Keesokan Harinya..
"Papa, Mama.." ungkap Tiara dengan riangnya berlari ke arah orangtuanya. Kini mereka berada di taman, yang dikhususkan untuk para santri yang sedang dijenguk oleh kedua orangtuanya.
"Anak mama, gimana betah?" elus Sandra pada pucuk hijab anaknya. Ia bahagia, karena sang anak terlihat betah tinggal di pesantren.
"Mama sama Papa, Jahat!" kini Tiara merajuk seperti biasannya.
"Loh, Pah. Liat anakmu. Kenapa tadi seperti senang melihat kita, tapi kok sekarang berubah lagi," ungkap Sandra yang terkekeh dengan sikap Tiara yang moody-an.
"Nih, Papa bawa makanan banyak banget. Kamu bisa bagi-bagi ke santri lainnya. Dan ini baju-baju kamu yang baru saja kami belikan," ungkap Raihan yang tidak menghiraukan sikap mood Tiara.
"Ini mau ngasih sembako apa gimana sih? Banyak banget makanannya." keluh Tiara lagi. Ia masih kesal.
"Kami hanya sebulan sayang di Singapura. Alhamdulillah nih, perusahaan Papamu menjalin proyek di sana. Jadi kami harus ke sana untuk memantau dan menyelesaikan proyeknya itu. Gak lama kok," jelas Sandra pada anaknya, agar tak ada lagi kesalahpahaman.
"Jauh amat sih, harus ke luar negeri segala. Kenapa jobnya gak dikasih ke yang lain aja? kenapa harus sama papa? Sengaja ya?" Tiara masih bersikap suudzon pada kedua orangtuanya.
"Astaghfirullah, Nak. Kamu lupa, Papamu ini siapa? Biasanya juga papa sering ke luar negeri kamu gak protes. Kenapa Mama ikut? Sekarang kan di rumah gak ada lagi kamu maupun teteh. Mama ya gak mau sendirian di rumah. Ngerti ya sekarang, udah. Marah-marah terus, nanti cantiknya hilang," ungkap Sandra sambil tersenyum ke arah anaknya yang masih cemberut. Ia pun mencolek dagu anaknya itu.
"Huft, tapi kan ada ART juga di rumah. Yaudah deh. Tiara ngerti. Jaga aja kesehatan mama sama papa di sana. Pulang ke sini harus dalam keadaan lengkap, gak ada satu pun yang kurang. Inget pesan Tiara yah!" kata Tiara yang tak menoleh sedikitpun pada keduanya.
"Uh, anak Papa kok jadi sosweet begini. Sejak kapan putri kecil papa ini berubah jadi besar," ungkap Raihan yang terharu dengan perubahan Tiara. Walau Tiara masih ketus, tapi perkataanya barusan menyiratkan bahwa sang anak memanglah sayang pada kedua orang tuanya.
"Udah ah. Pokoknya sebulan lagi, kalian harus ke sini. Jangan kayak kemarin, kok ya bilangnya ke Yusuf. Apa hubungannya?! Inget ya, Tiara mau lanjutin cita-cita Tiara. Jadi, jangan pernah kalian aneh-aneh atau paksa Tiara dalam hal apapun. Termasuk pasangan hidup!" peringatkan Tiara kembali pada kedua orangtuanya.
"Iya sayang. Kami paham. Alhamdulillah, anak Mama udah tumbuh besar aja. Silahkan Nak, kejarlah cita-citamu setinggi mungkin, pengalaman sebanyak mungkin, harapan sebesar mungkin. Tapi kamu juga harus inget, bahwa takdir Allah, di atas segalanya. Gini, bukan berarti Mama ngelarang. Tapi di mana keinginan kamu gak terwujud. Kamu jangan kecewa, oke? Sok berdo'a saja. Semoga Allah meridhoi setiap langkahmu, sayang." ungkap Sandra tulus, menasehati anaknya.
"Huhu. Iya, Mam. Makasih yah!" Tiara pun terharu dengan nasihat mamanya barusan. Baru kali ini, nasihat Sandra menyentuh hatinya yang terdalam. Begitupun Raihan. Sejak dulu, ia memang tak salah pilih menjadikan Sandra sebagai ibu dari anak-anaknya. Ia sangat bersyukur, kini ia pun semakin mencintai istrinya itu, karena Allah.
"Om, Tante." ungkap seseorang dari kejauhan.
"Eh, menantu. Salah-salah," Sandra pun mendapatkan tatapan tajam dari anaknya.
"Nak Yusuf kapan pulang?" tanya Raihan, saat ini Yusuf bergabung bersama mereka.
"Kemarin, Om. Kebetulan hari ini Yusuf pun ke Jakarta lagi," ungkapnya yang nampak sangat akrab dengan kedua orang tua Tiara.
"Wah, kalau gitu, bareng aja sama kami. Apa kamu bawa kendaraan ke sana?" tawar Sandra pada Yusuf.
"Gapapa, Tan. Yusuf bawa motor kok. Nanti kalau aku gak bawa kendaraan pas lagi kuliah, bisa repot," ucap Yusuf sambil tertawa kecil.
"Om denger kamu lagi bangun bisnis kue ala-ala pudding dan dissert gitu yaa? Gimana, butuh investor gak?" kini Raihan yang sangat pengertian pada Yusuf.
"Wah, Om. Gak usah. Serius. Yusuf pengen mandiri, nanti kalau bener-bener terdesak, bisa lah di calling-calling. Untuk saat ini, alhamdulillah, lancar jaya," kata Yusuf agak sungkan, karena sejak tadi Tiara diabaikan oleh kedua orangtuanya.
"Ini yang jadi anak Papa sama Mama siapa sih? Kalau gitu, Tiara pamit ah. Kalian udah berubah," rajuk Tiara yang merasa tersisihkan, karena sejak tadi perhatian kedua orangtuanya terlalu dominan pada Yusuf.
"Anak ini," gumam Raihan menggelengkan kepala. Yusuf pun hanya tertawa dalam hatinya.
"Kamu beneran gak punya kekasih kan, sayang?" kata Sandra memastikan.
"Tuh, tuhkan. Pembahasannya ke sana terus! Bisa gak sih, kalian tuh gak terlalu ngatur Tiara? Asli ih, kalau gitu mah, kalian angkat aja Yusuf jadi anak kalian," ucap Tiara acuh dan nampak jengkel menatap ke arah Yusuf.
"Om, Tante. Kalau gitu, Yusuf pamit ya.. Ada suatu hal yang harus yusuf bereskan sebelum ke Jakarta," kini Yusuf pun meninggalkan keluarga Tiara. Ia berkilah, karena semakin tidak enak dengan Tiara.
"Baiklah, calon mantuku. Cepat selesaikan skripsinya," semangati Sandra. Sedangkan Tiara yang mendengarkan celotehan mamanya, hendak meninggalkan kedua orangtuanya.
"Kamu beneran gak mau pamitan sama kami?" goda Sandra, sepertinya Tiara lelah, karena ia terus saja dijodohkan dengan orang yang tak diinginkannya.
"Tiara lelah sama kalian! Terserah... Kalau kalian terus maksa gini, jangan salahkan, kalau Tiara berani macam-macam. Mulai detik ini!" ancam Tiara, saat ini ia sudah meninggalkan keduanya menuju asrama puteri.
"Pah, apa kita terlalu keras ya pada Tiara?" tanya Sandra yang seperti menemukan kesungguhan selepas Tiara pergi dari pandangan mereka.
"Mungkin. Mama sih, ceplas-ceplos terus. Udah tau anaknya gitu. Kalau jodoh sama Yusuf, semesta pun pasti menyatukan keduanya. Bagaimanapun caranya. Sekarang.. kita susul tuh anak, mumpung belum ke kamarnya," ajak Raihan pada istrinya.
Mereka pun akhirnya berhasil membujuk Tiara. Saat itupun, mereka berpamitan untuk meneruskan perjalanan pulangnya ke Jakarta, lalu malamnya terbang ke Singapura.
...----------------...
Di malam hari, para santri pun seperti biasa mengaji, talaran kitab dan juga hafalan quran bagi santri tahfidz. Mereka dengan riuhnya melafalkan bait-bait nadzoman yang berbeda-beda. Di aula, para santri takhosus menadzomkan bait Alfiyyah Ibnu Malik (Nadzoman terkenal yang mempunyai 1000 bait mengenai tata bahasa Arab), para santri yang baru setahun-dua tahun mondok mereka belajar ilmu tajwid yang dinadzomkan, namanya Tuhfatul Athfal dan juga Aqidatul Awam (Nadzom Ilmu Tauhid, berisi sifat wajib+mustahil bagi Allah, Rasul, dan lain sebagainya).
Kebetulan, saat itu Tiara berada di kelas ula (awal) jadi ia menadzomkan talaran Jurumiyah (kitab dasar dalam mempelajari ilmu Nahwu) dan juga Shorof (perubahan kata dalam bahasa Arab). Memang, ada beberapa kelas yang menjadi referensi santri dalam belajar ilmu agama di pondok pesantren. Semua itu sesuai tingkat kemahirannya, misalnya kalau ada santri baru yang masuk pesantren, tapi sebelumnya ia sudah mondok, ia bisa masuk ke dalam kelas yang belum ia pelajari di pesantren sebelumnya. Langsung masuk ke kelas atas pun tidak masalah, karena ia tinggal meneruskannya dan tak perlu mengulang lagi dari awal.
Beda halnya dengan santri baru dan ia baru pertama kalinya mondok di pesantren, maka nasibnya akan sama seperti Tiara, di kelas awal dulu meskipun ia saat ini berstatus sebagai murid SMA. Terdengar riskan karena seperti diasingkan, tapi Tiara tidak merasakan hal-hal itu. Ia malah bersyukur, tidak langsung belajar ilmu yang tingkatannya lebih sulit, namun belajar dari awal, bertahap dan tentunya secara perlahan. Meskipun awalnya ia merasa sulit mencerna, namun lama-kelamaan karena penjelasan yang jelas dan lugas sehingga Tiara dengan mudahnya memahami setiap materi kitab yang diajarkan oleh para guru di pesantren.
Sementara itu, di suatu sudut madrasah. Tiara seperti melihat seseorang yang ia kenal. Ia bingung, karena orang itu seperti ketakutan dan berusaha menghindari orang-orang. Ia pun akhirnya mendekat, dan menepuk pundak orang itu.
"Saya mohon, menjauhlah dari saya!" ungkap Devi yang sepertinya kerasukan menatap Tiara.
"Dev. Istighfar," Tiara berusaha tenang menghadapi Devi yang masih setengah sadar itu.
"Kamu harus mati!" tiba-tiba Devi sepenuhnya dikuasai oleh jelmaan makhluk halus yang diduga merasuki tubuh Devi.
Tiara beringsut mundur, ia mencoba merapal surah yang ia ketahui bisa mengusir hantu. Namun Devi terus menyeringai dengan tatapan mengerikan ke arahnya. Santri lainnya saat ini sudah mulai sepi, keadaan pun sudah semakin gelap. Waktu menunjukkan hampir jam 12 malam. Kini di sekitar itu menyisakan Tiara dan Devi saja yang hampir di ujung asrama puteri yang terkenal gelap dan angker.
"Ya Allah, kok aku takut," gumam Tiara dalam hatinya. Devi terus mendekatinya dan hampir mencekiknya.
"De-v.." kini Tiara dalam kungkungan nyata Devi yang sedang kesetanan. Ia terus saja meringis kesakitan, sementara tak ada seorang pun yang menghampiri keduannya.
"Ini yang aku inginkan," Devi terus saja bergumam aneh, Tiara tidak tau apa maksudnya.
"Dev, ku mohon," secara perlahan ia berusaha mundur kembali. Ia berhasil terlepas dari cengkraman maut Devi. Namun bukan makin selamat, Tiara malah ke arah tempat yang membuat syetan dalam tubuh Devi kegirangan.
"Aku takutt.. Ku mohon Dev.. Sadarlah," pinta Tiara sambil berjongkok ketakutan dan menutup matanya menggunakan sepuluh tangannya.
Devi pun seketika menghilang. Ini merupakan kesempatan emas bagi Tiara untuk kabur. Ia pun lari ke arah asrama puteri lagi, namun tiba-tiba saja, tubuhnya seakan tidak bisa berkutik seperti patung. Ia bingung, mau berteriak tak bisa, bergerak apalagi.
"Emph," gumam Tiara yang bingung apa yang terjadi dengannya.
"Maafkan aku, teh." kini Devi sudah ada di belakang Tiara dan bersiap untuk...
"La Ilaaha Illalloh" ucap seseorang dari arah samping.
"Devi..." seketika Tiara bisa bersuara kembali, namun ia menemukan keadaan Devi yang mengenaskan.
"Yusuf.. Apa yang sebenarnya terjadi?!" kata Tiara yang saat ini yusuf pun tak tahu harus menjelaskan apa.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments