Rencana Poligami

“Nanti malam Randy mau datang, kamu jangan sampai telat,” ujar Imelda Mami Randy.

“Memang kenapa kalau Randy pulang? Sudah seharusnya seorang anak mengunjungi orang tuanya,” sahut Pram Kalingga Papi Randy.

Saat ini orangtua Randy sedang berada di meja makan menikmati sarapan mereka.

“Betul, sudah seharusnya anak-anak mengunjungi kita tapi kalau yang dikunjungi tidak ada, salah siapa?”

Pram membungkam mulutnya, menyesap kopi setelah selesai menghabiskan roti bakar.

“Ingat umur, anak-anak kita sudah dewasa. Kamu tidak malu kalau perbuatanmu diketahui anak-anak?” tanya Imelda lagi, yang saat ini melipat kedua tangannya di dada menatap suaminya.

“Perbuatan apa? Seharusnya pertanyaan itu  berbalik kepadamu. Hubungan kita tidak baik-baik saja, aku sudah mengalah dan berusaha mencintai kamu,” jelas Pram.

“Alasan, banyak pernikahan yang berhasil meskipun atas dasar perjodohan.”

“Kita sudah berhasil, anak-anak sudah dewasa dan mereka akan mengerti kalau kita akhirnya memilih berpisah,” ungkap Pram pada istrinya.

“Dan kamu kembali pada Mirna mantan kamu itu? jangan harap,” cetus Imelda lalu melemparkan serbet ke atas meja dan pergi begitu saja.

“Itulah mengapa aku tidak bisa mencintai, kamu terlalu angkuh dan tidak bisa menghargai orang lain termasuk suamimu sendiri,” gumam Pram.

...***...

“Pak Randy kenapa ada di kamarku?” teriak Amara yang sudah beranjak duduk sambil mengeratkan selimut menutupi tubuhnya.

“Kamarmu?”

Amara menganggukan kepalanya. Randy menghela nafasnya, penampilan pria itu sudah rapi.

“Sebaiknya cepat mandi, dari pada telat. Sekedar mengingatkan, kalau kita sudah menikah,” tutur Randy yang sudah berada di tengah pintu.

“Hahhh!”

Amara mencoba mengingat apa yang dikatakan oleh Randy.

“Aaaaaa,” teriak Amara.

Saat ini Amara sudah tiba di kampus. Wajahnya terlihat tidak bersahabat, apalagi dia harus menggunakan ojek online yang tidak bisa sat set karena hanya menumpang. Randy sempat menawarkan tumpangan tapi ditolak.

“Amara, wajah lo kenapa lecek gini sih? Nggak ada manis-manisnya,” ejek Melly.

“Terserah.”

“Gimana kemarin, kehujanan nggak?” tanya Juan.

“Bukan Cuma kehujanan, tapi gue dapat kesialan bertubi-tubi yang perlu tercatat dalam rekor sepanjang umur gue,” ungkap Amara lalu menghela nafasnya.

“Hah, maksudnya gimana? Kesialan apaan sih?”

“Gue kehujanan di daerah sepi, motor gue mogok lalu ponsel gue jatuh dan rusak.”

“Nggak ada orang lewat tolongin kamu?” tanya Juan penasaran.

Melly menganggukan kepala seakan menitip pertanyaan yang sama.

“Ada dan gue ditolong oleh dia.”

“Dia siapa? Terus masalahnya di mana?” tanya Melly.

“Masalahnya karena orang itu dan karena pertolongannya membawa gue dapat masalah lain.”

Melly mengernyitkan dahinya lalu menggaruk kepalanya yang jelas tidak gatal.

“Lo paham nggak? Gue nggak,” ujar Melly pada Juan.

Juan mengedikkan bahunya.

Penolong gue adalah dosen yang menyebalkan dan gue harus berakhir menikah dengan dia, batin Amara.

Hari ini jadwal kuliah Amara cukup padat, ada jeda agak lama saat makan siang dia pun menuju kantin bersama duo sahabatnya.

“Traktir ya, gue lagi gencatan senjata dengan Bunda. Bakalan bokek berkepanjangan.”

“Beres, kayak sama siapa aja,” ujar Juan.

“Lah emang lo siapanya kita?” canda Melly.

“Bukan siapa-siapa, karena lo siapanya siapa,” balas Juan.

“Udah ah, berisik. Pusing kepala gue.”

Ternyata Amara berpapasan dengan Randy, tentu saja Melly tidak menyia nyiakan kesempatan itu.

“Pak Randy,” sapa Melly.

“Hm.”

“Bapak ganteng mau kemana?”

Randy tida menjawab, dia melirik menatap Amara yang memasang wajah cemberut. Sesuai dengan kesepakatan, pernikahan mereka tidak boleh diungkap sebelum tercatat di KUA.

“Maaf, Pak. Kawan saya memang suka aneh kalau dekat pria tampan, saya aja kewalahan. Mari pak,” pamit Juan lalu merangkul bahu Melly agar kembali berjalan sedangkan Amara sudah lebih dulu.

“Gila, makin cakep aja Pak Randy. Lo tanya gih dia pake skincare apaan, siapa tahu lo cocok dan bisa seganteng Pak Randy,” tutur Melly.

“Kayaknya nggak pakai skincare,” sahut Amara yang tidak melihat produk perawatan wajah dan kulit di apartemen Randy.

“Dari mana lo tahu?” tanya Juan.

“Hm, betul itu. Dari mana lo tahu?” tanya Melly.

“Asal jawab aja,” ujar Amara.

Randy akan mengabarkan kalau malam ini dia akan menemui orang tuanya tapi kontak Amara tidak aktif.

“Ah, ponselnya rusak. Tentu saja dia tidak bisa dihubungi,” gumam Randy.

...***...

Randy bersama kedua orangtuanya sudah berpindah dari meja makan ke ruang keluarga. Sesuai janjinya pagi tadi saat menghubungi Imelda bahwa ada sesuatu yang akan dia sampaikan. Pram pun tiba di rumah tepat waktu, bukan karena menuruti keinginan istrinya tapi menghargai keinginan putranya.

“Bagaimana kabar Hana, sudah lama Mami tidak bertemu dengannya?”

“Baik, kabar Hana baik. Kemarin kami komunikasi,” ujar Randy.

“Mami sudah tak sabar melihat kalian menikah lalu punya anak dan Papi kamu sadar kalau dia sudah tua,” ejek Imelda.

Randy menoleh pada Pram yang cuek saja dengan ocehan istrinya. Bukan kali saja Randy menyaksikan Mami dan Papinya adu mulut atau bertengkar tapi selalu Mami yang memulai.

“Aku tahu kalau kita memang sudah tua, tidak perlu menyangkal akan hal itu,” ungkap Pram.

“Sebentar, ada hal yang perlu aku sampaikan ini ada hubungannya dengan rencana pernikahan dengan Hana,” cetus Randy membuat atensi orangtua berpindah kepadanya.

“Ada apa? Jangan bilang kalau kamu ragu melanjutkan pernikahan karena mantan kamu kembali datang,” tutur Imelda yang tujuannya menyindir PRam.

“Bukan itu, tolong dengarkan dulu aku bicara sampai selesai. Jangan menjeda atau berkomentar sebelum aku selesai bicara,” jelas Randy. Tentu saja pernyataan pria itu membuat orang tuanya bertanya–tanya ada apa sampai Randy bersikap seserius itu.

Randy menjelaskan kejadian kemarin, dari pertemuan dengan Amara saat terjebak hujan sampai dengan berakhir dinikahkan. Sepanjang mendengarkan penjelasan dari Randy, Pram menyimak dengan serius. Dahinya berkerut ketika Randy mengatakan dia dan Amara dinikahkan saat itu juga.

Berbeda dengan Imelda yang merespon dengan mimik wajah yang berganti-ganti bahkan sampai bergumam ketika Randy mengatakan kalau dia akhirnya dinikahkan oleh warga setempat.

“Oh my God. Pram, apa tidak bisa tuntut mereka karena sudah memaksakan kehendak dan perbuatan tidak menyenangkan,” titah Imelda.

“Yang berlaku di sana adalah norma sosial, jadi kita harus hormati keputusan masyarakat di sana.”

“Lalu bagaimana dengan Hana, pernikahan kalian hitungan bulan,” pekik Imelda. “Seharusnya kamu ikuti permintaan perempuan itu, talak dia dan semua akan kembali ke tempatnya.”

“Tidak bisa Mih, aku sudah berjanji pada Allah dan para saksi kalau pernikahan ini bukan permainan dan kami harus jalani sungguh-sungguh.”

“Kamu akan batalkan pernikahan dengan Hana?” tanya Imelda lagi.

Randy menggelengkan kepalanya.

“Lalu ....”

Randy mengusap kasar wajahnya, dia pun ragu dengan Amara tapi ikatan yang membelenggu adalah pernikahan yang sah menurut agama mereka dan sesuai dengan kepercayaannya.

“Berapa perbedaan umur kalian?” tanya Pram.

“Hampir Sembilan tahun,” jawab Randy.

“Lalu rencanamu dengan Hana?”

“Aku belum tahu Pih, tapi segera aku akan menemui Hana dan membicarakan hal ini.”

“Kamu nggak ada rencana poligami ‘kan?” tanya Imelda.

Poligami? Apa mungkin aku bisa, batin Randy

Terpopuler

Comments

Shyfa Andira Rahmi

Shyfa Andira Rahmi

benerrr kaannn....

2024-03-25

0

Hearty 💕

Hearty 💕

Enggak mungkin karena menyalahi hati nurani

2024-01-23

0

Hearty 💕

Hearty 💕

Oh rumit.... nggak ada cinta tapi ada anak² yang sudah dewasa????

2024-01-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!