Tika POV.
Jika di hitung, hari ini adalah hari ke sepuluh setelah aku dan Jefri kembali dari pulau honeymoon kami. Dan tepat satu minggu aku menginap di rumah Mertuaku. Mereka memperlakukan aku dengan sangat baik, seperti anaknya sendiri.
Setiap pagi aku membantu Mama Alena ke pasar, karena memang di rumah ini tidak ada asisten rumah tangga seperti di rumahku. Semua pekerjaan rumah Mama Alena sendiri yang mengerjakan. Untungnya Mamahku sudah mengajarkan banyak hal tentang kebersihan rumah, entah itu menyapu, mempel lantai, membersihkan perabot rumah bahkan sampai mencuci baju dengan kucekan tangan pun pernah aku lakukan. Jadi aku tidak terlalu kaku jika mengerjakan itu dirumah mertuaku.
"Pagi Maa.." sapaku sambil mencium pipi Mama.
Ya itu kebiasaan ku dengan Mamah ku dirumah, yang aku bawa ke rumah mertua ku. Untungnya mereka welcome dengan kebiasaan ku yang satu ini.
"Pagi sayang, Dul belum bangun?"
"Udah sih tadi, tapi ga tau merem lagi apa enggak." aku mengambil segelas air lalu meneguknya sampai habis.
"Kalian hari ini mau ke rumah sakit kan?"
"Iya, Ma. Jam 10an. Kok Mama tau?"
"Tadi malam Papa cerita. Kamu yakin mau ikut?" tanya Mama sambil menyiapkan sarapan.
"Iya, tapi aku nungguin di ruangan Haikal aja."
"Yakin?" Mama memastikan.
Aku menganggukkan kepala pelan.
"Apa Papa temenin juga kesana?" tanya Papa yang tiba-tiba muncul di dapur.
"Ga usah Pa, Dul pasti bisa nyelesein kok. Aku percaya sama dia." jawabku mantap.
----------------------
Jefri POV.
Aku memutuskan untuk segera turun ke bawah menyusul istriku untuk sarapan. Ku lihat Papa sudah lebih dulu masuk ke dapur saat aku menuruni tangga.
Aku menghentikan langkahku saat Papa menawarkan diri untuk ikut menemani kami ke rumah sakit hari ini. Aku juga mendengar jawaban yang Tika ucapkan.
"Ga usah Pa, Dul pasti bisa nyelesein kok. Aku percaya sama dia." ucap Tika.
Aku terenyuh mendengar kalimat sederhana yang keluar dari mulut istri ku ini. Betapa tulusnya hatinya untuk mempercayai ku lagi sebagai suaminya. Aku tidak boleh mengecewakannya, batinku.
Aku membiarkan beberapa saat mereka berdiskusi ringan. Setelah itu baru aku masuk ke dapur dan bergabung bersama mereka untuk sarapan.
"Nanti kalo ada apa-apa kabarin Papa ya? Biar Papa bisa langsung kesana." titah Papa padaku setelah kami selesai sarapan.
"Tika ga sendirian kan nunggu disana?" tanya Mama lagi.
"Enggak, nanti ada Lisa kok Ma, Alex juga." jawabku singkat.
"Ya udah kalo gitu, Papa berangkat duluan ya. Papa ada meeting pagi ini." pamit Papa sambil berjalan mencium kening Mama lalu pergi.
Aku dan Tika pun langsung kembali ke kamar dan bersiap untuk menyelesaikan semua ini.
------------------
Alex POV.
Pagi ini aku bangun dengan semangat. Semangat yang berbeda dari biasanya. Aku sudah janjian denganLisa akan menjemputnya jam 9 lewat lalu kami akan bertemu dengan Tika dan Jefri di rumah sakit tempat Haikal.
Tadi nya aku berpikiran untuk membiarkan Jefri dan tika yang menyelesaikan masalah mereka sendiri. Kami yidak usah ikut camour dalam hal ini, cukup kami tau cerita nya. Tapi karena Lisa yang bersemangat sekali membantu sahabatnya jadilah aku juga tiba-tiba merasa harus ikut andil dalam masalah ini.
Betul kata Lisa, kami harus membantu mereka agar pernikahan mereka berjalan lancar dan aman selamanya. Karena secara tidak langsung kami memang sudah terlibat.
Aku juga mungkin tidak akan tega untuk membiarkan Jefri menghadapinya sendiri. Jefri memang lebih tau dari ku, dan aku pun sudah menganggapnya sebagai saudaraku. Lumayan lama kami berteman, dan kurang lebih nya aku banyak tau tentang hubungannya dulu dengan Paula. Dari cerita nya yang sering dibaginya dengan ku pun, aku sudah bisa menilai bagaimana sikap Paula.
Wanita itu terlalu licik. Aku juga akan merasa was-was jika aku diposisi Jefri.
Dengan kemantapan aku menyetir mengarahkan mobilku menuju rumah Lisa untuk menjemputnya. Sempat terlintas dalam otakku, ternyata aku tidak salah memilih calon istri. Lisa juga wanita yang berhati mulia dan setia kawan. Dalam keadaan seperti ini dia tidak egois. Dia masih saja mau membantu sahabatnya, Tika.
Padahal masih banyak urusan lain yang wajib di benahinya. Urusan hubungan kami salah satunya.
"Aku gak bakalan tenang kalo pergi ninggalin Tika dengan kondisi seperti itu tanpa aku disisinya. Kamu kan tau Tika cuman punya aku buat cerita." jelas Lisa saat berada di sampingku.
"Iya iya, semoga aja Paula gak bikin ulah nanti. Kamu temenin Tika terus loh ya nanti." aku mewanti-wanti.
Kami sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit.
"Coba kamu telponin mereka, udah dimana?" saranku pada Lisa, dia dengan sigap langsung menghubungi Tika.
Lisa meraih ponselnya kemudian menghubungi Tika.
"Hallo, Tik? Udah dimana?" sapa Lisa.
"Oh iya, kami juga udah deket. Pablo gimana? Udah ada ngehubungin?" tanya Lisa lagi.
"Oke deh kalo gitu, see you.." Lisa memutuskan sambungan teleponnya.
"Mereka udah di jalan, udah hampir sampai katanya." ucap Lisa memberitahuku.
"Bagus deh. Semoga aja Paula ga ngamuk-ngamuk ngeliat Pablo muncul." harapku.
"Iya semoga.."
Kami sampai di parkiran basement rumah sakit. Di pojokan aku juga melihat mobil Jefri telah terparkir rapi disana. Tak lama berselang, mobil Pablo pun melewati kami, memarkir tak jauh dari mobil Jefri. Kami turun dari mobil dan melangkah menuju mereka.
"Hallo, Kal? Kami udah basement.. Iya liat, oh oke, tungguin disana ya?" ucap Tika berbicara pada telepon nya.
"Yuk, Haikal udah nungguin di atas." ajaknya.
Kami semua pun segera menuju lift.
"Lu bawa hasil DNA nya kan?" tanya Jefri pada Pablo saat di dalam lift.
"Iya bawa kok. Emang anak gua sakit apaan sih? Kok berbulan-bulan di rumah sakit?" tanya Pablo sambil memandang kami bergantian.
"Gua ga tau. Terakhir waktu gua ketemu itu, dia operasi karena dia sulit buat bernafas. Itu aja sih." jelas Jefri santai sambil merangkul Tika.
"Kira-kira kalo Paul ketemu gua, dia seneng gak?" tanya Pablo dengan tatapan mata kosong.
Kami semua saling melempar pandangan satu sama lain.
"Mungkin di awal dia bakalan bingung dulu. Agak sulit buat ngejelasin hal ini ke anak umur 5 tahunan. Tapi lu mesti optimis, pelukan seorang ayah kandung itu pasti terasa beda. Ya kalian mesti pinter-pinter aja ngolah basaha kalian biar Paul bisa ngerti. Yang penting kalian ngelakuinnya pakai hati dan itu akan terekam dalam memory ingatannya, selebihnya biar Tuhan yang atur jalannya." cerocos Tika panjang lebar namun tepat sasaran.
Aku setuju dengan pola pikir Tika.
Ting..
Suara lift, tanda kami telah sampai di lantai yang kami ingin kan. Begitu pintu lift terbuka, Haikal sudah berdiri disana dengan gagahnya. Mengenakan setelan Dokternya yang serba putih dengan campuran biru muda.
"Kita ke ruangan gua dulu." ajak Haikal yang langsung berbalik dan melangkah di depan kami, kami mengikuti nya.
"Tadi gua udah nanya ke dokter yang nanganin Paul. Kondisi dia stabil. Tapi dia masih pakai tabung oksigen. Badannya memang masih agak lemah, tapi ga papa kita datang sebagai tamu yang menjenguknya." jelas Haikal saat kami dusah terkumpul di dalam ruangannya.
"Saat ini Haikal lagi sama Neneknya, Paula lagi di ruangan dokter buat konsultasi, karena kemaren Paula mengajukan permohonan untuk rawat jalan." tambah Haikal lagi.
"Memang anak gua sakit apa?" tanya Pablo cemas.
"Ada infeksi saluran pernafasan bagian bawah, itu termasuk pneumonia dan bronkitis. Beberapa bulan yang lalu dia sudah sempat di operasi, hasil operasi nya berjalan lancar dan aman. Seharusnya minggu lalu Paul sudah dinyatakan boleh pulang. Tapi tiba-tiba aja dia kembali sesak nafas." jelas Haikal serius pada Pablo.
Pablo terlihat cemas, wajahnya sendu.
"Yuk kita ke sana sekarang? Gua temenin lu masuk ketemu anak lu." tawar Haikal.
Kami semua mengangguk. Jefri memeluk Tika.
"Doain ini cepet kelar ya?" pintanya saat merengkuh tubuh istrinya erat.
Tika tidak bersuara. Ia hanya terlihat mengeratkan dekapannya pada tubuh kekar Jefri. Jefri mengecuo kening Tika, lalu mereka saling memandang dan tersenyum.
"Jangan emosi." lirih Tika mengingatkan Jefri.
"Iya, aku boleh minta cium?" tanya Jefri pelan.
Tika segera menangkupkan kedua tangannya di pipi Jefri lalu mencium mesra bibir Jefri. Lisa yang sedari tadi menggenggam tanganku seakan mengeratkan genggamannya. Aku menoleh, ada genangan air disudut matanya, refleks aku mengecup puncak kepalanya.
"Everything will be fine.." lirihku.
Lalu kami semua keluar, meninggalkan Lisa dan Tika di ruangan itu.
Jantungku lumayan terpacu, aku gugup. Takut terjadi sesuatu nantinya. Aku sudah membayangkan bagaimana nanti reaksi Paula? Bagaimana pula reaksi ibu nya Paula yang saat ini menemani Paul? Apa ibu nya tau tentang semua ini? Lalu bagaimana cara Jefri menjelaskan semua ini pada Paul? Bagaimana reaksi ibu nya Paula bertemu dengan Jefri dan melihat Pablo?
Ah pikiranku menjadi kacau. Ku lirik sekilas raut wajah Jefri, sama, seperti berpikir keras. Seolah sedang merangkai sebuah kalimat agar mudah di mengerti oleh anak-anak berusia 5 tahun.
Aku berusaha bersikap santai. Semoga saja tidak terjadi apa-apa. Doa ku dalam hati.
Ceklek.....
"Papi??" seru anak itu dari atas ranjangnya.
Disebelahnya terlihat seorang wanita berumur yang sedang menyuapinya makan.
Jefri melangkah mendekati anak itu, "Apa kabar Paul?"
"Aku sudah sehat. Keluarkan aku dari sini Pi. Aku bosan.." rengek anak itu pada Jefri.
Jefri hanya mengacak-ngacak rambut anak itu sambil tersenyum. Lalu Jefri berjalan mendekati wanita berumur disebelah ranjang.
"Tante, apa kabar?" sapa Jefri sambil bersalaman dan mencium punggung tangan wanita itu.
"Baik." jawab wanita itu singkat, tanpa mau menoleh menatap wajah Jefri.
"Maaf Tante, saya kesini mau ngejelasin sesuatu. Entah Tante sudah tau atau belum. Pablo.." panggil Jefri.
Pablo mendekat lalu menyodorkan tangannya pada wanita berumur itu yang ku duga sebagai ibu nya Paula. Wanita itu menepis tangan Pablo kasar.
"Papi siapa om ini?" tanya Paul tiba-tiba.
Jefri berdiri berpindah ke sebelah ranjang satunya.
"Paul, om ini adalah Ayah Paul." ucap Jefri sambil tersenyum.
------------------------
Jefri POV.
"Ayah?" sahut Paul bingung lalu menatap Pablo bingung.
Pablo duduk di pinggir ranjang. Dengan wajah yang gembira, "Ayah boleh minta peluk?"
Paul hanya mengangguk. Pablo langsung memeluk Paul dan berkali-kali mengecup puncak kepala anaknya itu.
Semenjak Paul lahir, dia hanya bisa melihat nya dari kejauhan. Baru kali ini dia menyentuh dan memeuluk anaknya sendiri, darah dagingnya selama ini. Aku menjauh dari sana, membiarkan ayah dan anak itu berdua.
"Nyokab nya tau gak sih?" bisik Alex saat aku mendekatinya, berdiri disamping nya.
"Entahlah." jawabku singkat.
Kami membiarkan mereka berdua bercengkrama. Pablo memberikan sebuah bingkisan untuk Paul yang sedari tadi di bawanya.
"Ini untuk anak Ayah." ucap Pablo.
"Apa ini?" Paul segera membuka bingkisan itu, "Wah transformer. Makasih Ayah." seru Paul gembira.
Tak berapa lama berselang pintu kembali terbuka.
"Apa-apan nih??" seru Paula yang terkejut melihat kami semua ada disini.
Terlebih lagi saat mata nya tertuju pada Pablo dan Paul yang terlihat akrab diatas ranjang. Dengan cepat Paula melangkah merebut mainan yang sedang di mainkan Paul lalu membuangnya ke sembarang arah.
Bruukkk..
Mainan itu hancur. Kami semua terdiam melihat tingkahnya. Paul merengek dan mulai menangis.
"Ngapain lu disini? Keluar!!!" usir Paula pada Pablo.
"Apa aku ga boleh ketemu anak ku sendiri, darah daging aku?" tegas Pablo tak mau kalah.
"Dia bukan anak lu, dia anak gua. Gua yang lahirin dia dan lu bukan siapa-siapanya. Gua ga kenal sama lu." teriak Paula menggema diruangan ini.
"Mau sampai kapan kamu bohongin semuanya? Hah?" Pablo mulai berdiri dari ranjangnya.
Mereka berdua saling mengencangkan urat lehernya masing-masing. Berdebat dengan kencang. Sampai akhirnya ibu Paula menengahi.
"Sudah!! Sudah!! Cukup!! Kalian ga kasian apa sama Paul? Dia butuh istirahat. Butuh kasih sayang dan perhatian, bukan butuh tontonan memalukan seperti ini!!" teriak beliau tak kalah nyaring yang membuat Paula dan Pablo akhirnya terdiam.
Paul menangis tersedu-sedu. Merengek gara-gara mainan nya barunya hancur.
Aku, Alex dan Haikal hanya terdiam, saling memandang satu sama lain. Lalu Haikal memberanikan membuka suara.
"Biarkan Paul istirahat.. Maaf Bu, kami mengganggu, kami mohon pamit." ucap Haikal lantang.
Ibu Paula hanya mengangguk pelan, "Bawa juga mereka berdua keluar, cucu ku butuh istirahat." sahut beliau.
Diluar kamar, Paula menarik tanganku, "Jadi gini cara kamu?"
Aku menatapnya kasihan, "Paul butuh ayah kandungnya. Bukan kebohongan. Sekali lagi kamu sudah nyakitin Paul. Aku cuman mau Paul cepat sembuh."
"Sembuh dengan membawa si brengsek ini?" sahut Paula dengan nada yang meninggi.
Tiba-tiba Pablo menarik tangan Paula lalu menyeretnya hingga ke halaman luar rumah sakit.
Kami mengejar mereka berdua, takut Pablo khilaf atau Paula yang khilaf.
"Aku brengsek? Dari segi mana nya aku yang brengsek?? Jawab!!!" seru Pablo setelah melepaskan lengan Paula keras hingga Paula tersungkur di lantai lengkap dengan derai airmatanya.
"Segitu buta nya kamu sama posisi aku? Hah?!" serunya lagi.
"Perlu aku ingatkan lagi gimana cara kamu datang? Gimana cara kamu merengek meminta aku memuaskan hasrat kamu saat itu?" kemudian Pablo mendekatinya, berjongkok.
"Kamu yang minta aku buat gak pakai ******, karena kamu bosan dengan Jefri yang selalu menggunakan ******. Berkali-kali aku ingatkan kalau aku ga bisa ngontrol. Tapi berkali-kali juga kamu bilang kalau kamu bisa minum pil pencegah."
Paula semakin histeris, namun Pablo tidak hanya sampai disitu untuk membuka kembali memory Paula.
"Awalnya saat kamu cekcok dengan Jefri, kamu datang ke rumah, melampiaskan semua amarah kamu ke aku. Lalu sekarang kamu bilang aku brengsek?!" tambahnya lagi sambil mencolek pipi Paula.
Paula menjauh, diusapnya airmatanya, lalu memandang ke arahku dengan penuh amarah. Kemudian menyerangku secara tiba-tiba.
"Semua gara-gara ******* itu. ******* brengsek. ******* jahanam..." ucapnya sambil memukuli tubuhku hingga aku tersudutkan ke dinding.
Ku biarkan dia memukuli ku dengan sesuka hatinya, ku tutupi wajah ku dengan kedua lenganku. Lalu tiba-tiba, "Plaaakk!"
Aku terkejut, begitu ku buka lengan ku, ternyata ibunya Paula yang menhasilkan bunyi tamparan itu di pipi mulus anaknya. Dengan tangan yang bergetar beliau menatap anaknya sedih.
"Mama ga pernah ngajarin mulut kamu kayak gini.. Mama ga pernah ngajarin kamu untuk mengorbankan kehidupan orang lain untuk menanggung dosa kamu. Memaafkan dosa yang kamu perbuat saja sudah berat bagi Mama, sekarang kamu malah menyeret orang lain yang lebih banyak untuk ikut berdosa bersama kamu. Dari mana kamu belajar semua itu? Jawab Mama!!" tegas beliau sambil berlinang airmata.
Paula menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Terdengar kembali suara isak tangisnya, lalu tubuhnya tiba-tiba jatuh ke lantai. Paula pingsan.
Haikal segera membawa Paula ke UGD bersama suster-suster yang di panggilnya. Sedangkan aku, Alex, Pablo dan Ibu Paula masih berdiri di tempat yang sama. Tubuh Ibu nya pun mulai lemas, dengan sigap aku menangkap beliau hingga kami terduduk dilantai. Beliau menangis.
"Tante..." sapa Pablo mendekati kami.
"Kamu masuk, temani Paul, dia sendirian dikamarnya." titah beliau disela-sela tangisnya.
Pablo pun segera masuk menuju kamar Paul.
"Tante minta maaf atas nama anak Tante." ucap beliau masih disela tangisnya, "Andaikan Tante tau dimana lelaki itu, Tante tidak akan tinggal diam seperti ini. Berkali-kali Tante bertanya, berkali-kali juga dia menjawab jika kamu mau menganggap Paul sebagai anak kamu." cerita beliau.
Aku melirik Alex yang berada tepat di belakang beliau.
"Tante, saya emang sayang sama Paul, tapi untuk lebih dari itu, jujur saya ga sanggup. Dan Paula banyak berubah setelah dia mengenalkan anaknya dengan saya." jelasku.
"Tante yang minta maaf, kamu jadi harus ikut menanggung semua ini." ucap beliau sambil menghapus airmata nya, "Istri kamu pun malah menjadi kambing hitam dari Paula. Tante benar-benar minta maaf."
Dengan spontan aku merengkuh ibu Paula, "Aku yang salah Tante, mungkin seharusnya dari awal, saat cekcok dengan Paula, aku tidak....."
"Semua sudah terjadi. Tante hanya ingin cucu Tante sehat dan cepat keluar dari sini." lirih beliau.
Lalu dengan lunglai, aku memapah beliau, kembali ke ruangan Paul dibantu dengan Alex. Ku lihat Paul sudah terlelap sambil memeluk Pablo.
"Tante diminum dulu.." Alex menyodorkan segelas air mineral.
Setelah beliau agak sedikit tenang, aku dan Alex berpamitan untuk segera pulang. Beliau mengizinkan.
"Besok-besok, ajak istri kamu ke sini. Tante ingin minta maaf." pinta beliau.
"Pasti Tante. Mari permisi..." pamitku.
Kemudian aku dan Alex segera keluar dari sana, meninggalkan Pablo yang juga ikut terlelap bersama Paul, anaknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 225 Episodes
Comments
Wati_esha
Clear semua, cuma Paula yang masih ngotot.
2020-10-22
0
es dawet
lanjuut
2020-06-29
1
zei
nmnya siapa sih thor kok d pggil dul.aq gk ngeh dr sking d ubek2 htq😆😆
2019-12-17
3