Di pesantren Ar-Rizqon. Para santri/ah-nya rutin mengulang talaran kitabnya maupun hafalan qurannya. Di sana mereka dituntut untuk cerdas secara agama maupun umum. Setiap dua minggu sekali, ternyata ada pelatihan khusus di bidang komputer, atau seputar dunia perteknologian-lah. Sesekali mereka ada yang menekuni bidang IT, bidang desain grafis, bidang copy writing maupun roboting. Hal itu berlaku bagi santri maupun santriah.
Bagi santriah pun tak kalah banyak lagi pilihannya, mereka juga ada kelas make-up ala-ala MUA, menjahit, dan juga kelas memasak. Ternyata, pesantren itu menyediakan penghasilan dari ekstrakulikuler tersebut. Ada yang menjual jasa-jasa para santri sehingga istilah santri menganggur di masa depan itu, telah mereka patahkan dengan keahlian yang mereka sediakan di dalam pondok pesantren.
Bisnis membikin kue bolu pun sudah berjalan cukup lama, dan hal itu di tanggung jawabi sendiri oleh bu nyai Susi. Kebetulan beliau memang ahlinya dalam memasak, sehingga nanti yang order ke pesantren. Para santri sendiri-lah yang terjun membantu bu nyai-nya, sehingga mereka sudah punya skill memasak, andaikan di masa depan, mereka akan meneruskan keahliannya itu.
Begitupun ada bidang hackernya juga lho. Santri yang biasanya mahir di bidang teknologi itu, setelah lepas dari pesantren, mereka langsung lolos masuk ke perusahaan besar, baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Ada dari mereka pun yang meneruskan bidang hackernya itu secara individual, baik untuk membantu di desanya maupun masyarakatnya.
Mengingat, zaman sekarang banyak sekali modus penipuan oleh oknum yang tak bertanggungjawab. Para santri Ar-Rizqon lah yang kebanyakan membantu masyarakat awam, untuk terlepas dari jeratan pinjaman online misalnya ataupun jika ada data yang ke bobol, mereka siap membantu tanpa pamrih dan juga tanpa menargetkan uang pada orang yang kesusahan itu.
Sungguh, ilmu itu sangat mahal. Saking mahalnya, kita sebagai masyarakat biasa. Yang sudah terlanjur ada dan menjalani kehidupan modern ini, harus mengikuti perkembangan zamannya. Sekali saja kita terjebak dan terjerumus, maka keluarnya pun akan sulit pula. Banyak sekali penipuan merajalela, bahkan iming-iming bisnis yang membayar 200-500k perhari. Jelas, di dunia ini tak ada yang instans. Kalaupun ada, sudah bisa ditebak, bahwa bisnis-bisnis tersebut tidak lain adalah permainan perusahaan bodong, di mana mereka mengarahkan masyarakat awam untuk bermain judi online dan terperangkap di dalam permainan mereka.
Maka, jadilah santri dan masyarakat yang cerdas. Yang peka dan selalu hati-hati terhadap apapun dan dalam kondisi apapun. Sungguh, dunia ini keras, dunia ini kejam. Jika kita menyerah, maka sejatinya kita telah berputus asa dari rahmat Tuhan. Kita harus terus berjuang melawan itu semua. Karena kita percaya, Allah-lah yang sejatinya telah merancang hidup kita. Maka, jalanilah semua takdir yang telah terjadi, agar hidup kita tenang, damai, dan tentram. Juga mensyukuri atas segala apapun bentuk kejadian, yang sudah atau telah menghampiri ke dalam hidup kita ini.
"Cahya, kamu kenapa?" tanya Tiara pada teman SMA nya itu. Dia bukan pengurus, melainkan santri biasa, yang sama seperti Tiara, yakni baru masuk ke pesantren.
"Nggak. Aku gapapa kok." sangkalnya dengan wajah tertunduk lesu.
"Ayo, ada apa. Sini cerita sama aku." Tiara yang sedari dulu punya karakter yang hangat, hingga sampai saat inipun sifat pedulinya itu tak pernah luntur dari dirinya.
"Tiara." ungkapnya berkaca-kaca. Kini airmatanya menitik begitu deras. Ia menangis tersedu-sedu di hadapan Tiara. Sepertinya, Cahya ini punya masalah besar. Pikir Tiara.
"Ayo, kamu cerita aja. Aku gak bakal bilang siapa-siapa kok." ungkap Tiara meyakinkan.
Untungnya, mereka sudah bubar sekolah. Saat itu baru pukul dua, makannya Tiara santai dan gak buru-buru pulang ke dalam kamarnya.
"Aku terjerat pinjol, Ti. Kenapa orangtuaku malah masukin aku pesantren. Bagaimana nasib orangtuaku, pasti mereka pun kesusahan menanggungnya." ungkapnya sambil terus sesegukan.
"Loh, kok bisa? Gimana ceritanya?" Tiara pun terkejut dan merasa kasihan juga dengan masalah yang Cahya hadapi.
"Panjang, Ti. Yang pasti, semua itu adalah kesalahan aku. Aku bodoh Ti, aku bodoh." Rutuk Cahya yang terus menyalahkan dirinya.
"Gak gitu, Cahya. Coba sini, kamu cerita sama aku. Siapa tau dapat solusi." tenangkan Tiara.
"Intinya, aku terjerat judi online, Ti. Udah uangku habis sama sistem judi, aku gelap mata. Aku pun akhirnya minjol, eh gak taunya, judi ku kalah. Uangku raib, hutang pun numpuk." Cahya pun seketika menangis, ia tergugu dengan pilu. Tangisannya begitu menyayat hati. Siapa sih yang gak bakal nangis dengan kejadian itu. Mental kena, pikiran kena, hidup pun jadi gak tenang.
"Innalillah.. Kamu yang sabar dulu sekarang. Tenangin dulu diri kamu. Coba, kamu tenangkan dulu. Lalu kita pikirkan solusinya bersama-sama." ucap Tiara sambil mengusap bahu Cahya yang bergetar akibat menangis pilu.
"Gimana mau tenang, Ti. Pikiran aku tiap hari, selalu mencari solusi. Gimana caranya ngasilin uang? Gimana caranya gak repotin orang tua. Aku tuh kayak anak sial tau gak. Bukannya nyenengin orang tua, malah ngerepotin." tuturnya sendu.
"Gak gitu, Cahya. Allah itu berarti sayang banget sama kamu. Makannya Allah nguji kamu begini. Coba aku? Aku belum tentu sekuat kamu, aku belum tentu setegar kamu dalam menghadapi ujian seperti ini. Yakin, setiap kesukaran, pasti ada kemudahan. Setiap masalah, pasti ada solusi. Itu mutlak, gak bisa diganggu gugat." ucap Tiara meyakinkan kepercayaan diri Cahya.
"Tapi aku gak bisa tenang, Ti. Pikiran aku terus kalut, gimana utang pinjolnya membengkak, secara mereka kan sistemnya bunga, riba. Gimana kalau semakin hari semakin mencekik. Keluarga aku bayar dari mana? Kok ya aku malah di pesantrenin gini. Kenapa..??" ungkapnya nampak sangat frustasi.
"Coba sekarang kamu deketin Allah. Kamu curhatin ke Allah. Kamu bilang sama Allah. Apapun itu, kamu coba bermuñajat padanya. Masa sih Allah ngebiarin kita dalam masalah ini, kalau bukan Allah sendiri yang akan ngeluarin kita dari masalah yang ada? Gak mungkin, Allah titipkan ujian pasti disertai solusinya. Coba minta ke Allah, bilang kalau gak kuat. Pasti Allah denger, Allah sayang banget sama kamu Cahya."
"Baiklah, aku coba ya, Ti. Makasih banyak udah mau dengerin keluh-kesah aku. Aku kira, kamu bakal benci dan jauhin aku karena terjerat riba. Aku tau riba haram, tapi aku bener-bener gak tau bisa gini gitu loh. Ya Allah..." gumamnya sambil menatap ke arah jendela.
"Gapapa, its okay. Kamu kan jadi punya pengalaman. Nah, jadikanlah ini sebagai pelajaran agar hal seperti ini tak terulang kembali di masa depan. Yakin deh, ini tuh bener-bener pelajaran berharga dari Tuhan. Kamu harus berhusnudzan, yakin, bahwa di balik ini pasti ada hikmahnya." semangati Tiara kembali.
"Makasih ya, Ti." akhirnya mereka pun berpelukan. Ada rasa haru di hati Tiara.
Rupannya semakin hari, dia semakin mendekat pada Tuhannya. Iya merasa bersalah, tempo hari dia suudzon pada Allah, bahwa di pesantren itu adalah penjara-lah, apa-lah. Kini, ia bisa belajar kehidupan dari banyak orang. Sungguh, ia sangat bersyukur pada Rabb-nya.
"Ya sudah, karena bentar lagi mau ashar. Kita siap-siap yuk ke masjid." ajak Tiara pada Cahya. Mereka pun bersama-sama keluar dari kelasnya.
Namun, saat Tiara hendak ke ruang pengurus, alias kamarnya. Ia melihat seseorang yang tak asing keluar dari mobil di halaman asrama puteri.
"Tiara?" sapa orang itu padanya.
"Ck, mau ngapain dia ke sini." gumam Tiara pelan.
"Kamu jadi santri toh sekarang?" ungkap orang itu dengan tatapan tak percaya, seketika Tiara pun menanggapinya sebal.
"Ngejek? Emang aku sudah jadi santri. Kenapa, puas?" Ia menanggapinya kesal, karena seolah-olah dirinya tengah diledek.
"Ya ampun, kamu dari dulu kok gini terus ke aku sih. Salah aku apa?" ucap orang itu tenang. Sedangkan Tiara sudah malas menanggapinya kembali.
"Udah dulu, ya. Aku mau berjamaah ke masjid. Sebentar lagi ashar." ungkapnya berlalu dan mengabaikan pria yang tengah menyapanya itu.
"Hem, kamu memang seperti itu. Apakah kamu gak akan pernah membukakan hatimu padaku, Tiara?" gumam lelaki itu menatap jauh Tiara yang sudah hilang dari pandangannya.
"Ti, tadi itu siapa?" tanya Cahya yang saat ini tengah berjalan di sampingnya.
"Orang asing. Dia sok kenal aja sama aku." ucapnya datar, ia malas membicarakan sosok pria itu pada siapapun.
"Keknya cowok itu suka deh sama kamu. Dari tatapannya aja beda." tutur Cahya apa adanya.
"Hem. Biarin. Aku gak peduli." ungkapnya acuh. Ternyata orang itu adalah om Beni. Seseorang yang sempat akan dijodohkan oleh kedua orang tua Tiara tempo hari.
Saat itu Om Beni ke pesantren karena utusan Papanya Raihan. Rupanya ia sedang mengurus sembako untuk dibagikan ke para santri Ar-Rizqon. Beni pun tak tahu, bahwa Tiara sudah masuk pesantren saat itu.
"Ada kenangan buruk ya, sama om-om itu?" tanya Cahya kembali.
"Ya, begitulah. Udah ah, jangan dibahas mulu dong." pinta Tiara.
"Oke deh."
Shalat ashar pun akan segera dimulai. Para santri memang diwajibkan untuk shalat ashar berjamaah setiap waktu. Shubuh, dzuhur, ashar, maghrib, isya. Semuanya wajib hadir ke masjid, karena di sana pun ada petugas dari pengurus santri maupun osis dari sekolah untuk mengabsen para santrinya.
Begitulah kehidupan sehari-harinya pesantren boarding school. Plus-minusnya pasti ada, karena bagaimanapun sekolah di dalam pesantren itu tak sama dengan sekolah-sekolah populer lainnya, seperti negeri maupun swasta.
Namun jangan pernah meragukan, karena sekolah boarding pun, buktinya mampu menyaingi sekolah formal yang notebene-nya lebih populer dibandingnya. Misalnya, jika ada perlombaan se-provinsi Jawa Barat. Seringkali murid dari pesantren Ar-Rizqon itu tembus menjadi juara, bahkan tahun ini, baru saja ada santri yang bisa mewakili Jawa Barat untuk bertanding di perlombaan tingkat nasional.
"Ti, kamu dipanggil bu nyai tuh. Cepet, gak enak loh ditungguin dari tadi," ungkap salah satu pengurus santri yang rupanya seorang murid Tahfidznya Ummi Susi.
"Tumben, kenapa ya?" tanya Tiara aneh. Pasalnya dia tidak melakukan apa-apa, tapi dicari sebegitunya.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments