*
POV
Vano
Dio tampak gelisah, dari tadi anak ini terus merengek. Tidak biasanya Dio meronta-ronta dalam gendonganku.
Sella mencoba mengalihkan perhatian Dio.
"Sayang mau apa?" rayunya. "Sini sama Mami!" sambil memainkan kerincingan, Dio tetap menolak.
Selanjutnya Sella mencoba mengambil Dio dari gendonganku, anak itu tetap menolak.
Segala cara telah Sella lakukan agar Dio diam. Dia mengajak Dio mengobrol, bermain cilukba, tetapi tidak ada pengaruhnya dia semakin menjadi tangisannya.
Allin sedang sibuk membuat susu untuk Dio, setelah susu itu sudah siap, aku membaringkan Dio di atas pangkuan Allin.
Wanita itu sedikit terkejut karena aku yang tiba-tiba meletakkan Dio di atas pangkuannya.
"Terima kasih, Tuan" ucapnya, aku hanya mengangguk lalu mengambil posisi duduk di samping Sella.
Sella tersenyum melihat diriku, salah satu tangannya merangkul tanganku dan kepalanya ia senderkan di bahu.
"Sayang maaf ya, rencana kita ngak sesuai harapan, aku harus membaginya dengan pekerjaanku, kamu nggak marah kan?"
"Iya, tidak masalah" jawabku sambil mengecup kepalanya.
Sella yang cantik, pintar, modis dan sedikit diam. Sikap dan tindakannya selalu sempurna, dia bukan wanita yang suka gegabah dalam mengambil keputusan.
Aku yakin yang terjadi kali ini di luar kendalinya, dia selalu disiplin dalam mengatur waktu dan pekerjaannya.
"Berapa lama?" tanyaku
"Cuma satu hari, yang aku herankan dari pihak manajer artisnya berkukuh ingin aku yang langsung terjun menangani proyek ini"
"Karena kau yang terbaik! Jadi mereka pasti ingin kau-lah yang menangani proyek ini" pujiku dengan tulus.
Sella tersipu malu seraya tersenyum dan makin mengeratkan pelukan di lengan tanganku.
"Terima kasih sayang" balasnya.
Tangis Dio makin menggema, mengalihkan perhatianku, Babysitter Dio masih sibuk merayu anak itu untuk meminum susu-nya, tetap saja tidak membuahkan hasil.
"Lin, Dio masih tidak mau menyusu?" tanya Sella.
"Ya Bu, sepertinya Den Dio ingin menyusu dariku, daritadi tangannya menarik-narik baju atasku Bu." jawab Allin sedikit gusar.
"Lalu, kenapa tidak kamu menyusuinya Lin" perintah Sella.
"Maaf Bu saya malu, disini terlalu ramai" jawabnya sambil melirikku.
"Baiklah, mari kita cari Ruang Menyusui disini"
Sella dan Allin beranjak pergi meninggalkan ku mencari Ruang Menyusui, tak lama kemudian mereka kembali.
"Kenapa sayang?" tanyaku
"Ternyata disini tidak menyediakan Ruang Menyusui" jawab Sella dengan rasa kecewa.
"Sayang, tolong kamu cari tempat yang tertutup yang nyaman buat Allin menyusui, masih ada waktu tiga puluh menit lagi dari keberangkatan kita. Ini hal yang baru bagi Dio berada didalam keramaian. Sebaiknya Dio kita tidurkan, kita ngak tau bagaimana reaksi Dio saat pesawat sedang terbang."
"Baiklah" aku melangkah pergi mencari setiap sudut mencari ruang atau tempat yang bisa dijadikan Allin untuk menyusui. Dan Allin mengikuti dibelakang.
**
Akhirnya Dio dapat tenang, suaranya tidak terdengar lagi.
"Lin, apa Dio sudah tidur?" tanyaku
"Belum Tuan" jawab Allin seraya menatapku dari balik tirai berwarna biru yang membatasi jarak kami.
"Sebaiknya Anda kembali saja Tuan, takutnya Bu Sella menunggu Anda" lanjutnya
"Mau diriku begitu, tetapi Sella menyuruhku tetap disini menemanimu"
"Tetapi Tuan, saya..." belum sempat Allin melanjutkan kalimatnya, aku dengan cepat berucap.
"Jangan berpikir kemana-mana, Sella bilang kamu tidak bawa ponsel, dan jarak kita dari ruang tunggu lumayan jauh, suara panggilan operator tidak akan sampai disini"
Dia sedikit mencibirkan bibirnya menanggapi ucapanku.
Allin, wanita ini baru berusia dua puluh tahun, seharusnya seusianya sedang sibuk belajar dan kuliah.
Dia mempunyai seorang anak seumuran Dio, yang dia titipkan ke saudara ibunya. Statusnya belum kawin tetapi dia sudah memiliki seorang anak, orang tuanya sudah tiada, selebihnya Allin tidak mau menerangkan apapun lagi saat Sella ingin bertanya lebih.
Dia terlihat sangat ceria saat berbicara dengan pelayan lain di rumah, sangat manja saat berbicara dengan Bi Inah, sangat sopan jika berbicara dengan Sella, dan saat berbicara denganku ia kaku dan datar, hanya kadang-kadang dia berbicara sopan, selebihnya dia kasar jika aku mulai memancing emosinya.
Allin dan Dio. Mereka memang terlihat mirip saat tersenyum, garis wajah mereka serupa hanya bentuk bibir dan hidung yang berbeda. Tulang hidung Dio tinggi, kulitnya cerah dan bibirnya tipis berkebalikan dari Allin.
Kata Bi Inah, Allin sangat menyayangi Dio, Bi Inah sering mendapati Allin yang sedang menagis memandangi Dio. Bi Inah juga sempat mengorek informasi kehidupan Allin, tetapi gadis manis itu tak banyak berkata, hanya diam, kadang juga menangis begitu saja. Sejak itu Bi Inah tidak lagi memaksakan ke ingin tahuanya lebih dalam tentang kehidupan Allin. Dia berharap Allin sendirilah yang akan menceritakannya, dengan senang hati ia akan mendengarkan.
"Allin" tanyaku memecahkan kebisuan kami.
"Ya tuan"
"Boleh aku bertanya?"
"Tentu, tapi aku tidak bisa pastiin mau menjawab atau tidak"
Aku dan kamu, perbincangan ini biasanya terjadi jika kami sedang berdua. Saya, Tuan, Anda, lebih sering terdengar saat ada orang lain ada di antara kami. Tanpa disadari kami punya rahasia aku dan kamu.
"Ya, aku tau" dengan nada suaraku sedikit jengkel.
"Menurut kamu, apa yang harus kulakukan buat menyenangkan pasanganku?" pancingku untuk memulai mengorek kisah masa lalu Allin.
"Saya tidak tau, Tuan" jawabnya datar.
"Saya, Tuan" dari kata-katanya dia sudah mencoba membuat dinding pembatas agar aku tidak melampai batas, antara atasan dan bawahan. Dia begitu peka atau memang dia sudah terlatih untuk menghadapi situasi seperti ini, menghadang pertanyaanku sebelum aku lebih jauh menanyakan masa lalunya.
"Kamu cewek bukan? Kenapa kamu tidak tau? Memangnya kamu tidak pernah apa, membayangkan jalan-jalan ke suatu tempat bersama pasanganmu" tanyaku bertubi-tubi untuk memancing emosinya.
"Dulu iya, sekarang tidak" jawabnya dingin
Aku menghela napas dalam-dalam, sedikit memutar otakku, memikirkan bagaimana cara mengorek informasi darinya.
"Yaudah, kalo dulu kamu ingin kemana bersama pasangan kamu?" tanyaku mulai merasa kalah.
"Lupa" jawabnya datar.
Dia benar-benar sulit dihadapi.
"Kau kira kau lupa ingatan, sampai tidak ingat. Umurmu saja baru dua puluh tahun tetapi kau sudah pikun" bentakku kesal.
"Mungkin" jawabnya seolah tidak peduli dengan kemarahanku.
"Aku serius Allin, apa susahnya sih menjawab." tekanku lagi padanya
"Tuan tanya saja lansung kepada Bu Sella"
"Allin aku ingin jawabanmu" desakku lagi
"Aku bukan pasanganmu Tuan, jadi aku tidak tau"
"Kau ini...," geramku.
"Siapa yang bilang kau pasanganku, aku tadi bertanya apa?, kau malah menjawab kemana-mana. Tinggal jawab saja apa susahnya" gerutuku makin tidak terbendung
"Jangan-jangan sekarang kau menjadi penyuka sesama jenis ya?" serangku lagi sambil menahan senyumku.
Dia geser tirai pembatas dan dengan cepat ia memposisikan tubuhnya dihadapanku, sedangkan Dio sudah terlelap di pangkuannya.
"Aku merasa yakin kali ini seranganku jitu, dia bakal emosi dan bicara tiada henti." batinku saat melihat reaksinya.
"Emang kenapa? Jika saya penyuka sesama jenis. Saya malah berharap, saya dulu dilahirkan menjadi penyuka sesama jenis. Saya tidak akan berada disamping anda dan saya tidak akan menyusui anak orang lain, saya juga tidak akan melahirkan seorang anak, saya juga tidak akan secepat ini kehilangan Ibu saya, saya juga tidak akan depresi membuat Ibu saya jatuh sakit, saya tidak akan membawa pria brengsek masuk dalan kehidupan saya, saya tidak akan tergila- gila padanya, dan saya tidak akan mengalami pelecehan, dan saya tidak akan sesakit ini menahan beban hidup saya, dan saya tidak akan menangis diam-diam saat tidak ada siapaun di dekat saya" jawabnya sambil berurai air mata tanpa suara.
Wajahnya begitu sendu menatap bola mataku, dagunya terangkat menantang, tubuh mungil Dio didekapnya dengan gemetar.
Suasana ruangan mussollah menjadi mencekam, karena rintihan suara hati Allin yang memilukan. Hanya kami berdua disini, aku duduk di ujung pintu yang berada dekat tirai pembatas shaf.
Wajahku memucat memandangi sorot matanya yang berurai air mata, mata yang penuh kesedihan, mata yang penuh kekalahan, mata yang ingin di bebaskan dari kelamnya masa lalu.
"Apakah Anda puas" tanyanya
"Maaf" jawabku sambi merangkulnya dari samping, entah dorongan darimana, aku begitu lancangnya tetapi dia tidak menolak, ia makin menangis tersedu, dengan sedikit tubuh terguncang menahan gejolak tangisnya.
Kami berdua membisu dalam hening. Tubuhku merasa lemah dan kalah, pikiran ku sudah tidak mampu ber-reaksi untuk berpikir lebih jauh lagi.
Perasaan bersalah menghantui membuatku menjadi kosong.
Hingga dering ponselku memecahkan kesunyian di antara kami, menarik kami kembali dalam kesadaran untuk segera beranjak dari ruangan itu. Sella mengingatkan ku bahwa sebentar lagi penerbangan keberangkatan pesawat kami.
"Ayo!" ujarku sambil membimbing Allin untuk berdiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Awang Hidayati
jgn ada iklan
2021-07-01
0
Ita Rosita
poor Allin...😢
2020-10-25
2
Lela Nurhayati
sedih aku
2020-09-27
1