"Gimana gais, udah beres shalatnya?" sapa Rayn yang nampak jenuh menunggu ketiga sahabatnya shalat dzuhur.
"Sorry Rayn, kita langsung shalat ashar barusan. Karena pas beres dzuhur, tiba-tiba langsung adzan ashar. Jadi yah, sekalian gitu loh," ucap Mega yang nampak tau kejenuhan Rayn.
"Oh, bagus deh. Akhirnya, bestie-bestieku tobat. Jadi nanti kita bisa ke surga sama-sama, ya!" kata Rayn tiba-tiba mellow.
"Yaelah, coba dari dulu kek gini ya! Pasti kita gak bakal tuh, ada acara main ke club malam, alkohol, karaokean, makan daging babi, bahkan tempat-tempat lainnya yang sudah biasa kita datangin." ungkap Rere mellow juga.
"Gapapa, kan namannya juga manusia, gak luput dari kesalahan. Asal gak ngulangin lagi kesalahan yang sama. Jangan tobat maksiat lagi, tapi kali ini, kita harus sungguhan taubatan nasuha." ungkap Mega.
"Semoga ke depannya, kita bisa hijrah sama-sama. Apalagi bu nyai nih, bentar lagi bakal berhijab. Semangat bu nyai!" semangati Rayn, sedangkan orangnya malam mencurutkan bibirnya.
"Gue jengah deh, kalian ngomongin mulu kata, bu nyai.. bu nyai teruss. Panas telinga gue!" tegur Tiara tak suka sahabatnya meledek begitu.
"Hei, jangan gitu. Siapa tau dengan hidayah lo masuk pesantren, bisa berdampak baik juga bagi kami yang tak mungkin masuk ke sana. Udah ah yukk, cabut! Kita kan mau happy-happy an di pantai Ancol!" ajak Mega sumringah.
"Kalian udah sepakat, mau masuk juga bareng gue ke pesantren. Gue tagih loh!" ancam Tiara pada ketiga bestienya.
"Gue gak bisa janjiin, Ti!" kata Mega memelas.
"Gue juga! Nyokap gua pasti bakal gak ngizinin!" susul Rayn mengungkapkan kegundahan hatinya.
"Sama Ti! Malem gue udah ngobrol, eh mereka pengennya gue masuk sekolah umum, biar langsung ngejurus gitu. Gue disuruh nerusin mereka berada di pemerintahan!" Rere pun matanya berkaca-kaca, ia memang salah satu orang di antara mereka yang setuju akan masuk pesantren, namun nyatannya keinginan orangtuanya jauh lebih baik ia turuti, lebihpada berakibat fatal.
"Ya ampun!" keluh Tiara sambil mencembik. Ia sendiri sedih, ternyata teman-temannya gak akan ada yang ikut dengannya, yakni masuk ke pesantren.
"Kita janji. Pasti bakal jenguk lo ke pesantren kalau lagi senggang. Jangan sedih, Ti!" ungkap Rayn yang tiba-tiba memeluk Tiara.
"Uuuu, aku juga! Maafin gue yaah!" Rere pun memeluk Tiara yang sedang sedih, bahkan hampir menitikkan air mata.
"Tiara, semoga kamu bahagia yaa di sana!" perkataan Mega akhirnya membuat keempat sekawan itu menangis bersama-sama.
"Gue yakin, lo bakal bahagia di sana! Yang baik-baik ya, Ti!" ungkap Rayn menguatkan Tiara.
"Gue sedih. Kenapa takdir buruk ini, harus nimpa gue sih?! Tuhan, apa salah gue!" lirih Tiara kesal, saat ini dia terus saja menangis sesegukan dan meratapi takdir yang menurutnya buruk itu.
"Jangan gitu, Ti! Semoga ini takdir terbaik dan terindah dari Tuhan untuk lo! Percaya!" ujar Mega memberikan kata-kata positif untuk Tiara.
"Inget, kata-kata Indah dalam Al-Quran,
وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui." ungkap Rere yang nampak antusias untuk memberikan semangat pada Tiara.
"Tumben lu bijak, Re?" tanya Mega heran, tak biasanya Rere menyisipkan ceramah atau hal-hal yang berbau agama saat mereka sedang bersama.
"Gini-gini, gue sering ngaji sama mama gue di rumah. Ada ustadz khusus juga yang ngajarin ngaji kami di rumah. Jadi ya, sedikitnya gue tau lah, salah satu ayat, termasuk yang menjelaskan hal ini," curhat Rere pada ketiga sahabatnya.
"Ooooh.." mereka bertiga pun ber-oh ria dengan penuturan sahabatnya yang paling moody.
"Syukur deh. Kamu juga udah hijrah, Re! Semoga kita semua bisa hijrah bersama ya!" harap Rayn, seketika Tiara pun terbesit rasa untuk mulai menerima takdirnya, yang akan masuk ke pondok pesantren itu.
...----------------...
"Ti, udah dong. Jangan galau lagi! Btw, tadi ada cowok berpeci loh, yang nanyain lo!" ungkap Rayn antusias pada sahabatnya yang kini tengah cemberut menatap ombak laut di sore hari.
"Hah, siapa? Perasaan kenalan gue atau temen-temen gue, gak ada tuh yang seleranya berpeci!" ucap Tiara acuh pada penuturan sahabatnya.
"Eh, jangan gitu. Dia tuh cowok yang tadi berpapasan sama Mega di hotel." ujar Rayn antusias.
"Terus? Harusnya dia kan nanyain Mega. Napa nanya gue?" tanya Tiara tak peduli dengan apa yang dibicarakan Rayn.
"Kayaknya, cowok itu suka sama elu! Ayolah, dia ganteng kok, Ti! Sholeh pula! Cocok sama elu!"
"Oh, jadi gue gak pantes yaah, bersanding sama cowok kek gitu?!" kini Tiara mulai menanggapi obrolan rayn.
"Hei, gak pantes di mananya? Maksud gue, kalau kalian jodoh. Cocok! Secara kan, dia agamis, lo kan masih tahap hijrah. Jadinya bisa lah tuh, saling melengkapi. Begitu!" tutur Rayn menjelaskan maksudnya.
"Hem, gue gak minat! Sorry!" Tiara pun kembali mengabaikan perkataan Rayn.
"Huft!" Rayn sendiri nyerah, ia tak bisa menghibur, hati sahabatnya yang sedang gundah gelana. Biarlah, Tiara begini dulu saat ini. Lambat laun, dirinya pun akan membaik dengan sendirinya. Pikir Rayn dalam hatinya.
"Hei gais, sebentar lagi sunset tiba! Wahh, fotoin akuu dong!" pinta Rere pada Mega.
"Iyeee, eksis yaa ni bocil. Sini-sini, gue jamin bakal estetok!" kata Mega yang nampak menuruti perkataan Rere.
"Awas lo yah, kalau jelek. Gue cincang lu!" ancam Rere.
"Hih, udah mau ngefotoin aja udah bagus. Nih, liat!" kini Mega pun sudah beres motoin Rere yang sejak tadi ngedumel fotonya jelek.
"Wah, gak sia-sia, punya sahabat fotographer kayak lo! Mantap!" Rere pun mengacungkan jempolnya. Ia nampak benar-benar puas akan hasil jepretan sahabatnya itu. Apalagi mereka pakai ponsel bermerek Iphone, semakin kinclong saja hasil jepretan Mega.
"Makannya, jangan ngeremehin calon fotographer ini. Gini-gini, foto-foto hasil jepretan gue terjual mahal!" ungkap Mega bangga.
"Hah? Masa sih? Ko bisa?" kata Rayn yang ikut nimbrung dengan kedua sahabatnya, sementara Tiara masih saja melamun dan terus memandang laut yang kian menggoda, karena sunset saat itu begitu indah dan rupawan.
"Jadi, gue jualin foto-foto gue di google. Ada tuh website nya khusus. keren kan? Kecil-kecil dah ngehasilin uang. Berawal dari hobby, merambat menjadi profesi. Kalian pun harus gitu! Temukanlah kesukaan dan hobby kalian masing-masing!" ujar Mega memotivasi bestie-bestienya.
"Gue suka make-up sih. Apa iya gua jadi MUA aja?" tanya Rayn meminta pendapat.
"Boleh tuh. Nanti collab sama gue Rayn. Gue fotographernya, lu tukang make-upnya." kata Mega meyakinkan Rayn.
"Aku apa dongg??" tanya Rere mengkerucutkan bibirnya, ia pun masih bingung, profesi apa yang harus dia jalani.
"Dedek bukannya suka desain ya? Coba aja, ikut pelatihan desain gituu. Bisa kan? Biasanya ada pelatihan dan kelas khusus gitu. Banyak tuh bertebaran di internet. Nanti nya jadi tukang desain, mau itu desain pakaian kek, melukis, atau apapun yang berbau desain. Coba dalamin, maunya fokus ke arah mana." usul Mega tulus.
"Hem, bener juga. Gue suka gambar-gambar baju. Semoga aja, gue punya butik sendiri ya!" kata Rere yang nampak semangat dengan perbincangan kedua kawannya, sementara Tiara, ia nampak lesu dan tak menghiraukan impian-impian sahabatnya itu. Ia rasa, hidupnya memang akan hancur, bahkan ia tak ada lagi energi untuk melanjutkan kehidupannya dengan baik.
"Hei..!" intruksi Rayn memecahkan perbincangan asyik Rere dan Mega.
Mereka pun melirik ke arah Tiara, nampak Tiara sedang menitikkan air mata dan terus memandangi hamparan ombak yang sedang kejar-kejaran. Ombak itu nampak berlarian dengan bebas, seolah-olah tak punya beban hidup. Karena tugas mereka hanya pasang-surut, pasang-surut saja. Tidak seperti dirinya, yang memiliki beban dan impian yang terbatas.
"Tiara!" ungkap Rere yang lebih dulu memeluk sahabatnya itu. Mega dan Rayn pun menyusul, kini mereka sedang diambang galau. Segalau Tiara yang meratapi nasibnya, karena di sisi lain mereka membicarakan impiannya, tapi Tiara, dia harus terbelenggu dengan keinginan orangtuanya, yang menyuruhnya masuk ke pondok pesantren. Tentu semua itu sangat berat bagi Tiara, apalagi itu bukan kehendaknya sendiri, tapi ia harus pasrah dan menerima apa yang sudah ditakdirkan padanya.
...----------------...
"Sayang! Ko gak bilang mau nginep di pantai?" tanya Sandra di sebrang telepon, sedangkan yang mengangkatnya, nampak malas menanggapi kekhawatiran sang ibunda.
"Ngapain Tiara bilang juga? Toh mama gak bakal nyetujuin keinginan Tiara yang gak mau masuk ke pesantren. Udah deh, mama jangan sok perhatian." rajuk Tiara pada mamanya.
Sang mama pun mengerutkan halisnya, ia bingung. Perasaan tadi pagi anaknya baik-baik saja, bahkan ia kira, anaknya sudah menerima keputusannya, tapi ternyata sang anak malah menjadi-jadi seperti ini.
"Loh, Mama kan khawatir sayang. Kamu kenapa? Apakah ada yang menganggu pikiranmu?" ujar Sandra tenang. Ia tahu, anaknya nampak sedang maju-mundur. Menerima takdir, yang harus ia jalani ke depannya.
"Banyak! Dan semua itu, ulah Papa dan Mama!" omel Tiara di sebrang telepon. Sementara ketiga kawannya, nampak memperhatikan saja obrolan Tiara. Mereka tak ada yang berani menasihati Tiara, karena takut akan salah ucap. Biarlah Tiara mengungkapkan unek-uneknya pada orangtuanya.
"Astaghfirullah. Jadi kamu masih gak terima nih, masuk ke pesantren?" tanya Sandra mulai serius.
"Nggak! Tiara sekarang mau kabur aja, biar gak dipaksa-paksa lagi sama Mama dan Papa!" ia pun mematikan ponselnya sepihak.
Sementara Sandra di rumah nampak khawatir dengan ancaman anaknya. Akhirnya ia pun bersama Raihan, menyusul anaknya yang tengah bermalam di pantai Ancol.
"Ti, kenapa lo gak bicara baik-baik sama nyokap lo? Gue yakin, mereka bakal nyusul lo ke sini." ungkap Rayn yang sudah gatal, karena melihat Tiara sejak tadi berkata ketus pada mamanya.
"Biarin! Gais..! Bantu gue kabur dari sini!" Pinta Tiara pada ketiga sahabatnya. Mereka pun akhirnya saling memandang. Apakah Tiara beneran akan senekad itu?
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments