“Om mau menikahkan Evan, supaya dia bisa lebih mandiri dan bertanggung jawab untuk hidupnya. Om.. bermaksud menikahkan Evan denganmu. Apa kamu mau menerima anak om yang banyak kekurangan?”
Tentu saja Alya terkejut mendengar ucapan Antonio. Untuk beberapa saat gadis itu hanya tertegun. Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba Antonio melamarnya untuk Evan, anak bungsunya. Jangankan kenal, bertemu dengan orangnya saja tidak pernah.
“Om mengerti kalau kamu terkejut. Itu hal yang wajar. Om juga kakak-kakak Evan sangat menyukaimu. Kami sangat ingin menjadikanmu menantu keluarga kami.”
“Ta.. tapi kenapa harus saya, om?”
“Entahlah. Om merasa cocok denganmu. Kamu anak yang baik, pintar, rajin, solehah. Yaa.. walau terlalu baik untuk Evan, tapi om merasa kamu bisa mengubah Evan menjadi lebih baik lagi. Om tidak akan meminta jawabanmu sekarang. Kamu boleh memikirkannya lebih dulu.”
“Ba.. bagaimana dengan Evan? Apa dia setuju menikah dengan saya?”
“Sebenarnya dia belum tahu soal perjodohan ini.”
Alya semakin dibuat terkejut mendengar Evan sama sekali belum tahu soal perjodohan yang dilakukan ayahnya. Kalau melihat situasinya dan juga kepribadian Evan yang tadi disebutkan Antonio, rasanya Alya ingin langsung menolak lamaran tersebut. Tapi melihat sikap hangat Antonio, begitu juga Fariz dan Karina yang begitu welcome padanya, membuat gadis itu menjadi ragu untuk menolak.
“Sa.. saya boleh memikirkannya kan, om?”
“Boleh. Ambil waktu yang cukup untukmu berpikir. Om memang tidak bisa menjamin kalau kamu akan bahagia hidup bersama dengan Evan. Tapi om janji akan menyayangimu seperti anak sendiri. Begitu pula dengan Fariz dan Karina, mereka akan menyayangimu seperti adik sendiri.”
Bi Sumi datang membawakan minuman dan camilan untuk Alya dengan Antonio. Alya segera mengambil gelas yang berisikan minuman dingin ketika Antonio mempersilahkannya. Dia perlu membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba terasa kering.
☘️☘️☘️
Alya berjalan dengan langkah pelan menyusuri trotoar. Dia menolak diantarkan oleh Antonio untuk pulang. Gadis itu perlu waktu sendiri memikirkan tawaran yang diberikan Antonio padanya. Bukan sosok Evan yang tampan yang membuatnya ragu, tapi keinginannya untuk merasakan kasih sayang seorang ayah yang menggelitiknya.
“TAHU BULEUD DIGORENG DADAKAN, HANEUT.. HANEUT.. HANEUT.. GURILEM.. GURILEM.. GURILEM.. NYA GURIH NYA PELEM.. GURIH-GURIH ENYOY. TAHU BULEUD.. WAKWAW.”
Lamunan Alya buyar ketika mendengar suara pedagang tahu bulat. Gadis itu bergegas mendekati mobil bak terbuka yang di bagian atasnya diberi terpal yang terbuat dari plastik. Wadah tempat tahu bulat, wadah sotong, kompor, wajan, dan bahan lainnya berada di atas mobil bak tersebut. Jangan lupakan jongko atau tempat duduk yang terbuat dari kayu untuk sang pedagang duduk.
Pedagang tahu bulat yang tak lain adalah Irfan, melemparkan senyumnya ketika melihat sepupunya mendekat. Sejak mengalami PHK masal dari tempatnya bekerja, Irfan beralih profesi menjadi pedagang tahu bulat keliling. Demi membiayai dua adiknya yang masih sekolah, pria itu rela bekerja apa saja. Tidak mungkin dia mengharap dari ibunya yang hanya seorang janda. Ayah Irfan sudah meninggal tiga tahun yang lalu.
“Kang.. tahu bulat sama sotongnya lima ribu,” ujar Alya.
Dengan cepat Irfan mengambilkan tahu bulat dan sotong untuk Alya. Tak lupa dia menambahkan bumbu asin dan pedas ke dalam plastik. Alya menyodorkan selembar lima ribuan pada kakak sepupunya itu.
“Ngga usah, gratis buat kamu.”
“Ngga mau, aku kan beli bukan minta. Ambil uangnya, kang.”
Dengan sangat terpaksa Irfan menerima uang yang diberikan oleh Alya. Gadis itu masih berdiri di dekat mobil sambil memakan tahu bulatnya. Irfan masih mengurus tahu yang digorengnya. Tiba-tiba saja rombongan anak kecil datang menghampiri mobil. Mereka langsung memesan tahu dan berebut minta didahulukan.
Melihat Irfan yang kerepotan antara mengurus pembeli dan menggoreng tahu, Alya berinisiatif untuk membantu. Gadis itu naik ke atas mobil bak. Dia mulai melayani pembeli yang cerewetnya persis ibu-ibu kompleks yang sedang nawar belanjaan.
“Dua ribueun teh.. tahu buletnya aja. Pake bumbu asin sama keju.”
“Aku dulu teh.. aku tiga ribu, campur pake sotong. Asin sama pedas ya bumbunya.”
“Dua ribu, teh. Sotongnya aja, bumbunya yang asin.”
"Teh.. Aku juga mau. Tiga ribueun campur tahu sama sotong pake asin, keju sama pedes."
Tangan Alya bergerak memasukkan tahu bulat dan sotong sesuai permintaan pembeli. Irfan terus menggoreng tahu bulat dan sotong karena pembeli masih terus berdatangan. Hampir setengah jam lamanya Alya membantu kakak sepupunya itu berjualan tahu bulat.
“Kang pembelinya udah berkurang. Aku pulang dulu, ya.”
“Iya, makasih Al.”
“Sama-sama.”
“Mau tahu bulet lagi, ngga?”
“Ngga kang, makasih.”
Alya turun dari mobil. Dia melambaikan tangannya pada Irfan sebelum meninggalkan mobil bak terbuka tersebut. Dengan langkah panjang gadis itu memasuki gang di mana rumahnya berada. Sebelum pulang ke rumahnya, dia menyempatkan mampir ke rumah bibinya. Alya ingin berkosultasi pada bibinya itu tentang lamaran Antonio.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam. Eh Alya, masuk neng.”
Setelah melepas sepatunya, Alya masuk ke dalam rumah. Diciumnya punggung tangan wanita yang sudah mengurusnya sejak bayi merah. Wanita bernama Titin itu mengajak Alya duduk di ruang depan.
“Tumben pulang cepat.”
“Iya, bi. Tadi ada keperluan dulu.”
“Kamu udah makan?”
“Udah, bi.”
“Gimana bapakmu?”
“Ya gitu deh, bi. Masih sama aja.”
“Bibi bingung dengan bapakmu. Keras kepala sekali. Apa kurangnya kamu, kenapa hatinya sekeras batu. Apa hatinya tidak tergerak melihat anaknya yang cantik dan solehah ini.”
Titin mengusap wajah Alya dengan lembut. Wanita itu benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran sang kakak. Anak yang baik dan cantik disia-siakan begitu saja. Alya hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Titin. Jika dirinya tidak dirawat oleh Titin, entah akan seperti apa nasibnya. Mungkin dia akan sangat membenci bapaknya.
“Ehmm.. bi.. sebenarnya aku ke sini mau curhat.”
“Curhat soal apa?”
“Aku… baru aja dilamar, bi.”
“APA?!”
Mata Titin membulat mendengar berita keponakan cantiknya ada yang melamar. Dipandanginya wajah Alya lekat-lekat. Telinganya sudah terbuka lebar untuk mendengar apa yang akan dikatakan keponakannya itu. Alya menarik nafas panjang sebelum menceritakan pembicaraannya dengan Antonio tadi.
Usai Alya menceritakan semuanya, masih belum ada tanggapan dari Titin. Wanita itu masih belum percaya dengan apa yang didengarnya tadi. Alya sampai melambaikan tangan di depan wajahnya untuk menarik kesadaran wanita itu.
“Bi.. kok malah bengong. Aku harus gimana, bi?”
“Yang namanya Evan ganteng?”
“Ganteng sih, bi. Namanya juga keturunan bule. Tapi kalau dengar ceritanya om Antonio, kayanya orangnya nyebelin deh.”
“Itu sih terserah kamu, Al. Kan kamu yang bakalan jalani pernikahan. Kalau kamu rasa tidak mampu, ya jangan dijalani. Jangan menyiksa diri sendiri. Udah punya bapak nyebelin, masa mau ditambah suami nyebelin juga.”
Cukup lama Alya terdiam merenungi apa yang dikatakan Titin. Jika dipikir secara logika, maka pilihan yang paling benar adalah menolak lamaran Antonio. Tapi sekali lagi, Alya tergelitik ingin merasakan kasih sayang seorang ayah. Melihat interaksi Karina dan Antonio yang begitu dekat dan saling menyayangi, Alya juga ingin merasakan kasih sayang pria itu.
“Apa yang membuatmu ragu, sayang?” Titin membelai rambut Alya.
“Om Antonio baik sekali, bi. Dia juga terlihat sayang banget sama anak perempuannya, kak Karina. Kalau aku jadi menantunya, pasti aku bakal disayang juga kan, bi sama om Antonio.”
“Sayang…”
Titin menarik Alya ke dalam pelukannya. Hatinya terenyuh mendengar ucapan Alya barusan. Anak itu begitu merindukan kasih sayang ayahnya. Sampai berpikir untuk mendapatkan kasih sayang dari laki-laki lain yang diharap bisa menjadi ayah pengganti untuknya.
“Lebih baik kamu shalat istikharah, neng. Minta petunjuk pada Allah, apa yang terbaik untukmu.”
“Iya, bi. Makasih.”
Tangan Alya memeluk pinggang Titin. Hatinya lebih tenang setelah bercerita pada bibinya itu. Mengembalikan semua urusan kepada Allah, memang jalan terbaik. Alya akan melakukan apa yang dikatakan Titin padanya. Meminta petunjuk pada Allah SWT, supaya keputusan yang diambilnya merupakan jalan terbaik untuknya.
☘️☘️☘️
Alya melepaskan mukena yang membalut tubuhnya. Sejak bangun di sepertiga malam tadi, gadis itu belum beranjak dari sajadahnya. Setelah melakukan shalat tahajud yang disambung dengan shalat istikharah, Alya terus bertahan di atas sajadahnya, menunggu waktu shubuh sambil tadarus.
Gadis itu naik ke atas kasur kemudian duduk di atasnya. Tangannya meraih tas yang ada di atas kasur. Dia mengeluarkan kartu nama yang diberikan Antonio padanya. Jarinya bergerak memasukkan nomor pria itu ke ponselnya. Mata gadis itu memandangi jam digital yang ada di ponselnya. Waktu menujukkan pukul lima lebih sepuluh menit.
Alya meletakkan ponsel di atas kasur. Gadis itu keluar dari kamar lalu menuju dapur. Dia bermaksud membuat sarapan untuk ayahnya. Walau tahu mungkin Dadang tidak akan menyentuhnya, tapi Alya tetap membuatkan makanan untuk ayahnya itu. Jika tidak dimakan, dia bisa memberikannya pada Karta. Pria itu lebih menghargai usahanya dari pada sang ayah.
Setelah membuatkan kwitiaw goreng, Alya kembali ke kamarnya. Bertepatan dengan itu, Dadang keluar dari kamarnya. Dia terdiam sebentar di dekat meja makan, memandangi makanan hasil buatan anaknya. Pria itu mengambil gelas lalu membuat kopi hitam dengan sedikit gula. Sambil membawa gelas berisi kopi, dia berjalan menuju teras rumah. Dadang mendudukkan diri di teras, meminum kopi miliknya ditemani ubi rebus kiriman Titin.
Alya mengambil ponselnya, lalu mencari nomor Antonio yang tadi dimasukkan olehnya. Dengan dada berdebar dia menunggu pria itu mengangkat panggilannya. Tak lama terdengar suara Antonio menjawab panggilannya.
“Halo..”
“Halo.. assalamu’alaikum, om.”
“Waalaikumsalam. Alya?”
“Iya, om. Ini Alya.”
“Ada apa, Al?”
“Ehmm.. ini om, soal lamaran om kemarin. Gimana kalau om bicara langsung aja sama bapak. Saya ikut aja gimana keputusan bapak.”
“Baiklah. Kapan om bisa ketemu dengan bapakmu?”
“Om kalau mau ke rumah malam aja baiknya. Bapak pulang ke rumah ba’da maghrib.”
“Ok, om akan ke rumahmu malam ini.”
“Iya, om. assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Alya menghembuskan nafas lega setelah berbicara dengan Antonio. Menyerahkan keputusan pada sang ayah, sepertinya langkah terbaik yang bisa diambilnya. Apapun keputusan Dadang nanti, dia akan menerimanya. Dalam hatinya berharap, apa yang dilakukannya sudah benar.
☘️☘️☘️
**Wah keputusan ada di tangan pa Dadang pa Dadang hey.. Pa Dadang pa Dadang😂
Oh iya kemarin ada yg galfok ya.Visual yang aku kasih itu visual Fariz ya bukan Evan. Terus aku pernah bilang Evan lebih ganteng dari Fariz?🤭
Definisi ganteng kan beda² ya tergantung persepsi masing². Kalo jelek itu mutlak🤣🏃🏃🏃🏃**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
aphrodite
jadi pusing kan ..di satu sisi Antonio sosok seorang Bapak yg Alya idamkan Fariz dan Karina juga baik tapi ini tantangannya suami nyebelin kayak Bapaknya..ambil gak nih tantangan toh berpengalaman menghadapi sifat nyebelin seperti si Dadang
2024-10-08
1
𝐙⃝🦜Md Wulan ᵇᵃˢᵉ 🍇
suka aja aku mah mau evan.amu Fariz juga
2024-01-09
1
𝐙⃝🦜Md Wulan ᵇᵃˢᵉ 🍇
nanti pak Dadang kesepian ditinggal Alya
2024-01-09
1