Jawaban apa yang harus aku berikan, di satu sisi aku sudah yakin dengan keputusan ku dan di sisi lain aku juga butuh identitas untuk anakku, pikir Allin.
Dari ujung sana terdengar tante Mia sedang menghela napas panjang, hingga hembusan napas kasarnya terdengar dari ponselku. "Sebaiknya kau menerimanya Allin, bukan maksud Tante memaksakan kehendak kepadamu. Tetapi pikirkan anakmu butuh seseorang untuk dia jadikan ayah, dia butuh identitas diri, setidaknya kamu dapat membuatkan identitas untuk anakmu walau itu hanya status anak sambung bagi suamimu kelak.
"Dari pembicaraan Tante dan keluarga Fahrizi, Bu Sella lah yang menyarankan dirimu untuk dijadikan istri lain suaminya, kau tidak merusak hubungan pernikahan mereka, tetapi kau membantu mereka.
"Ingat Allin, kita sudah banyak berhutang budi kepada Bu Sella, terima atau tidaknya, majikan mu itu pasti menikah juga dengan wanita lain, mereka membutuhkan keturunan, dengan dirimu mereka sudah yakin kau wanita yang subur yang memiliki seorang anak.
"Kau di beri kesempatan untuk itu, dan itu juga dapat menolong hidup anakmu baik dari segi biaya dan status. Kapan lagi ada kesempatan ini, yang menerima mu apa adanya dan menerima anak harammu" ujar tante Mia panjang lebar meyakinkan Allin.
Kata kata terakhir Tante menghancurkan ketegaranku. Baru kali ini dia mengatakan Tegar anak haram, itu menyakitkan bagiku, melukai harga diriku, dengan rasa kecewa atas ucapannya aku putuskan sambungan itu.
Aku benar-benar tidak terima dengan perkataan tante Mia, apa salah anakku dan apa juga salahku jika nasib menakdirkan kami hidup tanpa mempunyai keluarga yang utuh, tanpa suami dan tanpa seorang ayah.
"Itu bukan mauku tante" pekikku dalam hati sambil memukul dadaku yang sudah sesak seolah ada sesuatu meremasnya dengan kuat. Membuat air mataku mengalir, dan dengan tersedu-sedu kumenahan suaraku agar tidak pecah dan terdengar oleh Tuan Vano.
Dengan tergesa-gesa aku masuk begitu saja ke kamar mandi, dengan maksud untuk menghapus jejak-jejak tangisan di wajahku. Setidaknya air akan mampu membasuhnya, aku tidak ingin Tuan Vano mendapatiku dengan keadaan kacau.
Tetapi apa mau dikata, maksud untuk menghindar malah aku menyodorkan diri padanya.
Dia berdiri disana dengan balutan handuk, kedua tangannya di pinggang, matanya menantang, seringai mengintimidasi untuk meremehkan tindakanku barusan, masuk begitu saja ke kamar mandi.
"Maaf Tuan, saya tidak tau, jika Anda berada di dalam" jawabku menunduk dengan rasa bersalah dan malu.
Apalagi ini batinku. Belum selesai masalah satunya kini sudah bertambah lagi. Pasti majikanku sekarang sedang berpikir bahwa aku sedang menggodanya atau lainnya.
"Kau kenapa?" tanya tuan Vano terdengar khawatir. Aku terkesiap dengan apa yang ku dengar, aku pikir dia akan marah tetapi tidak.
Aku beranikan diri untuk mengangkat kepalaku menatapnya. Benar, aku tidak salah dengar, dia benar khawatir padaku.
"Ada apa Allin? Apakah kau barusan habis menangis? Siapa yang barusan menghubungimu?" tanya tuan Vano beruntun serambi mengangkat Dio yang juga sudah terbalut handuk dan mereka mendekat ke arahku.
"Tidak, tidak kenapa - kenapa Tuan" jawabku terbata-bata.
"Matamu memerah dan sembab Allin. Kau pasti habis menangis lagi," ujar tuan Vano menatapku begitu lekat.
"Lagi?" tanyaku bingung.
"I-iya, kau memang sering menangis seperti ini 'kan. Sebaiknya, jika kau ada masalah, kau bisa berbagi pada seseorang biar himpitan dadamu terasa lebih ringan. Kau bisa bicara dengan Bi Inah atau?" Tuan Vano diam tak melanjutkan kalimatnya.
"Atau apa Tuan?" tanyaku penasaran.
"Ya, terserah dirimu, yang penting kau nyaman. Dan pastikan orang itu dapat di percaya. Kadang orang tidak tertarik dengan masalah kita, dia lebih tertarik dengan rasa kepo mereka, ujung-ujungnya dijadikan bahan gosip untuknya." saran tuan Vano sekaligus mengingatkanku.
Sebenarnya aku sedikit bingung dengan perkataannya, demi menghargainya aku pun mengangguk. "Ya Tuan, nanti aku coba"
"Mengapa nanti, 'kan sekarang kau sedang ada masalah" ucapnya begitu antusias.
Aku memicingkan mataku, membaca pikirannya tak lama kemudian aku mengerucutkan bibirku, menyadari sesuatu.
"Bilang saja, kau yang ingin taukan Tuan" tuduhku.
"Bukan begitu juga" tuan Vano sedikit mengelak.
"Tetapi kau memang butuh seseorang untuk mendengarkanmu bukan?" alasan tuan Vano mencoba menghindar dari tuduhanku.
"Kau yang menyarankan begitu, bukan aku yang menginginkan. Ternyata, Anda sendiri yang kepo ya Tuan" Cibirku melihat sikapnya.
"Tidak, aku tidak peduli, terserah kau lah" ucapnya mulai kesal dan melaluiku begitu saja ke luar kamar mandi sambil menggendong Dio.
Tanpa kusadari aku malah tersenyum melihat tingkahnya. Kenapa dengan diriku, sepertinya tidak ada yang lucu, tetapi bicara dengannya sebentar saja sudah mengalihkan rasa sedih dan kecewaku, menguap begitu saja. Dia hebat, batinku mengakuinya.
"Allin, dimana baju ku?" teriaknya, seketika aku lansung menghampirinya. Dio sedang dipakaikan popok siap pakai olehnnya.
Ternyata dia cepat juga belajar, tetapi bagaimana tidak, kejadian beberapa hari yang lalu membuat Tuan Vano dan Bu Sella pasti mengalami sedikit trauma, melihat Dio yang asyik bermain dengan kotorannya.
"Maaf Tuan, aku lupa" jawabku malu.
"Cepat ambil bajuku, atau kau sengaja ya, ingin melihat tubuh sexy ku ini" ucapnya serambi membusungkan tubuhnya.
Dia dari tadi mengolokku terus, baiklah aku akan ikuti perkataannya. Aku mendekatinya, sambil menggigit bibir bawahku seperti akting artis wanita salah satu drama korea yang aku tonton. Matanya mulai membola melihat reaksiku, tubuhku sudah semakin mendekatinya.
"Kau mau apa?" tanya tuan Vano mendelikkan matanya menatap tingkahku.
"Menarik handuk Anda" jawabku asal. Dia
dengan cepat-cepat menggenggam erat handuknya dan berlari menghindar. Aku tak tahan menahan tawaku, perutku berasa begetar dan air mata keluar di ujung mataku.
Hahaha, Anda lucu Tuan, batinku.
"Kau memalukan Tuan" lanjutku tanpa merasa berdosa dan pergi berlalu meninggalkannya.
***
"Dasar wanita bar-bar. Kau yang memalukan menggoda seorang pria dewasa" jerit Vano melihat kepergian Allin.
Vano pun bermonolog.
"Astaga mengapa aku bisa bertindak konyol seperti itu.
"Aku yang memancingnya, aku juga yang ketakutan. Aku berlari seperti induk kucing yang dikejar anak tikus, seharusnya dia yang lebih takut kepadaku, bukan sebaliknya aku bertindak konyol seperti itu.
"Dasar kau memalukan Vano, tubuhmu saja yang besar tetapi dengan gadis kecil liar itu kau tak berkutik.
"Lihatlah dia tertawa geli sampai air matanya ikut lepas.
Tetapi sungguh aku suka melihatnya begitu, tertawa dengan lepas tanpa mempedulikan sekelilingnya."
Kadang kita perlu egois untuk menikmati hidup ini. Bersikap apa adanya tetapi juga menjaga batas batas yang ada.
Memperlihatkan sikap kita selalu baik itu juga berat, tetap saja orang-orang akan menanggapi dengan berbeda-beda, sesuai informasi yang pertama kali mereka dapati.
Jika informasi pertama yang mereka dapati sudah tampak jelek, orang itu akan selalu menganggap kita jelek, meski informasi itu bernilai positif pun pasti mereka akan menambahkan kata "paling begini dan bla bla", untuk mengubah pandangan mereka sepertinya akan sulit.
Terdengar pintu terbuka, mengembalikan kesadaran dari pikiran Vano yang melantur kemana-mana.
Sella berdiri disitu, menatap Vano begitu datar. Wajahnya tidak menampakkan rasa bersalah atas tindakan semalam. Menyodorkan suaminya untuk orang lain.
Dia melangkah mendekat, di tangannya ada pakaian yang ia bawa.
"Semalam kau kemana?" Bahasa dan nadanya terasa asing di pendengaran Vano.
"Pantai" jawab Vano singkat.
"Oo" balas Sella lebih singkat. "Keputusanku tetap sama Vano, menikah atau..?" lanjutnya.
Kalimat akhirnya sengaja Sella tahan karena dia tau Vano mengerti arah mana pembicaraan mereka.
"Maaf aku begitu memaksamu, tetapi aku sendiri tidak tau harus bagaimana lagi. Keputusan ini sudah kuambil, Ayah dan Bunda juga sudah menyetujuinya. Kuharap kau mau membatuku, dengan menepati janjiku pada Ayah dan Bunda untuk memberikan keturunan dari garis darah mereka."
Dengan sosok ayahnya, Vano sedikit tidak peduli dengan perasaannya. Tetapi Bunda! Dia adalah wanita yang paling Vano cintai setelah dari Ibu kandungnya. Dia tidak hanya Ibu sambung tetapi dia juga adik dari Ibu kandung Vano. Dia juga yang menyadarkan ayahnya atas kesalahan-kesalahan masa lalu sang ayah, tetapi sayang Ibunya sudah pergi lebih dulu sebelum melihat Ayahnya sadar dengan kesalahannya.
"Baiklah" jawab Vano. "Tetapi tunggulah beberapa bulan lagi. Aku tidak bisa menikah begitu saja tanpa mengenal pasanganku. Aku ingin dia menerima keadaan kita"
"Tidak perlu. Ayah dan Bunda sudah melamar seseorang untukmu"
"Apa?" tanya Vano tak percaya.
"Keluarga mempelai sudah setuju, dan kemungkinan calonmu juga akan setuju" jawab Sella sembari meletakkan baju Vano di atas ranjang.
Sedangkan Vano terdiam terpaku.
Dia kecewa dengan dirinya sendiri, dia seorang lelaki tetapi tak mampu menentukan jalan hidupnya dengan tegas, selalu saja begini, mengorbankan dirinya untuk menjaga hati orang terdekat agar tidak kecewa.
"Aku berangkat sekarang, Asistenku sedang menunggu" lanjut Sella dan pergi meninggalkan kamar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Rin's
dan lagi knp Vano sekamar dg Allin dan jg Dio di hotel,,,
2020-12-10
0
Ichie Al Az
tulisannya susah di mengerti 🙏 setiap ada percakapan mohon lah kasih tulisan itu percakapan dati siapa ke siapa. hanya kritik dan satan jika salah mohon maaf
2020-10-13
4
eno23
Vano kok kurang tegas ya jadi pemimpin keluarga.. menikah pertama kali dijodohkan skrg disuruh menikah lagi juga nurut aja.. Pantesan Sella ngelunjak... paling kasihan adalah Allin 😥
2020-09-24
2