“Argh! Anjing!” umpat Alanzo menendang bangku di hadapannya.
Di ruangan berdesain klasik dan strong dengan ornamen yang indah, serta warna serba hitam berlogo garuda milik Gebrastal ini tempat berkumpulnya para anggota geng. Semua orang yang ada di ruang itu langsung menghadap ke arah ketuanya yang tampak emosi.
“Sayang, kamu gak papa?” tanya Glenca mendekat, berusaha menenangkan.
“Jadi si Kepala Sekolah botak kinclong itu gak mau keluarin Sheryl karena papa lo? Wah, kalo gua sih mending ngalah ya kalo kagak mau kena smack down papa lo!” ujar Jehab santai meneguk minumnya.
“Katanya Sheryl beda? Apa bedanya, Njing, dari siswi lain?” tanya Kenart sedikit berpikir.
“Dia tuh cuma cewek cupu yang cari sensasi! Kayaknya gue sama ciwi-ciwi gue harus kasih dia pelajaran deh!” ucap Glenca yang tampak kesal.
“Cepet cari data soal Sheryl kelas sebelas IPS tiga sekarang!” perintah Alanzo pada mereka semua.
Kenart yang sudah siap dengan PC-nya langsung menyipit saat menemukan sesuatu. “Sheryl di kelas ini ada dua. Sheryl Auristella atau Sheryl Natarimbi?”
“Sheryl Natarimbi.” Ya, Alanzo yakin, ia sangat ingat ketika membaca name tag seragam milik cewek itu.
Kenart tersenyum puas saat mendapati data diri itu. “Sheryl Natarimbi. Lahir tanggal 11 November, anak dari tukang jahit sepatu keliling, lima bersaudara, anak beasiswa.” Kemudian Kenart mencetak data-data itu dalam bentuk lembaran.
“Iyuh! Anak tukang jahit sepatu aja berani sama kita!” balas Glenca mengekspresikan mimik jijik.
“Gak usah ngehina kerjaan orang! Gitu-gitu masih halal!” seruduk Omero terlihat kesal, perkataannya seolah menyindir mereka semua di sini yang suka menghasilkan uang dengan judi dan balapan—meski uang itu tidak pernah terpakai.
“Ngapain sih lo!” sulut Leon tidak terima.
Alanzo tidak memedulikan mereka. Yang ia pedulikan sekarang data-data itu. Ia tersenyum miring.
Namun, mereka tidak tahu orang yang mereka cari datanya sebenarnya bukan Sheryl Natarimbi, melainkan harusnya Sheryl Auristella.
***
Sheryl membawa langkah kakinya ke perpustakaan yang terletak di lantai atas. Entah kebetulan atau tidak, ia merasa semua perpustakaan yang pernah ia kunjungi di sekolah selalu terletak di lantai atas yang akan melewati tangga sepi. Saat ia tiba di tangga, terdapat lima cowok tampan yang kini tengah duduk di tangga menatap dirinya tajam.
Kelima cowok itu kini berdiri, membuatnya pada posisi terkepung. Alanzo tersenyum miring saat Sheryl menatap satu per satu cowok-cowok itu dengan dahi yang berkerut. Sheryl segera saja ingin menerobos tubuh Alanzo, tapi tak semudah itu, Alanzo menghalanginya.
Ia ingin lewat sisi kanan, tapi Jehab menghalangi.
Ingin lewat sisi kiri, Leon pun sudah ada di sana.
Kelima cowok itu semakin maju membuat Sheryl yang tadi bernafas renggang, kini jadi pelik.
“Lo mau apa?” tanya Sheryl pada Alanzo di depannya, masih bermimik tenang meski dikepung di tengah cowok-cowok kekar itu.
Melihat wajah yang tenang itu, Alanzo tidak suka. Ia ingin Sheryl takut, ia ingin Sheryl menatapnya memuja. Ia sengaja mendekatkan wajahnya pada wajah Sheryl untuk membuat cewek itu merubah ekspresi, tapi nyatanya Sheryl malah menatap matanya berani. Kini, Alanzo bisa menyadari wajah Sheryl yang semakin dilihat memang cantik. Mata almond indah dengan bulu mata lentik, alis yang tebal, dan bibir ranum.
Sayangnya semua kecantikan itu di mata Alanzo telah tertutupi fakta bahwa ia adalah musuhnya.
“Gue udah bilang, lo gue tandain karena udah buat masalah sama kita. Lo berurusan sama kita yang berarti hidup lo gak akan tenang di sekolah ini,” desisnya tajam dengan nafas yang berderu di leher Sheryl kemudian cowok itu memundurkan wajah. Sialnya, Sheryl masih saja bersikap tenang dan tersenyum tipis.
“Gue denger kok, tapi gue gak pernah buat masalah sama kalian.”
“Wah, si Anjing ini sok gak tahu!” ucap Kenart tersulut emosi. “Lo itu udah buat masalah dengan nabrak Alanzo, dan rusakin ponsel penting kita! Lo tahu gak berapa harganya?! Gaji bapak lo aja gak cukup buat beli itu ponsel!”
“Bukannya minta maaf malah ngelunjak,” tambah Leon tertawa.
“Cupu banget ya kalian, menyalahan orang lain atas kesalahannya sendiri.” Sheryl tersenyum miris sambil mencebikkan bibir lalu berdecak-decak. Hal yang membuat kelima orang itu tergugah. Ini kali pertamanya ada seseorang yang berani mengklaim cupu gengnya.
Leon yang tidak tahan lagi langsung mencengkram cewek itu dan memojokkannya ke dinding. Melihat mata cewek itu yang berwajah datar berani melihatnya. “Karena kita gak pernah salah!”
“Sayangnya kalian bukan Tuhan.”
Leon terbawa emosi, bukan karena kata-kata itu, tapi karena harga dirinya tercoreng dengan tatapan cewek itu. Selama ini tidak ada cewek yang menatapnya tanpa dambaan seperti Sheryl. Leon ingin memukul cewek itu, tapi ia urungkan saat melihat mata cantik yang berkedip santai itu. Sial. Ia paling tidak tahan dengan cewek cantik.
“Udah, Yon! Dia cewek!” cegah Omero mencegah tangan Leon yang sudah melayang di udara. Sedang Omero sedari tadi hanya diam. Berbeda dari teman-temannya yang memandang Sheryl kurang ajar, ia memandang Sheryl tertarik.
“Argh!” frustasi Leon.
Alanzo langsung saja membawa Sheryl dalam genggamannya. Menatapnya elang. Di antara semua mata cowok lainnya, mata Alanzo adalah mata yang paling menusuk. “Lo gak usah macem-macem. Gue tahu semuanya tentang lo. Gue bisa lakuin apa pun yang gue mau ke lo, Sheryl Natarimbi.”
Mendengar hal itu, Sheryl hanya tertawa geli. “Berarti lo gak apa-apa soal gue.”
“Heh, cewek miskin, bukan cuma Alanzo, kita semua udah tahu data diri soal lo! Kita tahu bapak tukang jahit yang biasanya keliling sekolah jahitin sepatu-sepatunya anak-anak! Gitu aja berani! Kita bisa bikin bokap lo digusur di mana pun dia bekerja!” tawa Kenart seperti merendahkan pekerjaan orang lain, dan Sheryl tidak suka itu.
Ia tidak menanggapi Kenart, ia melihat Alanzo yang tertawa. “Lo denger kata Kenart, kan?”
“Denger. Kalo gitu lo juga harus denger kata-kata gue, Alanzo Daviero Gilbartan!”
Seketika tawa Alanzo bubar saat mendengar Sheryl menyebut nama aslinya. Nama tengah yang tidak diketahui siapa pun karena ia sudah lama menghapusnya. Bahkan mereka yang teman dekat saja tidak tahu, malah menatap Alanzo heran.
“Anak dari tuan Jovan dan nyonya Mahalika.” Alanzo melotot. Gimana bisa Sheryl tahu tentang nama asli orang tuanya, padahal orang asing hanya menyebutnya dengan marga Gilbartan. Bukan cuma Alanzo yang heran, tapi keempat cowok itu.
“Lo sama geng ala-ala lo itu gak akan pernah bisa buat tukang jahit yang lo maksud untuk digusur hanya dengan uang, lo sama kesombongan lo itu gak akan bisa semena-mena sama Sheryl Natarimbi yang lo maksud. Dan lo gak bisa nemuin data gue, karena teman lo itu terlalu bodoh untuk itu.” Ucapan itu terlalu santai untuk sebuah peringatan. Sheryl hanya tersenyum tipis menampaki wajah-wajah terdiam itu.
“Lo katain gue bodoh?!” ujar Kenart mendelik.
“Gimana lo tahu soal gue?” tanya Alanzo membuat Sheryl mengangkat satu alisnya.
“Kalo lo berusaha cari tahu soal gue, kenapa gue enggak?” Sheryl menyingkirkan tangan Alanzo yang sempat menempat di lengannya. “Gue gak suka disentuh-sentuh cowok gak kenal.”
Setelah itu Alanzo tidak mencegah Sheryl pergi lagi. Ia malah terkekeh di tempat. Baru kali ini ia menemukan orang seperti Sheryl. Rasanya cewek itu jadi menarik sekarang. "Gila."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
alsava
semakin suka😍👍
2025-02-10
0
Anonymous
ok
2025-01-17
0
Anastsiapamola
semangatt ya thorr🧡🧡🧡🧡
2023-07-11
3