“Bapak bukannya udah pergi? Kok masih ….”
“Ada yang tertinggal,” ujar Randy menyela pertanyaan Amara dan menunjuk meja dosen. Benar saja, ada sebuah buku di atas meja tersebut.
Melly langsung berpindah ke belakang tubuh Juan memberi jalan untuk Randy. Ketiganya memang sudah berada tidak jauh dari pintu saat mendapati Randy berdiri dan sepertinya mendengar apa yang mereka bicarakan. Masih belum beranjak dari posisinya bahkan saat Randy kembali melewati ketiga mahasiswa tersebut.
Sudah hampir bernafas lega dan menduga pria itu tidak mendengar jika tadi dibicarakan, tiba-tiba Randy berhenti melangkah dan berbalik.
“Saya masih normal dengan mengagumi makhluk berjenis kelamin wanita.” Pria itu bicara sambil menatap Amara sekilas. “Dan saya tidak suka mahasiswa yang terlalu banyak omong tapi kosong di sini,” ujar Randy sambil menunjuk kepalanya.
Setelah kepergian Randy, Amara menggerakan bibirnya seakan mengikuti gaya bicara Randy.
“Bodo amat,” pekik Amara.
“Parah lo, nggak kapok-kapok. Berarti dia tadi dengar kita gibahin, ahhh gimana dong,” rengek Melly.
“Nggak gimana-gimana, pasrah aja sih kalau lo udah tak bernilai di mata beliau,” ejek Juan.
“Udah ah, makin laper gue. Mikirin dosen tadi, kenyang kagak senewen iya.” Amara berjalan mendahului kedua sahabatnya.
“Amara, tungguin.”
“Makan nohhh, idola lo.”
...***...
Amara melepas helm dan jaketnya yang kemudian disampirkan di atas motornya. Menatap parkiran butik milik Mirna, Bunda Amara. Ada sebuah mobil mewah terparkir di sana dan membuat gadis itu mengernyitkan dahinya.
Salim Boutique, bukan butik mewah dengan perancang busana terkenal yang membuat pejabat atau para sultan akan menjejakkan kaki untuk berbelanja.
“Siapa ya? Hebat bener pelanggan Bunda, ini ‘kan mobil mewah.”
“Selamat siang, Mbak Amara,” sapa salah satu karyawan butik.
“Siang, Mbak. Bunda ada ‘kan?”
“Kayaknya ada deh, saya belum lihat beliau turun dan pergi.”
Amara pun melanjutkan langkahnya menuju lantai dua, di mana ruang kerja sang Bunda berada. Kebiasaan buruk Amara adalah memberi kejutan dan saat ini dia melakukan hal itu lagi. Membuka pintu tanpa mengetuk.
“Bunda, aku datang,” ujar Amara agak berteriak. Senyum di wajahnya pudar karena dia yang dikejutkan dengan pemandangan di mana Bundanya sedang memeluk seorang pria.
“Amara, ketuk pintu dulu. Kebiasaan banget sih,” keluh Mirna yang sudah mengurai pelukannya dengan pria tersebut.
Amara menatap pria paruh baya itu, dari penampilan dan gayanya jelas bukan orang sembarangan.
Sepertinya mobil yang di bawah milik Bapak ini.
“Dia putriku, maaf ya,” ujar Mirna pada pria tersebut yang hanya direspon menoleh sekilas pada Amara.
“Aku pamit,” ujar pria itu.
“Thanks ya Mas, hati-hati di jalan.”
Pria itu tidak menjawab bahkan tidak memberikan senyum pada Mirna dan melewati Amara yang bergeser memberi jalan.
“Dia siapa Bun?” tanya Amara tanpa bermaksud menuduh Mirna dan berpikir negatif, setelah pintu ruangan tertutup dan memastikan kalau orang itu sudah pergi. Amara tidak ingin kejadian di kampus tadi terulang lagi.
“Teman Bunda.” Mirna sudah duduk di kursi kebesarannya, memakai kacamata dan memandang layar laptop.
“Bun,” panggil Amara yang berdiri di depan meja kerja Mirna.
“Hm.”
“Aku tidak melarang Bunda dekat dengan pria manapun, termasuk menikah lagi,” tutur Amara sambil tangannya memainkan papan nama yang berada di atas meja. “Asal jangan menjadi orang ketiga di rumah tangga orang lain.”
Mirna menghela nafasnya.
“Bunda boleh egois nggak?”
“Enggak,” jawab Amara. “Pria tadi, aku yakin dia ada hubungan spesial dengan Bunda tapi aku tidak yakin jika dia pria single.”
Mirna bergeming dan membuat Amara yakin dengan apa yang dia duga.
“Bunda pasti paham maksud aku, jangan sampai nanti aku bertemu dengan putri dari pria itu dan rambutku dijambaknya. Aku pulang ya Bun,” pamit Amara.
“Loh, baru datang masa mau pergi lagi? Katanya mau ….”
“Sudah tidak mood,” sahut Amara lalu melambaikan tangannya dan meninggalkan Mirna.
Amara memang hanya tinggal berdua dengan Bundanya. Ayah yang diharapkan bisa memberikan kenyamanan dan bertanggung jawab terhadap hidupnya malah meninggalkan dan menikah lagi dan beberapa tahun lalu meninggal dunia.
Amara menyempatkan diri mampir ke mini market dan memarkirkan motor di belakang sebuah mobil yang juga terparkir di sana.
Cukup lama gadis itu memilih snack, soda dan coklat. Keluar membawa sekantong cemilan dan menuju motornya.
"Kamu lagi," ujar seseorang saat Amara mengambil helm dan akan memakainya.
"Pak Randy."
"Kamu paham cara parkir nggak? Saya tunggu lama karena mobil saya tidak bisa keluar terhalang motor kamu."
"Yaelah Pak, cuma sebentar. Seneng amat marah-marah sih," gumam Amara lalu menghidupkan motornya. "Maaf deh," ujar gadis itu lalu pergi.
Randy menggelengkan kepalanya. "Gadis bar-bar."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Es Cendol
semangat update ya thorrr
2023-05-05
2
mariammarife
ketemu terus berarti jodoh nich
2023-05-04
0