Jefri POV.
Kurasakan ranjang bergerak, seperti ada yang menaiki ranjang.
Ya bener saja, itu adalah istriku sendiri. Ia berbaring disampingku, menarik selimutnya, bersiap akan tidur.
Wangi harum sabun mandi yang digunakannya, membuat aku membelalakkan mataku dengan sempurna. Ia mematikan lampu tidur disamping sisi ranjangnya.
Dalam remang lampu tidur yang masih menyala disisi ranjangku, dapat ku lihat ia yang hendak mematikan lampu tidurku. Aku pura-pura memejamkan mataku. Menyipitkan mata agar aku masih bisa melihat tingkahnya. Ia seperti malas untuk berdiri dan berjalan untuk mematikannya. Lalu dengan perlahan ia menyeberangkan tubuhnya diatasku, meraih tombol lampu.
Tiba-tiba ide jahil ku muncul, belum sampai jarinya menyentuh tombol lampu itu, aku berencana mengejutkannya. dia masih berusaha mencondongkan tubuhnya.
"Waaa!" seruku membelalakkan mataku didepan wajahnya.
"Aaaaaaaaaaa!" teriaknya dengan tiba-tiba lalu memukul dadaku.
Aku tertawa puas.
"Kamu ini ya! Ga lucu tau!" teriaknya seketika.
Aku masih tertawa sambil menarik tubuhnya dalam dekapanku, "Kamu sih, pemalas banget, kan bisa minta tolong kau buat matiin."
"Ya aku mana tau kalo kamu masih melek. Kirain udah tidur nyenyak."
Kami tertawa cekikikan.
Tookkk..
Tookkk..
"Dul, Tika, kalian ga papa?" suara Mama lantang diluar pintu kamar.
Aku menahan tawaku. Tika menatapku sambil cekikikan.
"Ga papa Ma, amaan!" teriak Tika tiba-tiba membuat aku kaget setengah mati.
"Mama apaan sih, biarkan mereka," suara tegas Papa diluar sana menegur Mama.
"Maafkan Mama mu ini. Kalian lanjutkan saja!" teriak Papa lantang dari balik pintu kamar.
Mendengar itu Tika tertawa tertahan. Aku pun begitu, tertawa tertahan sambil menikmati pelukan kami. Tiba-tiba kami terlena sampai akhinya kami melakukan hubungan suami-istri dengan begitu lembut.
-----------------------------
Setelah selesai, ku rebahkan tubuhku disampingnya, sambil menatapnya. Lumayan lama, sampai akhirnya nafas kami kembali normal.
"Ewhhhh!" serunya tiba-tiba.
"Kenapa?" tanyaku agak panik.
Tika berbalik menatapku, "Tadi gak kamu lap? Kena paha aku," sewotnya.
Aku tidak langsung menjawab, ku tatap matanya tajam, "Kamu kenapa?" tegasku.
"Biasanya juga gitu kan?" jawabnya santai.
Aku mendirikan setengah tubuhku dengan tumpuan siku kiriku di atasnya, "Kita udah nikah hampir sebulan, kamu istri aku," tegasku lagi.
Dia menepis tubuhku dengan lengannya, lalu berdiri mengambil tissu. Me-lap paha belakangnya.
"Kita udah sah. Aku wajib menggauli kamu sebagai istri aku," tambahku semakin tegas melihat tingkahnya yang begitu aneh.
Tanpa menjawab perkataanku, dia melangkah santai menuju kamar mandi, aku ikut berdiri dan mengikutinya, sebelum dia menutup pintunya, aku sempat menahan pintu itu agar tidak tertutup.
"Kamu gak mau punya anak?" tegasku dengan nada suara semakin tinggi.
"Kamu kenapa sih, bahas masalah anak terus, anak terus. Apa apa anak, apa apa bayi. Sedikit sedikit bikin anak, sedikit sedikit bikin bayi. Itu terus ga ada habisnya!" jawabnya yang lumayan mengagetkanku.
Ku dorong pintu kamar mandi keras, hingga dia termundur jauh. Perasaanku tiba-tiba menjadi kacau. Aku emosi.
"Sekali lagi aku tanya, kamu ga mau punya anak sama aku? Kamu ga mau ngelahirin anak buat aku?" tegasku lagi sambil meraih dan mencengkram kedua lengannya.
"Aw, sakit!" serunya.
"Jawab!!" tegasku semakin menjadi.
"Aku bosen ya bahas ini terus se ...."
"Aku ga bakalan berhenti tanya sampai kamu jawab, kenapa kamu jadi kayak gini? Setiap bahas masalah bayi, masalah anak, kamu pasti ngehindar, ngalihin pembicaraan ato enggak kamu seolah gak denger aku ngomong apa. Hah?! Ayo jawab!" tegasku lagi dengan mencengkram lengannya semakin kuat.
"Sakit Jef, kamu nyakitin aku," teriak nya lagi.
Aku semakin bingung dengan tingkahnya.
"Aku lepasin kamu, tapi kamu harus jawab, kamu ga mau punya anak sama aku? Hah?" lirihku melemah didepan wajahnya.
Dia meneteskan airmatanya, "Aku mau ...." jawabnya lirih.
"Trus kenapa tadi? Apa yang kamu lakuin tadi?"
Dia menundukkan kepalanya, "Aku belum siap ...." lirihnya lagi, "aku takut, aku ga bisa jadi ibu yang baik. Aku takut, aku ga bisa ngajarin hal yang baik." lirihnya sambil terisak.
Hatiku luluh, ternyata itu alasannya selama ini. Hanya ketakutan dari dirinya sendiri yang membuatnya berubah setiap aku membahas masalah ini.
Ku tarik kedua tangannya yang tadi aku cengkram kuat. Ku letakkan kedua tangannya di pundakku, ku rengkuh tubuhnya dalam dekapan ku. Dia semakin terisak.
Aku makin mengeratkan tubuhnya yang polos itu. Kebingunganku selama ini akhirnya terjawab sudah. Tika hanya merasa takut untuk memiliki anak, bukan karena tubuhnya yang bermasalah. Tapi karena ketakutannya sendiri. Aku pikir ada sesuatu yang di sembunyikannya dari ku yang belum aku ketahui, tapi ternyata tidak.
Apalagi saat beberapa hari yang lalu kami memeriksakan kondisi tubuhnya. Dengan jelas sekali Dokter Ranti mengatakan bahwa tubuhnya baik-baik saja, rahimnya pun dalam kondisi yang sehat dan subur.
Namun begitu melihatnya seperti ini, aku jadi ragu. Ku bawa ia berjalan dalam dekapanku sambil mengarah ke ranjang. Ku tarik sprei yang kotor tadi dan ku lemparkan ke lantai. Ku dudukkan ia di pinggir ranjang. Aku berlutut di hadapannya, ku singkap rambutnya yang tergerai menutupi wajahnya. Pipinya basah, matanya sembab. Cahaya dari kamar mandi dapat dengan jelas memperlihatkan raut wajahnya.
"Kamu pasti bisa jadi ibu yang baik. Kita belajar jadi orangtua yang baik untuk anak-anak kita nanti," lirihku sambil memantapkan genggaman tanganku padanya.
"Aku takut aku ga bisa lahirin anak yang sempurna buat kamu ...." lirihnya sambil masih menangis.
"Kenapa mikir gitu?"
"Aku ga perawan sebelum kenal kamu."
"Tapi kamu dengerkan kata Dokter Ranti? Rahim kamu sehat, semua baik-baik aja."
Dia tetap saja menangis cecegukkan.
"Aku nikahin kamu buat masa depan, artinya aku terima semua masa lalu kamu. Aku ga peduli keperawanan kamu ada ditangan siapa, yang jelas aku pingin punya keluarga kecil sama kamu," ucapku kembali tegas untuk meyakinkannya.
Ku tatap wajahnya dengan segenap hati, ku tangkupkan kedua tanganku pada pipinya. Lalu aku berdiri mencium keningnya dan ku dekap erat tubuhnya.
"Udah yaa, jangan gini. Kamu dengerkan kata aku tadi? Aku yakin kita bisa mendidik anak kita dengan baik." dekapku sambil duduk di sampingnya.
"Udah.. Ssssttt.. Jangan takut, kan ada aku. Kalo kamu terus-terusan takut punya anak, trus kapan kamu bisa buktiin ke diri kamu sendiri kalo masalah perawan gak perawan itu gak mempengaruhi?"
"Kan kita coba dulu, usaha dulu, ya? Mau kan?" kataku sambil mencoba melihat wajahnya.
Ku usap airmata yang membasahi kedua pipinya.
"Besok kita atur jadwal buat check-up kandungan ya? Mau kan? Aku juga cek. Gimana? Ya?" usulku.
Tika menganggukkan kepalanya pelan. Ku kecup lagi keningnya sambil ku peluk erat tubuhnya. Dan ku bawa ia bergeser, berbaring di tengah ranjang dalam dekapanku. Ku tarik bedcover yang ada untuk menutupi tubuh kami yang polos tanpa sehelai benang pun.
Tika mulai tenang, isak tangis nya perlahan hilang, aku mengantarkan tidurnya sampai ia benar-benar terlelap dalam pelukkanku. Kemudian ku biarkan jemariku yang masih saja mengelus lengannya diatas perutku hingga akhirnya aku pun ikut tertidur pulas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 225 Episodes
Comments
Wati_esha
Duhhhh Tikaaaa
2020-10-22
0
es dawet
tika kenapa ya
2020-06-29
1
Nurul Huda
heran aku sm tika...
2020-04-21
1