Still Jefri POV.
Begitulah hari-hari kami lewati setelah menikah. Karena masih dalam masa cuti bekerja, tak banyak yang kami lakukan. Pergi ke mall melihat-lihat furniture, hangout dengan teman-teman, mengikuti acara keluarga, atau hanya sekedar berbaring di kamar seharian, mencoba-coba gaya baru dalam bercinta. Hahhahaa.
Untungnya setelah kami konsultasi, Tika sudah mau menerima ketakutannya. Membiarkan aku melakukan pelepasan ku didalam rahimnya, bahkan terkadang dia yang menggoda libido ku.
Bahkan tak jarang aku mendapatkan keusilan darinya. Setiap pagi dia yang selalu menaiki tubuhku, belum lagi kalo makan malam di rumah Jerry, adikku. Dia menggodaku dengan tiba-tiba mengelus pahaku sampai ke pangkal pahaku. Biasanya aku hanya tersenyum dengan tingkahnya itu.
"Sayang, malam ini kita nginep di rumah Mamah ya? Boleh gak?" pintanya.
Aku meruncingkan sudut mataku, "Ga betah disini?"
"Bukannya ga betah, aku kangen Mamah, kangen kamarku juga. Ya ya mau ya?"
"Tapi tiap hari kamu ngehubungin Mamah kan?"
"Iya dong, kadang nelpon kadang videocall, emang kenapa?"
"Ya ga papa sih. Ya udah nanti kita tidur disana."
Tika mengecup pipiku mesra.
Hari ini rencana nya kami akan pergi ke mall untuk bertemu dengan Lisa dan Alex, hangout santai sebab sebentar lagi mereka akan segera pergi ke Inggris untuk menemui Tantenya Lisa.
Alex ingin menyampaikan keseriusannya pada Lisa. Dan akan segera menyusul kami ke pelaminan.
"Beeeeebbbbb miss you!" teriak Tika saat bertemu Lisa didepan Starbak.
"Miss you too. Gimana gimana? Udah lega habis jujur ke suami?" sahutnya sambil tersenyum melirik ku.
"Jadi lu udah tau?" serangku pada Lisa.
"Ya tau lah, dia curhat kaleee!" sombong Lisa.
"Makanya Jef, kalo lu bingung liat bini lu tiba-tiba aneh, lu tanya Lisa aja, pasti tau dia." sahut Alex menambahi.
"Shit!! Jadi aku doang nih yang telat tau nya?" protesku.
Tika langsung memelukku, "Bukan gitu sayang, aku bingung ngomongnya gimana."
"Kan sekarang aku suami kamu, masa masih bingung juga? Malah Lisa sama Alex yang tau ketakutan kamu itu. Gak fair dong!" omelku.
"Maaf maaf." dikecupnya pipiku, "Udah ah, yuk ke dalem."
Setelah selesai kami memesan coffee, kami pun segera mengambil tempat duduk sofa agar lebih santai mengobrol.
"Trus hasil check-up kalian gimana? Ga papa dong?" tanya Lisa.
"Iya ga papa kok, semuanya baik-baik aja." sahutku cepat.
"Trus udah dicoba lagi dong?" goda Alex.
"Udah dong, coba terus pokoknya, sampe dapet. Iya kan yang?" tanyaku pada Tika yang masih bergelendotan di tubuhku.
"Iya iya. Eh trus kalian berangkatnya hari apa?" tanya Tika.
"Sabtu depan. Doain lancar ya.." sahut Alex lagi.
"Deg-degan gak Lex?" tanya Tika lagi.
"Ya iya lah, kan ntar ga cuman ketemu tantenya doang."
"Trus nyokab lu gimana Lex?" tanyaku.
"Nyokab sih udah setuju dari awal, bokap juga fine-fine aja. Bahkan awalnya mereka juga mau ikut, biar sekali jalan aja katanya. Tapi gua males kalo mereka ikut, ntar rempong dijalan. Lu tau lah nyokab gua gimana." jelas Alex.
Aku hanya tersenyum menanggapi cerita Alex. Aku turut bahagia untuk mereka. Karena jujur saja, Alex tipe lelaki yang lebih playboy menurutku. Namun pemikirannya lebih praktis dan lebih rasional. Walaupun umurku jauh diatasnya, aku banyak belajar dari pola pikirnya. Hingga aku berani mengambil keputusan menikahi Tika yang sebenernya aku belum terlalu mengenal sifatnya. Aku bahkan tidak tau bagaimana masa lalu nya.
Setelah hangout, kami berjalan berkeliling mall sambil menemani Lisa dan Alex berbelanja. Dan akhirnya kami pun ikut belanja beberapa baju dan lainnya.
---------------------
Tika POV.
🎶
Can we just talk?
Can we just talk?
Talk about where we're goin'
Before we get lost, lend me your thoughts
Can't get what we want without knowin'
I've never felt like this before
I apologize if I'm movin' too far...
🎶
Ponsel Jefri berbunyi.
"Yaaanggg! Hape kamu bunyi.." teriakku.
Saat itu Jefri sedang berada dalam kamar mandi, sedang menyikat gigi nya.
"Angkat aja, bilangin lagi sibuk." titahnya.
Ku ambil ponselnya dari atas meja disis ranjang. Pablo calling. Segera aku menghampirinya di kamar mandi.
"Pablo nih.." ucapku tanpa menggeser tombol hijau di layarnya.
"Ang-at aja, angan aku asyah. Wodseker." ucapnya sambil belepotan.
Ku geser tombol hijau dilayarnya, lalu ku tekan tombol loudspeaker. Ku letakkan ponselnya di atas meja wastafel lalu aku beranjak pergi.
Belum sempat aku melangkahkan kaki ku, dengan tangannya yang basah akibat memegang gelas cuci mulut, dia menarik lenganku. Menyuruh ku untuk tetap stay mendengarkan telpon dari Pablo.
"Jef, lu dimana?" seru Pablo.
"Hua di humah. Enapa?" jawabnya sambil terus menggosok giginya.
"Hah? Apa? Ga jelas!"
Jefri menyuruhku untuk menjawab pertanyaan Pablo.
"Jefri nya lagi gosok gigi, kenapa Pab?" tanyaku.
"Eh elu Tik.."
"Iya, kenapa Pab? Ini Jefri juga dengerin kok."
"Enggak mau ngabarin aja, besok Paul udah boleh pulang. Gua bawa dia ke rumah gua, sama nyokabnya Paula juga."
"Trus Paula gimana kondisi nya?" tanyaku sambil menatap mata Jefri.
Ia langsung berhenti menggosok gigi, kemudian sepersekian detik kemudian kembali menggosok gigi nya lagi.
"Paula masih ga mau ngomong. Tapi udah ga ngamuk lagi sih kalo ketemu gua. Tapi tetep aja nyokab nya minta dia di iket di ranjangnya."
"Dia belum boleh pulang juga?" tanyaku lagi.
"Sebenarnya udah boleh, tapi nyokab nya takut."
"Kok takut?" selidikku lagi.
Jefri selesai dengan gosok gigi nya dan berkumur-kumur.
"Ga tau, ga ngerti gua. Tapi ntar gua coba buat ngomong lagi sama beliau. Toh minggu depan rumah Paula juga udah di tempatin yang beli."
"Udah laku rumahnya?" sahut Jefri sambil memegang ponselnya dan berjalan mengajakku untuk kembali ke ranjang.
"Udah, kemaren habis kalian balik dari sini ada yang nego. Untungnya besok Paul udah boleh pulang. Jadi gua bisa ngangkutin barangnya lusa."
"Ya udah ntar lusa kita bant....."
"Sorry, kita ga bisa bantuin ya. Soalnya kita ada janji juga sama orang. Masalah penting." sela Jefri sambil membekap mulutku.
"Iya ga papa kok. Gua cuman mau ngabarin itu aja. Trus makasih juga ya Tik, lu udah ngomongin masalah biaya ke kakak lu. Lumayan potongannya. Thanks banget."
Jefri melepaskan tangannya dari mulutku, dengan mata melotot aku menatapnya, "Iya sama-sama, salam aja ya buat Paul. Gua seneng bisa bantu kalian. Semoga Paul bisa lebih baik lagi ya.."
"Iya, sekali lagi thanks ya. Bye."
"Bye." sahutku dan Jefri berempak.
Telepon itu dimatikan duluan oleh Pablo.
"Kamu kenapa sih?" tanyaku langsung pada Jefri.
"Ngapain nawarin buat bantu pindahan?"
"Loh, emang salah? Ga papa dong."
"Ga usah." jawabnya singkat sambil bersiap menarik selimut tidurnya.
Aku berdiri menatapnya, "Why?"
"Udah cukup bantuan buat mereka. Lagian aku ga mau Paul terus-terusan manggil aku Papi. Kamu ga cemburu apa?"
"Ntar juga kalo Paul udah gede, dia bisa ngerti posisi kamu. Kan ga selamanya dia bakalan manggil kamu kayak gitu."
"Enggak pokoknya enggak."
"Kamu masih kesel sama Paula?" tanyaku tiba-tiba sambil melipat kedua tanganku dibawah dada.
"Aku cuman ga mau aja liat kamu deket sama orang-orang yang berhubungan sama dia."
"Loh kok gitu?"
"Kamu gak kesel apa sama dia?"
Aku berpikir sejenak, lalu aku beranjak memasuki selimutnya, "Kesel sih, tapi lebih banyak kasiannya sama dia. Kesian sama Paul jadi kena imbas gara-gara kelakuannya. But so far, aku ga papa kok."
Jefri merengkuh ku, mengecup keningku kilas.
"Pokoknya kamu jangan terlalu berlebihan sama mereka." titahnya.
Aku mendorong tubuhnya pelan, melepaskan rengkuhannya, "Kamu takut kalo aku baik sama mereka, trus mereka manfaatin aku?"
"Bukan itu, aku takut kebaikan kamu disalah artikan sama Paula nantinya. Yang ada dia malah gangguin kita."
Aku menggelengkan kepala ku pelan, "Aku tau kamu kenal banget sama sifat Paula, semua tabiatnya kamu hafal..."
"Aku bukan hafal, cuman tau aja. Ini nih yang aku takutin. Kamu pasti mikirnya yang enggak-enggak. Aku nolak bantuin Pablo itu cuman mau biar kamu ga mikir yang macem-macem. Ntar aku bantuin, kamu mikirnya aku masih sayang. Gak aku bantuin kamu mikirnya malah gini." pasrah Jefri.
Aku terdiam. Ya emang bener sih katanya. Hampir delapan puluh persen pemikiranku seperti itu kalo saja tadi dia bilang akan membantu, tapi begitu dia melarangku untuk membantu, ya beginilah pemikiranku.
"Bisa gak kita gak usah mikirin mereka lagi? Ga usah mikirin Paul lagi? Kita pikirin hidup kita berdua aja. Lagian urusan aku sama mereka kan udah clear. Pablo juga udah diterima baik sama nyokabnya. Kamu udah bantuin memangkas biaya nya sama Haikal. Udah, cukup sampe sini aja berurusan sama mereka, bisa kan?"
Jefri menatapku tajam, "Tapi aku udah ngerebut kamu dari dia," lirihku.
"Gak ada yang ngerebut. Aku akui awalnya kita emang extreme. Aku emang selingkuhin dia. Main sama kamu di belakang dia. Tapi banyak faktor yang bikin aku milih kamu, bukan dia sebagai istri aku kan? Dan kamu tau sekarang faktor itu apa aja. Dan kalo kamu malah bantuin orang-orang terdekatnya, itu bakalan jadi boomerang buat kamu sendiri. Kamu ngerti gak maksud aku?"
"Enggak."
Jefri menghembuskan nafasnya kasar, "Biarkan Pablo yang nyembuhin Paula. Kita gak usah ikutan lagi. Itu intinya. Oke?" tegasnya padaku.
"Tapi kasian Paul!"
"Iya aku ngerti kamu kasian sama Paul. Tapi apa kamu ga kasian sama hati kamu sendiri? Ngeliat Paul yang begitu aja udah bikin kamu takut punya anak. Takut ga bisa jadi ibu yang baik. Trus yang kena imbasnya siapa? Aku kan? Suami kamu, orangtua, keluarga."
Jefri semakin menatapku dengan memengang kedua lengan atasku, "Jujur aku masih ga ngerti pola pikir kamu, tapi dari kejadian yang sudah-sudah, aku ga mau lagi dekat sama mereka. Karena aku tau itu pernah ngelukain hati kamu. Terserah kamu mau mikirnya aku jahat atau apa, yang jelas sekarang masa depan aku sama kamu. Titik."
Spontan aku langsung memeluknya erat. Memang ada kedamaian setiap kali aku memeluknya. Selalu ada rasa nyaman.
Dalam pelukkannya aku menghembuskan nafasku, mencoba untuk melupakan kajadian ini. Dan mencoba melupakan ketakutanku.
Ya selama ini memang itulah yang membuatku tidak siap memiliki anak. Aku takut jika aku tidak bisa menjadi ibu yang baik. Aku takut jika aku salah mengajarkan suatu hal pada anak ku kelak. Karena aku melihat dari apa yang Paul alami. Di umurnya yang masih kurang lebih lima tahun, caranya berinteraksi sudah seperti anak remaja. Belum lagi hidupnya yang penuh kebohongan yang diberikan orangtua nya. Aku menjadi semakin takut melihat itu semua.
Dan jujur aku akui, memang ada rasa cemburu jika melihat Paul memanggil Jefri seperti biasanya. Tapi mau tidak mau itu harus aku terima. Dan entah bagaimana jika aku melihat Paula dan Jefri kembali akrab, berbincang bersama. Ya benar katanya, dengan aku selalu membantu mereka, itu akan menjadi boomerang ku sendiri.
---------------------
Masa cuti honeymoon kami telah selesai esok. Hari ini kami berdua memutuskan untuk mengecek rumah kami lagi.
Aku bangun seperti biasanya, jogging seputaran komplek lalu sarapan buah bersama Mamah di dapur. Ya sejak terakhir kami bertemu Lisa dan Alex, kami sudah kembali menginap di rumah Mamah Ida lagi. Karena aku yang meminta, bukan karena aku bosan atau apa pun, aku hanya berupaya untuk adil tanpa Jefri sadari.
Untungnya Jefri memang sengaja meminta design interiors untuk lebih cepat menyelesaikan finishing dalam rumah, agar kami bisa segera pindah ke rumah kami sendiri.
"Pagi Mah, pagi sayang," sapa Jefri saat duduk di sampingku lalu mengecup keningku.
"Pagi." sahutku yang kemudian kembali asik dengan ponsel dan buah-buahan ku.
"Siang ini jadi kan kalian ngeliatin rumah?" tanya Mamah.
"Jadi Mah, jam 10an kesana. Soalnya kalo besok-besok belum tentu bisa ke sana lagi." jelas Jefri sambil mencomot sandwich nya.
"Mamah ikut aja ya? Sekalian biar tau dimana letaknya. Ya Mah?" tawar Jefri.
"Boleh, hari ini Mamah ga ada kegiatan juga." jawab Mamah santai, "Boleh kan Nak, Mamah ikut?" Mamah melirik ku.
"Iya ga papa kok. Bagus lagi kalo Mamah ikut, kali aja ada yang kurang, Mamah kan lebih jeli." ucapku.
Setelah kami menghabiskan sarapan dan berleha-leha, aku memutuskan untuk berenang sebentar.
"Kamu mau kemana pake bikini gitu?" tanya Jefri saat ia santai menonton televisi dikamar.
"Mau renang bentar. Kenapa?" tanyaku saat selesai memasang bathrobe ku.
"Sini deh." panggilnya.
Aku berjalan mendekati sisi ranjangnya, tiba-tiba dia menarik tanganku, membuat setengah tubuhku mendarat bebas diatas nya.
Perlahan dia menarik tali pengikat bathrobe ku, lalu menyusupkan tangannya mengelus punggung belakangku melalui tengkuk leherku.
"Nakal yaa?"
"Kamu terlalu seksi pake bikini itu, bikin aku bergairah." lirihnya pelan lalu mengecup bibirku kilas.
Aku memundurkan kepala ku sedikit, "Kamu mau?" tanyaku santai.
Belum sempat dia menjawab, aku segera berdiri, lalu ku lepaskan bathrobe ku, membiarkan tubuhku yang mengenakan bikini terekspose di kedua matanya. Ku condongkan tubuhku ke arahnya, lalu ku cium bibir tebalnya.
"Hm. Itu intu a e uka e ikit loh," ucapnya belepotan.
Ku lepaskan ciumanku, "Aku mau berenang sayang, bukan mau muasin kamu." godaku.
Dia mencengkram kedua lenganku. Lalu membalikkan tubuhku ke atas ranjang, aku tertawa terbahak-bahak. Dia mulai mengecup tengkuk leherku, tawaku semakin pecah. Rasa nikmat dan geli menjadi satu, aku semakin tertawa, lalu tiba-tiba......
"Tiiiikkk. Astaga naga!!!" seru Haikal di ambang pintu kamarku.
Aku dan Jefri menoleh, Haikal membalikkan badanya sambil mengomel, "Kalian kalo mau gituan di tutup dong pintu nya, di kunci kek, malah dibiarin kebuka gitu. Inget ini masih rumah Mamah, ada Mamah ada Bibi, ini lagi aku ngeliat yang begituan bisa sial nih!! Shit!!" sambil meraih pintu kamar dan menutupnya.
Jefri menatapku, lalu aku tertawa terbahak-bahak.
"Malah ketawa!" protesnya.
"Kan kamu sendiri yang bilang tadi, pintunya kebuka, ya bukan salah aku dong. Kamu main terkam-terkam aja." sambil membetulkan letak bikini ku.
Aku duduk, "Nanti aja ya, ntar malam, ya?" tawarku sambil mengedipkan sebelah mataku.
"Udah tanggung, welly udah bangun gimana ini?" lirihnya.
"Ya itu salah kamu lah, ayo minggir, aku mau renaaaanngg.." rengek ku sambil mendorong tubuhnya dari atasku.
Dengan lesu dia menyingkir dari atas tubuhku. Aku terkekeh geli.
"Jadi malu aku sama Haikal." lirihnya lagi.
"Ya itu urusan kamu lah." aku tertawa lalu mengenakan kembali bathrobe ku dan meninggalkan dia dikamar sendirian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 225 Episodes
Comments
Wati_esha
Hmmmm ya semua salah juga. Sudah tahu itu kamar suami isteri ... main selonong aja, babang Haikal.
2020-10-22
0
Mutia
😅😅😅
2020-06-27
1
Regunda Emilia Leltakaeb
hilang deh keperjakaan mata haikal
😅😅😅😅
2020-02-19
2