, karena Papa. Rupanya papa teman kuliah pak kiai. Mereka cukup akrab, jadi aku di pesantrenin-lah sama papa ke sini." jelas Tiara.
"Oh, gitu ya. Kamu gak kenal A Yusuf?" tanya Saskia lagi. Ia bisa menyembunyikan keadaan hatinya yang terasa sesak mendengarkan fakta barusan, mengenai kedekatan keluarga Tiara dengan Yusuf.
"Yusuf? Anaknya Bu Nyai yaa? kenal-lah." kata Tiara santai.
"Em, gitu ya. Berarti kalian udah deket." gumam Saskia dalam hatinya.
"Kia? Ko diem?" tegur Tiara.
"Eh, aku kayaknya ngantuk deh. Kita tidur yuk!" ajak Saskia yang masih berkecamuk dengan berbagai tebakan dalam pikirannya.
"Gapapa. Kalau seandainya A Yusuf bukan jodoh aku pun. Mungkin Allah telah menyiapkan yang lebih baik bagiku. Kamu gak boleh gini, Ki. Yuk, bisa! Jangan begini!" semangati Saskia pada dirinya.
"Kok Saskia aneh banget ya? Apa dia suka sama Yusuf?? Ah, gue harus hati-hati. Jangan sampai keberadaan gue di sini menimbulkan permusuhan. Gue gak bakal bilang deh, terkait perjodohan gue sama Yusuf. Lagian, gak mungkin juga kan? Gue pastikan gak bakal berjodoh ama dia." yakini Tiara di lubuk hatinya.
Lama-kelamaan Tiara pun tertidur dengan lelapnya. Sementara di bawah sana, Saskia masih kesulitan untuk tidur. Akhirnya ia pun memilih untuk mengaji agar hatinya lebih tenang. Ia pasrahkan semuanya pada Allah. Toh, Allah yang punya Yusuf. Dia gak bakal maksa Allah untuk menjodohkan dirinya dengan orang yang tidak ditakdirkan untuknya.
Saskia ini memang lebih tahu diri saja, namun tak menyangkal, hatinya pun merasakan sakit. Maka saat ini, dia hanya bisa menyerahkan pada sang pencipta, agar Allah sendiri-lah yang menyembuhkannya. Sejatinya, segala apapun bentuk ujian, pasti ada jalan keluarnya. Ia yakin, ia bisa melewati semua ini.
...----------------...
"Tiara, ayo Ti. Banguuun." ajak Saskia yang sudah stand by untuk pergi ke masjid.
Saat itu, waktu menunjukkan pukul setengah empat pagi. Biasanya Tiara hanya bangun untuk melaksanakan shalat shubuh saja. Itupun kadang jam setengah lima atau jam lima lebih. Sesekali ia pun tidur lagi setelah shalat shubuh, namun kini semua kebiasaan itu harus ia hilangkan.
"Emh, jam berapa sekarang? Ko bentar banget perasaan tidurnya." gumam Tiara yang masih nyaman menguap dan mengatupkan matanya erat-erat di kasurnya. Ia tidur di kasur lantai dua, alias di atas ranjangnya saskia . Makannya Saskia kerepotan membangunkan Tiara yang berada di atas dipan ranjangnya.
"Ayooo, Ti. Tahajuuudd." teriak Saskia. Pengurus lainnya yang sekamar dengan Tiara dan Saskia kebetulan sudah duluan pergi ke masjid.
"I-iya." ucap Tiara serak. Ia pun memaksakan dirinya untuk bangun.
Rupanya tiara masih sulit untuk membukakan matanya. Dengan keadaan yang lunglai, ia dengan gontainya menuruni tangga dengan hati-hati. Ia pun akhirnya ke kamar mandi yang kebetulan ada di dalam kamar. Jadi sekamarnya itu ada wc-nya. Kalau ngantri pun, ya itu dengan sesama kawan kamar saja. Bukan kayak pesantren salafy yang mandinya itu barengan, banyakan, dan di satu kamar mandi besar.
"Kamu kok masih di sini? Kirain udah pergi duluan ke masjid." ucap Tiara yang saat ini sudah lebih fresh. Karena ia sudah berwudhu dan menggosok gigi. Ia sendiri belum mandi, ia rasa lebih baik nanti saja sebelum masuk ke sekolah.
"Kasian. Kamu nanti sendiri ke masjidnya. Mana harus lewatin asrama putera. Kan gak nyaman juga ninggalinnya." kata Saskia yang sudah sabar menunggu Tiara.
"Makasih ya. Maaf, gara-gara aku, kamu jadi telat tahajudnya." ungkap Tiara bersalah.
"Ah, enggak Ti. Santai aja." ucapnya tersenyum.
"Pantes ya. Kalau seandainya bu nyai ngejodohin Tiara sama Yusuf. Dua-duanya sama-sama rupawan dan menawan. Lah aku? Dasar Saskia, kamu gak ngaca banget." umpatnya dalam hati.
"Yuk. Aku udah siap." ajak Tiara bersemangat.
Ia bahagia, ternyata kesannya bahwa masuk pesantren itu buruk, sudah ia hilangkan secara perlahan. Kini stigma buruknya sedikit berkurang, karena ternyata masuk pesantren itu tidak semenyendihkan yang ia pikirkan. Malah membuatnya makin mengenal Tuhan dan dirinya makin bahagia saja. Baik dalam segi spiritualnya maupun sosialnya.
Selama di SMP, ia tak cukup akrab dengan banyak orang. Paling hanya dengan gengnya saja, yaitu Rayn, Mega, dan Rere. Ia cenderung acuh dan tak peduli dengan murid lainnya. Sementara saat ini, dia tidak dituntut pun, dengan akrabnya bisa berkenalan dengan para santri dari berbagai jenis kalangan dan beda kota. Ia cukup bersyukur. Lambat laun, dirinya mulai menerima takdirnya. Takdir yang sebelumnya ia rutuki, kini ia syukuri pada Tuhannya dengan penuh rasa syukur.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments