Kedatangan Imelda

“Memelukmu? Apa tidak salah? Kamu yang mendekat dan memelukku, bisa saja itu terjadi sejak semalam.” Randy beranjak dari ranjang lalu menuju toilet.

“Maksudnya aku memeluk Pak Randy sejak semalam, mana mungkin.” Amara mengelak dengan penuh keyakinan.

Setelah membersihkan diri, Randy bersiap untuk sholat subuh dan membiarkan Amara masih dengan kebingungannya.

“Masih yakin aku yang memelukmu?” tanya Randy sambil menggelar sajadahnya.

“Saat tidur terkadang kita tidak sadar dengan apa yang kita lakukan, walaupun aku memeluk Pak Randy sudah pasti dalam keadaan tidak sadar.

Siang harinya Randy dan Amara keluar dari penginapan untuk kembali ke Jakarta setelah memastikan kegiatan dan peserta semuanya aman dan kegiatan akan diakhiri sore hari.

Dalam perjalanan pulang, ponsel milik Randy berdering dan diabaikan oleh pemiliknya karena sedang fokus mengemudi.

“Pak Randy.”

“Biarkan saja dulu, nanti aku akan hubungi kembali,” sahut Randy seakan tahu apa yang akan Amara sampaikan.

Tidak lama ponsel itu kembali berdering.

“Pak Randy, apa tidak sebaiknya menepi dulu. Mungkin saja penting,” tutur Amara. “Panggilan dari Hana,” ujar Amara lagi.

“Hana.”

Randy pun akhirnya menepi dan menghentikan laju mobilnya. Membuka ponsel ada dua panggilan tak terjawab dari Hana.  Amara menatap kepergian Randy yang keluar dari mobil untuk melakukan panggilan.

“Apa Hana itu calon istri Pak Randy ya,” gumam Amara.

Entah apa yang dibicarakan, Amara tidak bisa mendengar dengan jelas hanya terdengar kalau Randy dan keluarganya akan segera datang.

“Datang ke mana? Ahh, apa pernikahan mereka sudah dekat?” Amara kembali bergumam bertanya-tanya tentang Randy dan calon istrinya.

Saat kembali ke mobil, pria itu bungkam seperti ada hal yang menjadi pikirannya. Sesekali Amara menoleh ke samping memastikan kalau Randy fokus mengemudi bukan melamun.

Sedangkan di Jakarta, Imelda sudah mendapatkan informasi mengenai keluarga Amara.

“Oh My God, kenapa aku berada dalam situasi seperti ini,” gumam Imelda melihat foto kebersamaan Amara dengan Ibunya.

“Gadis itu hanya tinggal bersama Ibunya, Ayahnya sudah tiada. Ibunya bernama Mirna dan memiliki sebuah butik.”

“Oke, sudah cukup. Berikan aku alamat butik dan tempat tinggal mereka.”

Mungkinkah Pram sudah tahu tentang hal ini, batin Imelda.

Tidak sabar ingin memastikan sesuatu, Imelda pun mendatangi kantor suaminya tapi Pram tidak ada di sana. Sekretaris Pram mengatakan kalau pria itu sedang menemui klien di luar.

“Apa kamu menyaksikan sesuatu yang aneh dari suamiku?” tanya Imelda pada sekretaris Pram.

“Maksudnya Bu, hal yang aneh seperti apa?”

“Apa dia pernah pergi ke butik atau memintamu ….”

“Ah, Salim Butik.”

Imelda mengernyitkan dahinya, “Iya Salim Butik, apa yang Pram lakukan dengan butik itu?”

“Sepertinya Pak Pram terlibat kepemilikan butik tersebut, karena beberapa kali beliau mentransfer sejumlah uang dengan berita modal usaha tapi itu sudah lama sekali Bu. Beberapa tahun yang lalu, sekarang-sekarang Pak Pram hanya meminta saya mengambil pesanan setelan miliknya saja.”

Imelda meninggalkan sekretaris Pram tanpa pamit karena bergegas menuju ke suatu tempat. Salim Butik, untuk menjawab semua dugaan dan prasangkanya. Tidak ada satu jam wanita itu sudah tiba di butik milik Mirna.

“Aku harus berbesan dengannya, aku pasti sudah gila kalau hanya diam dengan semua keadaan ini,” tutur Imelda sambil memandang butik milik mantan suaminya.

Salah satu karyawan butik menyapa saat Imelda datang.

“Mirna Salim pemilik butik ini?” tanya Imelda.

“Betul, Salim Butik milik Ibu Mirna.”

“Bisa aku bertemu dengannya?”

“Ibu Mirna ada di lantai dua, apa sudah ada janji?”

“Tidak perlu janji untuk mendatangi wanita seperti bosmu,” ungkap Imelda dan berlalu menuju lantai dua.

Karyawan Mirna mengikuti sambil meminta wanita itu untuk menunggu dan akan disampaikan pada Mirna kalau ingin bertemu.

“Maaf Bu, sepertinya ibu tidak ada janji. Silahkan tunggu ….”

“Minggir!” teriak Imelda karena karyawan Mirna menghalangi jalannya.

“Ada apa ini?”

Mirna yang menuruni anak tangga dan mendengar keributan antara karyawannya dengan seorang wanita pun mendekat.

“Ahh, kebetulan sekali. Kamu Mirna Salim bukan?”

Mirna bukan tidak mengetahui wanita di hadapannya, tapi tetap saja dia berbasa basi untuk menyapa.

“Pergilah, dia tamuku,” ujar Mirna. “Kita bicara di atas,” ajak Mirna.

Imelda sudah duduk di sofa dalam ruang kerja Mirna, menatap keliling ruangan tersebut. Ada foto-foto Mirna bersama Amara juga foto Mirna bersama artis, mungkin yang menggunakan jasa desainnya. Imelda tertawa sinis, karena di belakangnya Pram ternyata masih berhubungan dengan sang mantan.

“Kamu tahu siapa aku bukan?”

Mirna yang duduk tepat di hadapan Imelda menghela nafasnya kemudian menganggukkan kepala.

“Apa ini semua rencanamu?” tanya Imelda sambil bersedekap.

“Rencana apa?”

Imelda tertawa, Mirna semakin bingung menyikapi wanita di hadapannya. Dari gestur tubuh Imelda bisa dipastikan kalau wanita itu tidak suka dengan Mirna.

Apa yang dia inginkan? Sepertinya dia … marah, batin Mirna.

“Kamu masih berhubungan dengan suamiku?”

“Maksudnya berhubungan seperti apa?”

Brak.

Imelda menggebrak meja di depannya.

“Dasar wanita jal*ng, jangan berpura-pura polos. Kamu pikir aku tidak tahu Pram berkali-kali mentransfer uang untukmu.”

“Untuk hal itu aku bisa jelaskan. Pram memang transfer uang sebagai modal usaha dan setiap tahun aku selalu laporkan kondisi keuangan butik ini termasuk memberikan laba sesuai haknya. Walaupun aku tahu mungkin jumlahnya hanya receh bagi kalian. Selain urusan butik kami tidak ada hubungan apapun,” jelas Mirna.

Wanita itu menjelaskan dengan pelan dan hati-hati agar Imelda tidak terpancing dan tersulut emosinya.

“Kamu pikir aku akan percaya?”

“Aku bisa buktikan  ….”

“Tidak berhasil mendapatkan suamiku kamu kirim putrimu untuk menggoda putraku. Jangan-jangan situasi mereka harus menikah adalah drama yang kamu buat,” tuduh Imelda.

Mirna yang belum mengetahui kalau Randy adalah putra dari Pram dan Imelda tentu saja tidak mengerti apa yang dituduhkan untuknya.

“Maksudmu Randy adalah ….”

“Ya, Randy adalah putraku dan Pram,” pekik Imelda menyela ucapan Mirna.

Mirna terkejut mengetahui kenyataan keluarga menantunya.

“Aku tidak pernah melibatkan Amara sepertinya yang kamu tuduhkan. Mendapati kenyataan dia menikah terpaksa dan karena situasi membuatku sedih. Di mana-mana orangtua menginginkan pernikahan anaknya dengan penuh kebahagiaan bukan dalam keadaan terpaksa apalagi tidak saling mencintai.” Mirna bertutur sambil menitikkan air mata.

Entah pernikahan seperti apa yang akan dijalankan oleh Amara yang ternyata menjadi bagian dari keluarga Kalingga. Apalagi dengan Ibu mertua yang terlihat jelas tidak menyukai Mirna termasuk juga Amara.

“Kamu pikir putrimu bisa hidup dengan baik dan menikmati kemewahan? Kamu salah, aku akan berikan neraka untuknya!”

Terpopuler

Comments

Hearty 💕

Hearty 💕

Wah Ibu mertua nggak tahu kalau anaknya sdh mulai jatuh cinta sama Amara

2024-01-23

0

Hearty 💕

Hearty 💕

Kok agak pusing yaa alur ini... tadi lanjut baca dulu

2024-01-23

0

Defi

Defi

Lanjut up thor

2023-05-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!