Tepat pukul setengah lima pagi, Azam terbangun dari tidurnya yang panjang. Dia sengaja bangun lebih awal sebab tak mau datang terlambat di hari pertama dia bekerja. Dia ingin menunjukan pada Sheeva bahwa majikannya itu tidak salah memberi pekerjaan kepadanya.
"Zam, tumben banget jam segini udah bangun, mau pergi ke mana?" tanya salah satu teman indekos Azam. Berhubung kamar indekos Azam tak dilengkapi kamar mandi dalam membuat pria itu harus berbagi dengan teman-temannya yang lain.
Dengan menyampirkan handuk besar di pundak dan memegang ember kecil berisi peralatan mandi, Azam menjawab, "Mau pergi kerja, Mas. Alhamdulillah, aku baru saja diterima kerja sebagai sopir."
Feri serta beberapa teman indekos Azam yang lain terlihat semringah mendengar berita tersebut. Di antara yang lain memang hanya Azam saja yang masih menganggur jadi tidak heran jika saat ini mereka turut berbahagia atas keberhasilan teman satu indekosnya itu.
"Alhamdulillah, gue turut bahagia mendengarnya. Selamat ya, Zam, moga lo betah kerjanya. Kita cuma bisa bantu doa nih, enggak bisa berbuat apa-apa."
"Iya, Zam. Kita doain, moga rezeki lo semakin lancar kerja di tempat yang sekarang," timpal yang lain.
Azam terkekeh pelan mendengarnya. "Terima kasih, Mas. Ya sudah, kalau begitu aku ke kamar mandi dulu takut terlambat pergi bekerja. Mari semuanya." Lantas pria itu berlalu dari hadapan teman indekosnya untuk membersihkan diri sebelum berangkat bekerja.
Hanya membutuhkan waktu sekitar satu jam lamanya, akhirnya Azam tiba di depan pintu gerbang berwarna kuning keemasan dengan bagian puncak gerbang terdapat lambang huruf B singkatan dari nama keluarga Bagaskara menyambut kedatangan pria itu. Azam tampak terpukau dibuatnya hingga lidah terasa kelu, tak mampu berkata. Pemandangan di depan sana sungguh membuat pria itu berdecak kagum.
Bagaimana tidak. Rumah dua lantai bergaya Eropa Klasik tampak berdiri kokoh dengan empat pilar tinggi menyangga bangunan tersebut. Warna putih dipadu keemasan memberi kesan mewah dan megah sehingga orang bisa tahu jika si pemilik rumah tersebut bukanlah orang biasa.
"Mas cari siapa?" Seorang security datang menghampiri Azam ketika melihat pria itu sedari tadi hanya bergeming memperhatikan betapa indahnya istana kedua orang tua Sheeva.
Azam terlonjak kaget mendengar suara bariton si penjaga rumah. Namun, dia bisa dengan mudah menguasai diri dan segera menjawab pertanyaan security di kediaman Bagaskara.
"Saya Azam, sopir baru Mbak Sheeva. Kemarin Mbak Sheeva meminta saya datang ke sini untuk mengantarkannya ke lokasi shooting di daerah Bogor sana, Pak. Untuk itulah saya datang ke sini dan ingin menyiapkan mobil sebelum kami pergi," sahutnya sopan. Seutas senyuman terus mengembang di bibir Azam.
Dadang yang sebelumnya memang sudah diberitahu Sheeva akan ada pria datang ke rumah dan mengaku sebagai seorang sopir bergegas membukakan pintu gerbang kemudian mempersilakan Azam masuk ke dalam pekarangan rumah keluarga Bagaskara. Pria paruh baya itu pun mengantarkan Azam dan memperkenalkannya kepada teman sesama pegawai di rumah tersebut. Azam begitu bahagia karena mendapat sambutan hangat dari semua orang.
Sementara itu, di sebuah kamar berukuran 5×5 meter, seorang gadis cantik tengah bergelung di bawah selimut tebal. Kamar itu didominasi warna merah jambu, warna yang identik dengan perempuan. Kelopak mata gadis itu bergerak perlahan, bulu matanya yang lentik pun itu bergerak. Sinar mentari menerobos masuk melalui celah jendela membuat gadis itu terpaksa mengangkat tangan ke udara demi menghalau sinar matahari yang menyilaukan mata.
"Sudah pagi rupanya. Semalam gue tidur nyenyak banget sampai enggak denger bunyi alarm," gumam gadis itu yang tak lain adalah Sheeva.
Melirik ke arah jam digital yang diletakkan di atas nakas, lalu Sheeva duduk di tepian ranjang sebelum beranjak ke kamar mandi. Suasana hatinya semakin membaik meski dia baru saja dikhianati oleh calon tunangannya.
Sheeva menyingkap selimut sambil mengembuskan napas kasar. "Pokoknya hari ini mood gue enggak boleh hancur hanya karena mikirin cowok berengsek macam Amaar. Gue harus fokus dengan pekerjaan, mengenyahkan kedua manusia sialan itu dalam pikiran gue. Jangan sampai kena tegur Mbak Rahmi karena gue enggak bisa profesional dalam bekerja!"
Sebelum melangkah ke kamar mandi, Sheeva lebih dulu membuka jendela kamar dan menikmati keindahan pemandangan sekitar di pagi hari. Aroma kesegaran bunga mawar berasal dari tanaman hias yang diletakkan di sudut balkon menguar di udara, memanjakan indera penciuman gadis itu. Sheeva berdiri di depan pintu kamarnya sambil menghirup udara segar.
Namun, kegiatan Sheeva harus terhenti saat netranya melihat Azam sedang sibuk mencuci mobil kesayangannya. Pria itu tampak begitu fokus bekerja meski keringat mulai bercucuran membasahi kaosnya yang berwarna biru navy. Otot liat semakin tercetak jelas memperlihatkan betapa kekarnya tubuh pria itu. Tanpa sadar, sudut bibir Sheeva tertarik ke atas hingga membentuk lengkungan mirip busur panah.
"Tampan dan sexy," puji gadis itu.
***
Saat ini Sheeva sudah berada di ruang makan bersama kedua orang tuanya. Gadis itu duduk di seberang Salwa, sementara Damian duduk di kursi tengah diapit istri dan anak bungsunya. Pasangan paruh baya serta satu orang anak mereka begitu menikmati semua hidangan yang ada di atas meja makan.
"Va, kemarin malam kamu dari mana kenapa pulang terlambat? Apa kamu tidak melihat arloji yang ada di pergelangan tanganmu?" Suara berat Damian memecah keheningan yang berlangsung selama beberapa saat.
Tadi malam ketika Damian tiba di rumah, dia tak mendapati anak bungsunya itu di rumah. Salwa memberitahu jika Sheeva belum pulang usai mengantarkan makanan ke kantor Amaar. Pria itu berpikir jika saat itu Sheeva tengah berduaan dengan putera dari sahabatnya. Namun, ketika dia mengkonfirmasi keberadaan sang putri, ternyata Sheeva tak bersama Amaar sehingga membuat Damian penasaran ke mana sebenarnya gadis itu pergi.
Sheeva yang sedang berusaha melupakan kejadian kemarin terpaksa mengorek kembali memori ingatannya tentang sepasang manusia bejad yang urat malunya sudah putus. Ada perasaan kesal dan kecewa dalam waktu bersamaan kala mengingat bagaimana Amaar menikmati sentuhan lembut permukaan kulit Amora.
Dengan malas Sheeva menjawab, "Pergi bersama Mila, Pa. Mumpung break shooting aku manfaatkan pergi bersama sahabat."
Damian mendengkus kesal. "Kalau ada waktu senggang seharusnya kamu menghabiskan waktu bersama Amaar, bukan malah bersama sahabatmu. Ingat Va, sebentar lagi kalian bertunangan dan setelah itu menikah. Mulai biasakan diri berduaan dengan calon suamimu, pergi ke suatu tempat yang hanya ada kalian berdua. Jadi saat kalian menikah nanti, kamu dan Amaar tidak canggung lagi sehingga kamu dapat segera memberi cucu kepada kami. Semakin erat ikatan kalian maka bisnis papa dan orang tuanya Amaar dapat berjalan lancar."
Terdengar bunyi denting sendok dan garpu beradu menggema memenuhi penjuru ruangan. Tatapan mata tajam ditujukan kepada sang papa.
"Aku tidak mau menikah dengan Amaar, Pa! Dia bukan laki-laki baik. Dia itu playboy, tukang selingkuh dan mata keranjang. Apa Papa mau anak kesayanganmu ini hidup berumah tangga dengan pria berengsek yang tak bermoral seperti anak sahabat Papa?" ujar Sheeva dengan meninggikan nada suara.
"Omong kosong! Amaar bukan lelaki seperti yang kamu bayangkan. Dia pria baik, terlahir dari keluarga terhormat dan selevel dengan keluarga kita. Jadi berhentilah menjelek-jelekan calon suamimu itu jika tujuanmu ingin papa membenci Amaar karena sampai kapan pun papa tidak akan pernah percaya dengan bualanmu itu," tandas Damian sangat tegas hingga telapak tangannya sedikit menggebrak meja.
Damian bukanlah tipe orang yang mudah percaya begitu saja dengan kabar burung yang berembus. Dia tidak akan menelan mentah-mentah berita tersebut tanpa melihat dengan mata kepalanya sendiri. Sekeras apa pun Sheeva berusaha menjelaskan bahwa Amaar bukanlah menantu idaman keluarga Bagaskara, Damian tetap tidak percaya selama tidak ada bukti yang nyata maka pria paruh baya itu tetap dengan rencana semula, menikahkan putri bungsunya dengan anak dari sang sahabat.
Sheeva mendorong kursi ke belakang. Dengan suara lantang dia berseru, "Papa egois, selalu mementingkan diri sendiri! Aku yakin, Papa pasti akan menyesal jika tahu bagaimana busuknya Amaar." Tanpa pikir panjang dia meraih hand bag di kursi sebelah dan berjalan setengah berlari meninggalkan kedua orang tuanya.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Purwati Ningsih
Orang tua kolot, sllu memaksakan kehendak kpd anak"x. Ini sdh bkn jamanx Siti Nurbaya, biarkan anak"mu menemukan jodohx sendiri.
2023-05-18
1