Ulah Amara

Randy menghentikan aktivitasnya lalu menoleh ke arah Amara yang sedang menatapnya.

“Untuk apa aku cemburu?”

Amara mengedikkan bahunya.

“Lah itu, masa aku dekat dengan Juan dipermasalahkan. Padahal hanya dekat biasa bukan karena ada hubungan macam-macam,” sahut Amara.

“Aku hanya mengingatkan. Kamu itu sudah menikah dan ….”

“Terpaksa,” ujar Amara menyela ucapan Randy.

“Amara … terpaksa atau tidak yang jelas kita sudah menikah dan harus saling menjaga kehormatan masing-masing,” tutur Randy.

Amara menghela nafasnya lalu bersandar pada sofa yang dia duduki dan menatap keliling ruang kerja suaminya.

“Lalu aku diminta ke sini untuk apa?”

“Hukuman karena kamu selalu gaduh dan tidak konsen di jam kuliahku, bantu aku input nilai ini.”

“Hahh.”

Amara berada di ruangan itu cukup lama, bahkan makan siang pun dilakukan di ruangan itu. Bukan karena Randy mengada-ada untuk ditemani tapi memang pria itu terlihat sibuk.

“Udah selesai nih,” ujar Amara lalu menguap karena lelah. “Aku boleh pulang ya?”

Randy menatap jam dinding lalu kembali fokus dengan dokumen di mejanya.

“Pulang bareng aku, satu jam lagi selesai.”

Amara berdecak tapi tetap ditempatnya. Gadis itu membuka ponselnya, berselancar dengan media sosial dan aplikasi video sambil menunggu suaminya selesai. Sesekali terbahak membuat Randy penasaran apa yang dilakukan dengannya.

Randy menatap Amara yang sudah berbaring di sofa sambil menatap ponselnya. Sesekali gadis itu terkekeh, sepertinya video yang ditonton begitu lucu.

Tanpa sadar, Randy  tersenyum melihat ulah Amara.

“Hah, macet ‘kan. Harusnya aku tadi pulang duluan,” keluh Amara. Saat ini dia dan Randy sudah berada dalam mobil arah pulang.

“Wajar macet, ini jam pulang kerja.”

“Ah, iya. Lusa ada kegiatan mapala, aku ikutan. Pak Randy tanda tangani surat izin aku dong," pinta Amara. 

"Kamu ikut mapala?" 

"Iya." 

Randy masih fokus pada kemudi dan terlihat berpikir. 

"Sekalian sama ongkosnya," ujar Amara sambil nyengir. 

"Ini kegiatan di pegunungan daerah Bogor?" 

"Hm." 

Randy sebenarnya ragu untuk mengizinkan Amara ikut serta dalam kegiatan. Melihat kondisi Amara yang mudah panik dan sembrono sepertinya kegiatan tersebut tidak pas diikuti oleh gadis itu. 

"Jangan bilang Pak Randy tidak akan izinkan."

"Menurut kamu?" 

"Ish pokoknya aku mau ikut, waktu SMA Bunda larang aku ikut kegiatan ini sekarang masa nggak boleh juga." 

...*** ...

Amara sudah siap dengan tas dan perbekalannya. Randy akhirnya mengizinkan, walaupun dalam hati pria itu ragu dan khawatir. 

"Aku berangkat ya," pamit Amara yang sudah menggendong ranselnya. 

"Hei, kemari," titah Randy sambil mengulurkan tangannya. "Biasakan cium tangan," titahnya lagi. 

Amara pun meraih tangan suaminya dan mencium dengan takzim, tanpa tahu kalau Randy berniat datang ke lokasi acara. Apalagi dia memang bagian dari rektorat kampus tentu saja semua kegiatan kampus termasuk keselamatan mahasiswa menjadi tanggung jawabnya.

"Hati-hati, jangan ceroboh karena kamu bukan berada di rumah," pesan Randy pada istrinya. 

Siang harinya Amara sudah berada di lokasi acara, karena yang ikut peserta baru yang minim pengalaman jadi belum ada kegiatan berat sampai mendaki sampai puncak atau bahkan menelusuri hutan. Baru berjalan dari tempat parkir ke tempat acara yang memang agak jauh dan medan yang lumayan, Amara sudah mengeluh dan kelelahan. 

"Capek mana panas pula," keluh Amara sambil berkipas-kipas dengan topinya. 

"Iya, tau gini gue nggak ikutan. Mending diem di kamar, adem dan nggak capek," keluh Melly. 

"KIta kabur aja, gimana?" usul Juan. 

"Kabur, maksud lo?" Amara bingung dengan usulan Juan tapi kalau memungkinkan bisa juga dilakukan.

Setelah mendirikan tenda, Amara dan kedua rekannya melipir menuju sungai. Dengan alasan sakit perut mereka malah bermain di air dan di sekitar sungai daripada harus mengikuti rangkaian acara lainnya. 

Panitia kegiatan menduga kalau Amara dan kedua temannya berada di tenda panitia bukan di sungai. Menjelang sore, langit pekat dan mendung  bahkan arus sungai semakin deras. 

"Gaes, kita balik yuk. Kayaknya bahaya deh di sini," usul Juan sambil memandang arus sungai. 

"Ayo," ajak Melly. 

Ternyata Randy sudah tiba di lokasi acara, mencari sosok Amara dan tidak menemukannya lalu bertanya pada panitia. 

"Mungkin di tenda kesehatan, tadi ada yang sakit perut saya minta tunggu di sana," 

Sakit perut, batin Randy lalu menuju ke tenda yang dimaksud. 

Tidak pula menemukan Amara di sana, termasuk tendanya. Menghubungi gadis itu juga percuma karena daerah tersebut sangat susah sinyal. 

"Ada yang jatuh, di sungai," ujar salah seorang kepada tim kesehatan. 

Randy mengikuti arah suara lalu menghampiri seorang mahasiswi yang sedang terengah. 

"Siapa yang jatuh?" 

"Amara, dia terpeleset." 

"Terpeleset di mana?" tanya Randy. 

"Di ... mana ya?" Melly menggaruk kepalanya. "Kami tadi di sungai, arusnya deras lalu kami ingin kembali ke sini tapi Amara terpeleset."

Randy bergegas menuju sungai sesuai petunjuk salah satu panitia. 

Terdengar teriakan Juan yang menyemangati Amara dan mengatakan agar tidak melepaskan pegangannya. 

"Amara," panggil Randy.

"Di sebelah sini Pak," sahut Juan. 

"Amara," panggil RAndy. 

Ternyata Amara sedang bergelayut pada entah ranting atau akar pohon dan di bawahnya arus sungai yang semakin deras sepertinya hujan turun di hulu sungai.

Randy berbaring di tanah dan mengulurkan tangannya agar bisa diraih oleh Amara. 

"Amara, raih tanganku!" 

"Nggak, aku pasti jatuh dan ketika aku lepaskan tangan juga jatuh." Suara Amara sudah bergetar, jelas kalau gadis itu berada dalam situasi yang membuatnya sangat takut.

"Amara, lepaskan salah satu tanganmu dan raih tanganku," titah Randy lagi.

"Tapi ...."

Krek. 

Ternyata yang menjadi tumpuan pegangan tangan Amara mulai regas dan akan patah.

"Amara, cepat lakukan," ujar Randy. 

"Amara, cepat. Dia nggak akan lepasin tangan lo," ujar Juan. 

Amara melepaskan tangannya lalu berayun dan Randy berhasil meraih tangan itu tapi tumpuan  yang dipegang Amara patah. 

"Aaaa, Pak Randy, jangan lepaskan tangan aku," teriak Amara sambil berayun hanya dengan satu tangan.

"Tidak. Tidak akan, sekarang kamu berayun lagi dan raih lagi tanganku.”

Ternyata harus beberapa kali Amara berayun dan kedua tanganya bisa meraih tangan Randy. Saat tubuh Amara berhasil naik, gadis itu menangis dalam pelukan Randy. Tentu saja Juan dan dua orang panitia yang ada di sana menatap heran dengan interaksi pasangan itu.

“Ada yang luka?” tanya Randy saat mengurai pelukannya.

Terlihat ada memar di dahi, lengan dan lutut Amara karena sempat tersungkur dan berguling di atas batu dan salah satu pergelangan kakinya terkilir.

“Auw,” pekik Amara saat mencoba berjalan. Randy langsung meraih tubuh istrinya dan menggendong kembali ke lokasi acara.

“Amara, lo nggak apa-apa?” tanya Melly.

Amara yang berbaring di brankar pasien dalam tenda tim kesehatan hanya menggelengkan kepalanya. Randy sedang bicara dengan panitia kegiatan mengenai kondisi Amara.

“Kayaknya lo mau dibawa deh,” ujar Juan.

“Dibawa ke mana?” tanya Melly.

“Ke rumah sakit kali, yang jelas Pak Randy mau pastikan kondisi lo aman dan obati memar-memar ini,” tunjuk Juan pada tubuh Amara.

Tidak lama Randy pun datang.

“Kamu dalam masalah, aku bilang jangan ceroboh,” tegur Randy. “Kita cari rumah sakit,” ajak Randy yang langsung kembali menggendong Amara.

“Pak Randy ….”

“Diam!”

 

 

 

 

 

Terpopuler

Comments

Sitina Hana89

Sitina Hana89

aku suka aku suka

2024-02-15

0

Hearty 💕

Hearty 💕

Paksu galak atau kuatir sih

2024-01-23

0

mariammarife

mariammarife

𝒔𝒎𝒐𝒈𝒂 𝒅𝒈𝒏 𝒌𝒆𝒋𝒂𝒅𝒊𝒂𝒏 𝒊𝒏𝒊 𝒃𝒆𝒏𝒊𝒉-𝒃𝒆𝒏𝒊𝒉 𝒄𝒊𝒏𝒕𝒂 𝒕𝒖𝒎𝒃𝒖𝒉 𝒅𝒊 𝒉𝒂𝒕𝒊 𝒂𝒎𝒂𝒓𝒂

2023-05-11

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!