Anjani melamun, entah kenapa perasaannya terus merasa tidak enak semenjak melihat Suci ada diruangan Marko.
Terlebih lagi Pia, staff disana tiba-tiba memintanya datang setiap hari dengan alasan yang menurutnya tidak masuk akal, dan seperti sedang memberitahukan sesuatu yang tidak bisa dikatakan langsung.
Ia memandang dua lembar tiket yang kini berada ditangannya. Bayangan keromantisan yang semula ia bayangkan tidak lagi tergambar dalam angan, hati dan pikirannya berkecamuk hebat.
''Tidak mungkin, stop berpikiran negatif. Suci adalah sahabat ku yang baik, begitu juga Marko, dia suami ku yang bertanggung jawab,'' gumam Anjani penuh dengan keyakinan dan kepercayaan dengan dua manusia yang bahkan tidak memiliki perasaan itu.
Matanya melirik kearah jam dinding yang menunjuk pada waktu jam makan siang, ia sungguh lupa kalau dia harus mengantarkan makan siang untuk suaminya, walaupun kadang Marko melarangnya den alasan tidak mau membuat Anjani lelah.
Tapi Anjani tetap kekeuh untuk melakukannya, dan hari ini lagi-lagi Anjani datang ke kantor tidak memberi tahu dulu pada Marko kalau dia akan datang.
Tapi ketika ia turun dari taksi, matanya melihat Marko yang keluar dari pintu kantor dan masuk kemobil. Anjani akan memanggilnya tapi ternyata ia melihat Suci yang menyusul dari belakang dan kemudian ikut masuk kedalam mobil Marko yang juga miliknya itu.
Baru beberapa jam yang lalu dia mencoba berpikir positif, tapi ketika melihat ini, kenapa pikiran negatifnya kembali datang.
Anjani menatap kepergian mobil yang ada Marko dan Suci disana. Ia melangkah kearah pintu lobby kantor, lalu bertanya pada seorang penjaga pintu disana.
''Pak Marko akan pergi kemana?''
''Katanya ingin menemui klien, Bu. Tadi beliau menitip pesan untuk mengatakan pada Ibu kalau misalkan Ibu datang,'' jawab penjaga pintu lobby itu.
Anjani menganggukkan kepalanya, lalu masuk kedalam gedung itu. Berjalan tanpa memperhatikan sekeliling, ia pun tidak sengaja menyenggol seseorang yang juga berjalan tanpa melihat jalan karena matanya tengah fokus pada layar gawainya.
''Eh, maaf!'' seru keduanya secara bersamaan.
''Pia 'kan?'' tanya Anjani pada gadis yang bernama Pia itu.
''Maaf Bu, saya enggak lihat jalan,'' ucap sesal Pia.
''Tidak apa-apa, saya juga salah karena lengah. Kamu enggak apa-apa 'kan?''
''Tidak apa-apa, Bu. Ibu mau keruangan pak Marko ya?'' Lalu Anjani pun mengangguk.
''Tapi Pak Marko baru saja keluar Bu, bersama—'' Pia menjeda ucapannya, ia meras tahu untuk mengatakan itu.
''Suci?'' sambar Anjani.
''Iy–iya, Ibu tau ya?''
''Iya, tadi saya lihat. Apa salasatu dari mereka ada yang mengatakan akan pergi kemana?''
''Euumm…'' Pia melirik ke kiri dan ke kanan, ia nampak ragu untuk menjawabnya. Ia takut akan ada telinga yang sengaja terpasang untuk mendengarkan ucapannya.
''Kamu ikut saya!'' Anjani berlalu dan menuju sebuah ruangan yang sangat jarang sekali dijamah oleh para karyawan, ruangan itu bekas ruangan HRD yang sekarang sudah dipindah kelantai atas.
Pia mengikuti kemana langkah Anjani pergi, dengan diam-diam. Ia tidak mau ada yang melihatnya dan akan mengadukan kepada atasannya, yang tak lain adalah Suci sendiri dan akan mengakibatkan hilangnya pekerjaannya.
Saat masuk kedalam ruangan, ia melihat Anjani yang sudah duduk disofa panjang, dan memintanya untuk duduk disampingnya.
''Kemarilah Pia, tidak perlu sungkan,'' ucap Anjani menepuk sofa.
Pia duduk disamping Anjani, ia masih menundukkan kepalanya karena takut. Dengan lembut Anjani pun memulai pembicaraan.
''Bisa minta jelaskan, kenapa kamu meminta saya datang setiap hari?"
Sejenak Pia terdiam tapi beberapa detik setelahnya iapun menjawab, "Kan saya sudah mengata—"
"Jangan menyembunyikan apapun dari saya!" potong Anjani dengan tiba-tiba sehingga membuat Pia menelan ludahnya dengan susah payah.
Anjani melihat keringat yang mulai muncul dari pori-pori kening, hidung dan atas bibir dari Pia. Yang menandakan kalau saat ini Pia tengah merasa gugup.
Anjani menggenggam tangan Pia, lalu memberikan senyuman hangatnya.
''Jangan takut, ada saya.''
''Se–sebenarnya kami, emm maksud saya para karyawan tengah mencurigai Ibu Suci yang terlihat dekat dengan Pa–pak Marko.'' Pia menjelaskan dengan bibir yang gemetar.
Anjani menghela nafasnya dengan kasar, ternyata selama ini mereka merasa ada hal yang aneh pada Marko dan Suci. Dan bodohnya dia, dia baru menyadari itu.
Tapi Anjani belum sepenuhnya percaya karena memang dia belum melihat sendiri dengan matanya, kalau Marko dan Suci mempunyai hubungan khusus seperti apa yang mereka curigakan.
Tapi tidak dapat dipungkiri, hatinya merasa sakit, ia bahkan terlihat melamun dan tersadar setelah Pia memanggilnya.
''Semoga apa yang kalian curigai tidak terbukti. Saya percaya pada mereka berdua.'' Anjani kembali terdiam lagi. Bibir mengatakan lain, namun hati berkata sebaliknya. Sungguh ironis perasaannya saat ini.
''Tapi apa saya boleh minta tolong?'' ucapnya kemudian, membuat Pia sedikit melebarkan matanya.
''Bantuan apa Bu. Saya akan membantu sebisa saya!''
''Cari tahu dan awasi pergerakan mereka, bisa?''
Diamnya Pia membuat Anjani menyadari sesuatu, ''Oh masalah bayaran, saya bisa membayar mu berapapun yang kamu mau!''
''Tidak! saya berada disini karena keinginan saya sendiri Bu! Saya mengerti perasaan ibu karena kita sesama wanita. Saya akan membantu ibu!'' Anjani terenyuh, ternyata masih ada orang yang tulus seperti Pia. Sahabatnya sendiri saja mengkhianatinya dalam dugaan, dan berharap kalau itu hanya sebuah dugaan.
Mereka pun berpisah di sana, keluar dari ruangan secara bergantian. agar menghindari dari rasa curiga.
Di ruangan Marko, tepatnya di kursi kerja Marko. Anjani duduk dengan menyilangkan kaki, tangannya berpangku dengan dahinya. Kepalanya berdenyut kencang karena terus memikirkan apa yang Pia katakan padanya tadi.
Sudah tidak terhitung lagi dia menghela nafasnya dengan kasar, ingin sekali menghilangkan rasa curiganya tapi seakan sebuah kenyataan ingin mendobrak pertahanan hatinya.
Matanya melirik ke arah gawai, lalu tiba-tiba memiliki ide untuk menghubungi Marko.
''Aku tidak bisa kekantor''
Anjani menekan icon 'Send' dan terkirimlah pesan singkat itu.
Cukup lama ia menunggu balasan, dan akhirnya suara notifikasi pun berbunyi. Dengan cepat Anjani membuka isi pesan itu.
'Tidak apa-apa, aku sudah makan tadi. Kamu istirahat saja.' Balas Marko.
''Makan dimana?'' tanya Anjani dengan membalas pesan Marko.
'Dikantin kantor, maaf aku sedang meeting. Nanti aku hubungi!'
Mata Anjani memicing merasa aneh dengan balasan Marko yang mengatakan sedang meeting. Selama itu kah, meeting?
''Meeting dikantor?''
Anjani terus membalas pesan Marko tanpa menghiraukan apa yang Marko bilang kalau dia sedang meeting dan akan menghubunginya lagi, yang bertanda kalau dia sedang sibuk dan jangan mengganggunya.
'Iya, dimana lagi?!'
Anjani membaca pesan itu dengan mulut yang terbuka. Tapi seperkian detik kemudian pesan itu ditarik kembali dalam artian dihapus oleh Marko. Pesan pun masuk lagi yang berisikan. 'Di kantor Tuan George.'
Anjani benar-benar tidak percaya kalau Marko meralat pesan singkatnya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Osie
ini laki mah g tau diuntungkan.. udah diangkat derajatnya sm anjani eh malah nusuk anjani dr belakang..ayo anjani jgn lemah..gercep buang tuh laki sejauh mungkin
2023-07-02
1