Sella
"Apa maksudnya semua ini Sella?" serambi meletakkan selembar kertas. Tertulis jelas nama sebuah rumah sakit yang sering aku kunjungi untuk mengecek kesehatan tubuhku dan Vano. Keterangan di dalam lembaran kertas ini membuat aku terpaku.
"Awalnya aku tidak percaya kau melakukan ini, sehingga aku harus membuktikan sendiri" rautnya begitu kecewa menatapku. Garis-garis wajahnya yang mulai menua nampak begitu jelas mengkerut di atas dahinya.
"Maaf Bunda" perasaan bersalah dan juga menyesal menyelimuti ketenangan jiwa ku. Pandangan nya yang biasa penuh kehangatan kini berganti penuh dengan rasa kecewa.
Tanganku meremas ujung bajuku menghantarkan rasa penyesalan dalam diriku. Aku telah mengkhianati kepercayaan seorang yang sudah ku anggap seperti Ibu kandungku. Aku juga telah mengecewakan seorang calon nenek yang menantikan kehadiran cucunya tetapi kebodohanku sudah menghalangi calon-calon cucunya hadir dalam rahimku.
Aku terlalu naif dengan pemikiran ku yang merasa belum pantas , aku menggunakan alat kontrasepsi mencegah kehamilan semenjak awal pernikahanku, aku ingin menata hatiku hingga hati ini yakin dan berlabuh kokoh pada tempatnya.
"Jelaskan Sella" cecarnya dengan suara begitu kecewa.
"Karena aku tidak ingin menyakiti anakku kelak" mungkin ini adalah alasan yang paling klise terdengar bagi orang lain. Tetapi tidak bagiku, hidup dengan salah satu orang tua membuat aku trauma.
"Maksudmu?"
"Saat itu aku belum mencintai Vano, aku tidak mau bayi itu hadir tanpa rasa cinta dari kedua orang tuanya. Dan aku takut suatu saat nanti pernikahan ini, tak mampu aku pertahankankan, aku tidak ingin anakku kelak menjadi korban ketidak harmonisan keluarganya."
"Apa Vano selama tiga tahun ini tidak mampu membuat mu bahagia?" tanyanya begitu khawatir, saat-saat dia kecewa dengan diriku masih terselip rasa khawatirnya untukku.
Bagaimana aku begitu tidak peka terhadap perasaan nya selama ini yang selalu menantikan calon cucunya. Seharusnya saat pertanyaan tentang, apakah aku sudah hamil?, apakah ada tanda-tanda kehamilan?, atau saat dia mengirimkan vitamin-vitamin kesehatan untuk kesuburan. Seharusnya aku sadar dan melepaskan alat kontrasepsi yang sudah tertanam dalam tubuhku ini.
Aku menggeleng dengan cepat, mataku sudah berkaca penuh rasa bersalah. Vano lelaki yang baik bagiku, dia menerima ku apa adanya, dia begitu tulus menyayangiku. Kadang aku merasa tidak pantas untuk mendapatkan semua itu. Karena aku tak mampu membalas perhatiannya.
"Bukan begitu, Vano selama ini membuat aku bahagia, dia memberikan begitu banyak kasih sayang dan cintanya untukku. Tetapi hati ini belum bergetar menerimanya, Bun"
"Maksudmu apa?"
"Ya-ya, aku belum mencintainya, ta-tapi itu dulu." jawabku setengah yakin. Rasa nyaman dan tenang berada disekitarnya mungkin adalah salah satu bentuk cinta yang ku pahami kepada diriku sendiri. Entah persepsi ini salah atau benar, aku hanya meyakinkan diriku kalo aku sudah cinta dengan Vano.
"Aku takut hati ini masih lemah dan muda tergoda pria lain, jadi aku tak ingin kelak anakku hadir ke dunia ini bukan akibat cinta orang tuanya tapi karena sekedar kewajiban saja"
"Maafkan aku Bunda, aku sudah melepasnya. Dokter mengatakan aku sehat dan subur, aku segera hamil dalam waktu dekat ini karena alat kontrasepsi itu sudah ku lepas satu bulan yang lalu".
"Baiklah, aku memaafkan mu dengan satu syarat"
"Apa itu Bunda"
"Jika dalam beberapa tahun ini kau tak kunjung juga hamil, kau harus membiarkan suami mu menikah lagi"
"Ta-tapi Bunda"
"Kau sudah mengecewakan kami, Sella. Meski kontrasepsi itu tidak memberi efek buruk tetapi kita tidak tau jika itu akan mempengaruhi kandungan mu kelak. Dan berdoa saja rahim mu dalam keadaan baik-baik saja dan tidak terganggu akibat kontrasepsi yang kau pakai selama ini"
"Aku sudah konsultasi Bunda, dan Dokter juga sudah memeriksa rahimku dalam keadaan sehat dan subur."
"Buktikan saja! Dan penuhi syarat ku itu"
"Baik Bunda, jika kelak aku tak mampu memberikan keluarga ini keturunan, aku sendiri yang akan mencarikan pendamping lain untuk Vano."
"Jangan memberitahukan Vano tentang ini, dia mungkin akan lebih kecewa dari pada diriku." ucap Ibu mertuaku memperingati.
"Ba-baik Bunda, dan terima kasih atas pengertian Bunda"
"Aku benar-benar kecewa dan marah kepadamu Sella, tetapi aku memakluminya karena alasan mu. Aku juga mengerti karena kisah Ayah dan Ibumu yang membuatmu trauma."
"Tetapi cukup kali ini kau membuat kesalahan sebesar ini, kau sudah menipu dan mengkhianati kami, Sella."
***
Hampir sudah tiga tahun perjanjianku dengan Bunda, dia tak menuntut selama tiga tahun ini. Apalagi sejak Dio hadir dalam kehidupan kami, tetapi kondisi Ayah mertua ku mengingatkan mereka bahwa mereka perlu keturunan lansung dari garis darahnya.
Panggilan terakhir ku kemaren membuat aku menyadari bahwa mereka memang tidak menuntut, tetapi mereka ingin pengertianku dan ke iklasanku untuk mengizinkan Vano untuk menikah lagi. Aku yang sudah berjanji padanya untuk memenuhi syaratnya dan mencarikan sendiri calon untuk Vano.
Hampir enam tahun pernikahan kami, dan tiga tahun aku menggunakan alat kontrasepsi, sekarang hampir tiga tahun pula aku menunggu kehadiran sosok bayi dalam rahimku, tetapi belum juga hadir. Dengan sedikit kecurigaanku mengenai kondisi fisikku, aku melakukan test sendiri tanpa Vano yang biasanya selalu menemani dan mendukung ku.
Ya benar, ada masalah dalam rahimku, bukan karena penyebab alat kontrasepsi, tetapi karena gaya hidup ku yang tidak sehat membuat sulit bagi diriku untuk mendapatkan seorang anak meski melalui media bayi tabung.
Padahal tahun lalu aku dinyatakan sehat dan subur, tetapi mengapa sekarang saat aku begitu menginginkan aku harus menerima kenyataan pahit ini. Ya mungkin ini adalah karma ku, rasa sakit dan kecewa mungkin inilah yang dirasakan Ibu mertuaku dulu.
***
Kini kami berada di dalam kamar Hotel setelah seharian menghabiskan waktu liburan terakhir kami di pantai.
Vano tetap mendiamkan diriku, dia duduk sendiri di depan televisi yang menyala dengan suara yang minim di pendengaran.
Allin sedang memberikan ASI nya yang sudah di pompa lalu ia masukan ke botol susu pada Dio. Aku sudah melarangnya untuk melakukan itu, dia masih muda, aku tidak ingin bentuk tubuhnya rusak karena memberi Asi pada Dio. Tetapi gadis itu ingin menjaga kehormatan dari pandangan mata lelaki di luar, ia melakukan itu hanya saat dia ingin pergi ke luar.
Apalagi tujuan liburan terakhir kami adalah ke pantai, itu adalah tempat ramai yang akan sulit untuk menemukan ruang menyusui. Allin sudah mempersiapkan beberapa ASI dalam beberapa botol yang disimpan di wadah khusus.
Allin dimata ku adalah gadis yang polos, yang bertindak suka semaunya dan sedikit ceroboh, dia gadis yang baru lepas masa remaja wajar semua sikapnya masih terasa labil. Tetapi aku suka dia, saat dia menjaga pandangannya terhadap lawan jenis kadang dia bersikap sopan dan kadang dia juga bersikap kasar kepada setiap lelaki yang mengusiknya termasuk pada Vano. Aku tidak menganggap dia kurang ajar tetapi sebuah tameng pertahanan sebagai seorang wanita.
Lembaran-lembaran photo keluar dari mesin cetak, gambar hasil liburan tadi siang kami di pantai. Mereka bertiga terlihat begitu lengkap dan sempurna. Ada seorang ayah disitu, ada juga seorang ibu dan anak yang tersenyum ceria. Ekspresi mereka begitu lepas seperti keluarga sesungguhnya menujukan semua rasa bahagia, gemas, lucu, dan juga kesal.
Vano tidak pernah menunjukan semua ekspresi itu kepadaku, dengan diriku dia terlihat lebih hati-hati, bersamaku dia seperti terikat dan tak bebas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Mbok Wami
kalau masalah perasaan paling susah,
2021-01-07
0
Rin's
entahlahhh,,krn kl bicara ttg hati adalah susah,,krn hati di ats segalanya, tp dlm hidup, msh ada tanggungjwb moral yg hrs dilakukaann
2020-12-10
0
milnau
keren 😍😍ceritanya bagus. Semangat thor nulisnya. Btw aku pendatang baru nih. Aku butuh masukan, kritik dan sarannya. untuk novelku "Gigi". Ditunggu ya kedatangannya. Makasih
2020-08-02
1