Randy tidak mengerti seperti apa hubungan antara Amara dengan Bundanya, yang jelas kalau dari interaksi barusan bisa disimpulkan ada sesuatu dan itu cukup serius.
“Jangan bicara begitu, Bunda tidak pernah mengusir kamu. Bahkan kalau perlu kalian tetap tinggal di sini,” tutur Mirna.
Amara beranjak dari ranjangnya menuju walk in closet, tidak lama kemudian dia keluar dengan menyeret sebuah koper. Randy segera menghampiri dan mengambil alih koper tersebut sedangkan gadis itu menuju meja kerjanya mengisi ransel dengan laptop dan buku-buku kuliah.
“Aku akan ambil sisanya besok,” ujar Amara lalu meninggalkan kamarnya.
Randy menatap punggung Amara yang sudah menghilang di balik pintu lalu menatap Ibu mertuanya.
“Nak Randy, tolong sabar menghadapi Amara. Saya tahu kamu pria yang baik, tolong bimbing dia. Saat ini memang hubungan kami sedang tidak baik,” tutur Mirna.
“Baik tante, ehm maksud saya Bunda.”
Mirna tersenyum, lalu Randy menghampiri wanita itu dan mencium tangannya.
“Saya permisi dulu, Assalamualaikum,” pamit Randy.
“Walaikumsalam,” jawab Mirna.
Setelah kepergian Amara dan Randy, Mirna duduk di tepi ranjang putrinya dan menangis. Sejak tadi dia menahn emosinya. Hatinya hancur mendengar pernikahan Amara yang terjadi karena situasi, harapannya dia akan menyaksikan pernikahan putrinya dengan sukacita dan acara yang lebih terencana.
Aku harus bertemu dengan keluarga Randy untuk membicarakan rumah tangga dan mendaftarkan pernikahan mereka, batin Mirna.
Amara menunggu Randy bersandar pada pintu mobil suaminya.
“Tadi ngajak buru-buru, aku tunggu malah lelet,” singgung Amara ketika Randy sudah tiba.
“Aku pamit dulu dengan Bunda, bagaimanapun dia adalah Ibu mertuaku,” sahut Randy.
Keduanya sudah berada dalam mobil menuju apartemen, saling bungkam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Jika Amara memikirkan bagaimana mengakhiri hubungan dengan Randy dan masih kesal dengan sang Bunda, Randy memikirkan bagaimana menjalani pernikahan dengan istrinya dan juga rencana pernikahannya dengan Hana.
“Ayo, turun,” ajak Randy.
Amara berjalan mengikuti langkah Randy, mengingat di lantai mana mereka berada termasuk unit apartemen yang mereka tuju. Randy mempersilahkan Amara masuk lebih dulu ketika membuka pintu lalu menyampaikan passcode untuk membuka pintu.
“Di mana kamarku?” tanya Amara tanpa menatap Randy.
“Hanya ada satu kamar jadi ….”
“Lalu aku harus tidur di mana?” tanya Amara menyela ucapan Randy.
“Amara, biasakan tidak memotong ucapan orang lain. Kamar tidur hanya ada satu, kamu bisa tidur di ranjang aku bisa tidur di lantai,” usul Randy.
“Padahal ya Pak, kita tuh nggak usah ribet kayak gini. Cukup Bapak talak saya, masalah selesai.”
“Pernikahan kita bukan masalah, selalu ada hikmah dibalik setiap kejadian,” tutur Randy walaupun dirinya masih ragu apa bisa menghadapi dan menjalani pernikahan bersama gadis yang masih labil seperti Amara.
“Terserah.” Amara menjatuhkan tubuhnya pada sofa dan membuang pandangannya dari wajah Randy.
“Bersihkan tubuhmu sebelum mandi.” Randy menuju kamar masih menyeret koper milik istrinya. Sedangkan Amara masih duduk bersandar sambil komat kamit seakan mengejek Randy.
“Aku sudah pesan makanan, sebaiknya kamu mandi dulu,” titah Randy yang sudah mengenakan piyama bahkan rambutnya agak basah, jelas pria itu baru saja mandi.
Amara menatap pria yang berjalan menuju meja kerja di sudut ruangan dekat pintu balkon. Membuka laptopnya, lalu fokus pada layar.
“Sok serius,” gumam Amara.
Amara sudah selesai membersihkan diri dan mengenakan piyama. Kopernya terbuka dan isinya agak berantakan setelah mencari piyama juga saat menempati pakaian tidak rapi dan asal saja memasukan ke dalam koper.
Gadis itu mengusap perutnya yang tadi berbunyi.
“Mau tidur tapi lapar. Dari pagi aku belum makan.”
Amara duduk di ranjang dan membuka ranselnya. Saat akan mengeluarkan perlengkapan make up, terlihat lembaran uang yang merupakan mahar pernikahannya. Hatinya kembali terasa perih mengingat jumlah mahar yang diterima.
“Terima saja nasibmu, mungkin memang ini hargamu,” lirih Amara. Dia mengambil jurnalnya dan memasukan uang mahar di sebuah amplop tidak lupa dia bubuhkan tulisan di depan amplop tersebut dan menyelipkan di salah satu halaman.
“Amara, keluarlah. Makan dulu, aku tahu kamu belum makan.”
Amara tidak mungkin menolak, dia bisa kolaps kalau tidak mengisi perutnya sama sekali. Menekan egonya, gadis itu keluar dari kamar dan menghampiri Randy yang sedang berdiri di samping meja makan mengeluarkan makanan dari plastik yang dipesan via online.
Randy menuju lemari es dan kembali membawa botol air. Meletakan piring di hadapan istrinya dan menuangkan nasi goreng dari styrofoam ke atas piring.
“Makanlah!”
Amara tidak melepaskan pandangan dari Randy yang sejak tadi melayani kebutuhannya untuk makan, di mana semua itu seharusnya dia yang melakukan sebagai seorang istri.
Kenapa aku merasa kalau Pak Randy adalah suami ideal seperti yang Melly katakan, batin Amara.
Randy sudah menikmati makan malamnya, lalu menatap Amara yang ternyata masih diam sambil menatap ke arahnya.
“Kenapa tidak dimakan? Kamu tidak suka ….”
Amara menggelengkan kepalanya, lalu memegang sendok dan mulai menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya. Dia makan sambil menunduk, menatap pria di hadapannya akan membuat selera makannya hilang.
“Besok ada kuliah?” tanya Randy.
Gadis itu menganggukkan kepalanya. Tangannya masih terampil memindahkan isi piring ke dalam mulutnya.
“Duduk dulu, ada yang ingin aku bicarakan,” ujar Randy saat Amara akan beranjak setelah menghabiskan makan malam sekaligus rapel sarapan dan makan siang.
“Jangan lama, aku sudah ngantuk,” sahut Amara.
“Mengenai pernikahan kita, sebaiknya dirahasiakan dulu,” ujar Randy dan refleks membuat Amara mengangkat wajahnya menatap pria itu. “Jangan berburuk sangka, hal ini kita lakukan sampai ….”
“Sampai Pak Randy talak saya.” Amara kembali menyela ucapan Randy.
Randy beristighfar sebelum kembali bicara.
“Aku bilang jangan menyela ucapan orang lain, itu tidak sopan dan menimbulkan salah paham. Maksudku sampai kita daftarkan pernikahan secara resmi dan aku harus bertemu dengan orang tuaku untuk menyelesaikan dengan keluarga calon istriku,” tutur Randy.
“Maksudnya, Pak Randy mau daftarkan pernikahan ini ke KUA?”
“Hm.”
“Lalu membatalkan rencana pernikahan Bapak?”
“Sepertinya begitu.”
Amara terkekeh, dia heran dengan suaminya. Diberikan solusi yang mudah untuk mengakhiri hubungan yang menurut Amara hanya akan menjadi masalah ke depannya tapi malam memilih solusi yang sulit.
Jika benar rencana pernikahannya mereka sudah matang, tidak mungkin akan dibatalkan begitu saja dengan alasan sudah menikah dengan gadis lain.
“Kenapa tertawa?”
“Lucu aja Pak. Seperti kata-kata yang sedang viral, kalau ada cara yang sulit kenapa harus pilih yang mudah. Bapak sedang lakukan hal itu.”
“Aku bukan memilih jalan yang sulit walaupun apa yang kita lakukan ini bukan hal yang mudah tapi ini sudah takdir kita dan siap atau tidak kita harus jalani.”
Amara bergeming, dia malas berdebat dan tubuhnya sudah lelah.
...***...
“Amara, bangunlah!”
Amara bergeming, masih terbuai dalam mimpi.
“Amara,” panggil Randy.
“Hm, bentar lagi Bun. Aku lelah.” Gadis itu bergumam masih dengan mata terpejam.
“Amara, bangun. Sudah waktunya subuh.”
“Ishhh, berisik tau Bun.” Amara membuka matanya yang masih terasa lengket lalu terbelalak dan berteriak ketika melihat Randy berdiri di samping ranjang menatapnya.
“Pak Randy, sedang apa di kamarku?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Shyfa Andira Rahmi
hikmahnya yaaa emaknya si amara ngga jdi pelakor🤪🤪
2024-03-25
0
Hearty 💕
Kamar aku.... kamar kita
2024-01-23
0
Sri Ayudesrisya46
aq ampir thor, seru nih cerita nya jadi mskin penasaran
2023-05-11
1