Chapter 12

"Pada akhirnya, yang bisa kita pelajari dari hidup ini adalah bagaimana menjadi kuat sendirian"

-{Najwa Shihab}-

...----------------...

POV Tiara

Hari ini adalah hari terburuk gue menyandang gelar sebagai santri. Ya, title santri ini tak pantas disematkan pada gue yang amburadul ini. Mana ada ceritanya, seorang jaksa harus nyamar jadi seorang santri? Yang pasti, gue bakal buktiin, bahwa cita-cita gue itu bakal terwujud. Gue gak mau ke kurung di sini selamanya. Hih, amit-amit. Gue jamin itu, titik pokoknya, gak pakai koma.

Perjalanan panjang gue ke pesantren, dari Jakarta ke Garut membuat gue terlelap selama di mobil. Gue gak peduli, nyokap pada basa-basi lah, cerita apa lah, yang pasti mereka lagi ngerayain kemenangannya itu, karena berhasil masukkin gue ke pesantren. Gue? gak peduli lah. Toh sebentar lagi juga, pesantren bakal ngeluarin gue lagi. Gue semakin ketawa dalam hati, semenyenangkan ini membohongi nyokap. Siapa suruh, mereka juga maksa gue.

Mimpi buruk itu pun tiba, saat mobil yang nganterin gue ke pesantren ini berhenti di gerbang yang menjulang tinggi. Ternyata, pesantrennya sangat mirip dan pantas disebut penjara. Sial! Tapi gue liat pemandangan di sini, oke-oke aja. Eh, maksudnya gak salah-salah amat gitu loh, ternyata tempatnya asyik buat ngadem. Kok bisa ada pesawahan sama taman di dalam pesantren? Benarkah ini yang dinamakan pesantren? Em, gue ngomong apaan si. Gak, gue bakal tetep menilai negatif, apapun yang berkenaan dengan pesantren.

"Sayang... Ayo turun, kita sudah sampai." tutur Mama sambil tersenyum manis ke arah gue.

"Hem." gue males nanggepin ucapan sang Mama. Bagaimanapun, mereka terlihat bahagia, sementara gue tersiksa di sini.

"Eh, mbak Sandra. Selamat datang di Pesantren kami. Inilah keadaan pesantren kami, begini adanya. Semoga nak Tiara betah ya, mondok di sini." sapa bu Nyai pada Mama dengan sangat hangatnya.

"Ih, besan ini ngobrol apaan si. Pesantren enak gini di sebut apa adanya. Pastilah betah, anak ini kan suka pemandangan kayak gini." tutur Mama sambil melirik ke arah gue, sedangkan gue tersenyum kecut.

"What? Besan? Mimpi kali." rutuk Tiara dalam hatinya, ia tengah begidik ngeri mendengar penuturan mamanya.

"Benarkah? Wah, berarti pas ya? Nak Tiara gak salah mutusin tinggal di tempat ini." tutur bu nyai Susi sambil tersenyum dan menghampiri gue.

"Sayang." peluk bu nyai dengan eratnya, pelukannya itu sampai gue gak bisa nafas.

"Uhuk.. Uhuk.." gue pun batuk, entah itu karena pelukan bu nyai yang terlalu kencang atau emang gue yang terlalu nervous.

"Eh, nak Tiara? Kenapa sayang?" tanya bu nyai khawatir ke gue.

"Hehe, nggak apa-apa kok. Kayaknya tadi keselek aja. Tiara baik-baik aja kok." tutur gue nahan malu.

"Sial, kenapa banyak santri yang liatin gue sih? Gue kan malu diliatin begitu." gumam gue sambil melirik ke arah kanan dan kirinya.

...----------------...

"Eh, itu kayaknya murid baru ya?" tutur Santriah yang kepo, melihat Tiara datang dan disambut langsung oleh pimpinan pondok pesantren.

"Iya kayaknya. Tapi kok kayak yang istimewa banget ya? Siapanya keluarga pesantren kira-kira?" gumam santri lainnya yang ikut kepo dengan kehadiran Tiara.

"Ah, bu nyai ke siapa aja gitu kok. Gak usah dilebih-lebihkan." tutur Citra yang so' tahu. Padahal kalau dia tau, Yusuf dijodohkan dengan Tiara. Pasti dia ketar-ketir sendiri.

"Pede banget sih kamu, Citra. Bilang aja iri. Secara kan kamu itu ngarep banget sama A Yusuf." sindir santri lainnya.

"Hih, liatin aja ya. Kalau gue udah jadi bu nyai di sini. Gue hukum loe-loe semua sekarang juga." ancam Citra sambil menunjuk jarinya ke arah santriah yang mengejeknya.

"Gak bakal. Bu nyai juga nyeleksi kali. Mana ada dia milih menantu gak punya etika kayak kamu. Gak usah mimpi, kalau haluuu yaa jangan terlalu tinggi. Nanti kalau udah jatoh, sakitnya minta ampun." tutur santriah lainnya. Mereka pun menertawakan Citra yang saat ini wajahnya sudah merah padam menahan amarah.

"Udah ah, berisik. Dasar, orang-orang gak berguna!" Citra pun meninggalkan kerumunan santriah itu.

"Dasar. Tukang haluuuu." umpat para santri kompak.

...----------------...

"Nah, ini kamar untuk kamu sayang. Gimana, nyaman kan?" tutur bu nyai Susi mengkhususkan kamar untuk Tiara.

Kebetulan, kamar yang dipilihkan Bu Nyai itu adalah salah satu kamar pengurus pesantren. Nantinya, yang akan sekamar dengan Tiara adalah pengurus santri seangkatanya atau yang lebih dewasa darinya. Kebetulan, Tiara dititipkan bu nyai pada teman seangkatannya saja, supaya tidak canggung, juga lebih mudah di bimbing karena mereka pasti bisa berteman akrab karena seumuran.

Ya, pengurus itu bernama Saskia. Ia lebih suhu di sana karena sudah mondok lama dari MTs sehingga saat masuk SMA ia sudah jadi pengurus. Para santri pun bingung, mengapa murid baru tapi sudah ditempatkan di kamar pengurus? Mereka pun bertanya-tanya.

"Bu, ini kamar khusus ya? Kok gak gabung sama santri lainnya?" tanya Tiara mulai peka, karena sedari tadi banyak santri yang mengintip, sedangkan di ruangan itu memanglah terbatas, alias hanya beberapa orang saja.

"Ini kamar pengurus santri. Nantinya kamu bakal sekamar sama Saskia. Nah, Saskia ini teman seangkatan kamu nanti di SMA. Semoga kamu betah yaa di sini," harap bu nyai Susi.

Tiara pun hanya mengangguk saja sambil tersenyum simpul, entah apa yang sedang ia pikirkan saat ini, yang pasti keinginannya untuk kabur sudah sangat susah untuk dilakukan.

"Halo. Saya Saskia." sapanya sambil tersenyum dan mengulurkan tangan pada Tiara.

"Saya Tiara." balas Tiara tersenyum juga.

"Nah, sayang. Kamu bersyukurlah, bu nyai sangat memperhatikanmu di sini. Semoga kamu nyaman tinggal di sini ya!" kata mama Tiara tulus, sedangkan Tiara malah cemberut ke arah mamanya, namun tak ia perlihatkan pada semua orang.

"Iya. Bulan depan kami pasti jenguk kamu kok. Jadi jangan sedih ya!" timpal Papa Raihan juga.

"Kok papa ngejek sih?" balas Tiara mengkerutkan halisnya.

"Ngejek apaan?" papa Raihan pun tertawa pelan.

"Ah, lupakan." Tiara pun memunggungi sang papa. Hal itu mengundang tawa semua orang yang ada di sana.

"Ya sudah, ini kangen-kangenannya mau dilanjut di sini atau mau ke rumah ibu dulu? Soalnya mama sama papa Tiara akan segera pulang." kata bu nyai Susi.

"Kok cepet banget? Papa sama Mama mau ke mana?" Tiara pun seketika panik.

"Kan yang mau mondok kamu, sayang. Masa kami pun harus tinggal di sini? Lagian, Papa sama Mama kan mau bulan madu lagi. Anak-anak kami sudah bahagia dengan kehidupan barunya." bisik sang Mama, seketika Tiara pun merajuk.

"Oh, Tiara ke siniin tuh biar kalian bisa senang-senang sendiri ya? Bagus, berarti Tiara selama ini cuma jadi beban Mama sama Papa aja? Kenapa Tiara gak di ke panti asuhin aja sekalian." ungkap Tiara lumayan keras. Hal itu membuat bu nyai Susi, Saskia, dan pengurus lainnya yang mendengar jadi tidak enak.

"Eh, sayang. Kok ngomongnya gitu. Malu dong sama teman-temannya." kata Mama Sandra berusaha tenang.

"Sayang. Anggaplah ibu di sini sebagai Mamamu juga. Jadi, kamu gak bakal ngerasa kayak tadi lagi. Inget, kamu di sini mau mencari ilmu, bukannya mau di telantarin. Jadi, jauh-jauhkanlah pemikiran negatif seperti itu. Mama sama Papa Tiara sayang banget sama kamu, nak." nasihat bu nyai Susi lembut.

Entah mengapa, hati Tiara pun menjadi tenang, akan ucapan bu nyai Susi barusan. Ia pun bertekad untuk menerima kenyataan yang ada. Biarlah urusan harapannya itu, ia akan bersungguh-sungguh kembali tiga tahun kemudian, yakni saat sekolah SMA-nya beres. Maka tak ada kata tolakan lagi dari semua orang untuk mengejar harapannya. Karena, harapan orang tuanya saat ini sudah terlaksana. Jadi, ia pun bisa menagih janji-nya kelak, agar kedua orangtuanya mengizinkan dia untuk kuliah jurusan Hukum dan nantinya akan berprofesi sebagai Jaksa.

"Tapi, Tiara punya syarat untuk Mama dan Papa." ungkap Tiara tersenyum licik.

"Syarat apa sayang?" timpal sang Mama penasaran.

"Udah keluar dari sini. Tiara mau kuliah jurusan Hukum. Tiara bakal tetap nerusin cita-cita jadi seorang Jaksa. Jadi, kalian gak ada hak apapun lagi untuk menolak harapan Tiara yang satu ini." ungkap Tiara tak bisa diganggu gugat.

"Baiklah. Kami akan mengizinkanmu mencapai harapanmu itu. Apapun cita-citamu. Selagi itu baik, kami akan selalu mendukungmu." ucap sang Mama menimpali keinginan anaknya.

"Seriously? Ahhh, makasih Mama." Tiara pun memeluk mamanya haru, sementara sang Papa memang sejak dulu mendukung apapun keputusan anaknya.

"Iya. Jadi kamu yang sungguh-sungguh mesantrenya di sini, ya?" rayu Sang Mama.

"Oke, Ma. Pokonya, thank youuuu." Tiara pun menciumi pipi sang Mama. Hal itu membuat semua orang senyum-senyum sendiri melihatnya.

"Ya sudah, mama sama papa, boleh pulang sekarang kan?"

"Silahkan. Tiara mau membiasakan diri menjadi santri mulai hari ini. Semoga tiga tahun ini, akan cepat berlalu." gumamnya antusias.

Bu nyai susi pun geleng-geleng akan tingkah menantunya. Ia tahu, bahwa saat ini kedua orang tua Tiara memang mengizinkan keinginan anaknya. Urusan cita-cita Tiara terkabul atau tidak, hanya Tuhan saja yang tahu. Memang, manusia itu cenderung untuk merencanakan berbagai goals dalam kehidupanya, namun sejatinya, hanya Allah-lah yang berhak menentukan.

...----------------...

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!