Jefri POV.
Aku dan Tika berada dalam kamarnya. Menatap takjub tumpukan kado yang baru saja di masukkan kesini. Aku menghempaskan tubuhku pada bibir ranjang. Sedangkan Tika masih mematung berdiri, melihat kado-kado itu.
"Kayaknya lebih dari seratus deh ini...." ucapnya.
"Coba tebak, isinya pasti banyak sprei sama bedcover," sahutku.
Dapat ku dengar Tika menghembuskan nafas panjangnya.
"Permisi Non, Den, ini masih ada yang ketinggalan tadi," ditangan Bi Mince masih ada beberapa paperbag yang dibawanya dari bawah.
Aku segera berdiri dan menyambut barang-barang yang diserahkan Bi Mince, "Makasih ya Bi."
Bi Mince berlalu, pintu kamar sengaja ku buka lebar. Ku taruh sisa kado tadi di atas meja rias Tika. Lalu ku hampiri ia yang masih saja menatap kado-kado itu. Ku dekap tubuhnya dari belakang. Ku kecup tengkuk lehernya, dia memiringkan kepalanya agar aku bisa leluasa mengecup tengkuk lehernya itu.
"Emh...." desahnya.
Aku terus saja menciumi tengkuknya, bergerak random. Sambil menyelipkan salah satu tanganku ke dalam sisi kancing piyamanya. Mengelus lembut kulit perutnya yang terasa hangat ditelapak tanganku. Lalu aku menghentikan gerakkan bibirku.
"Tadi kenapa nangis sebelum makan?" tanyaku penasaran.
"Em. Ga papa."
"Ga mau cerita nih?" ancamku dengan tangan yang menyelip tadi, yang sudah bersiap mencubit pinggangnya langsung.
"Iya iya iya iya, aku kangen Papah begitu ngeliat meja makan itu," dia menolehkan wajahnya melihatku yang menyempil di bahunya.
"Dulu Papah sering banget marah gegara kami ga makan di meja itu. Jadi begitu Papah ga ada, Max nikah, Haikal punya rumah sendiri, aku sama Mamah sepakat buat naroh meja itu di gudang."
"Kok malah disingkirin?"
"Soalnya meja itu selalu sukses bikin Mamah nangis. Dan kalo udah ngeliat Mamah nangis, ya aku nya jadi ikut nangis juga, ga tega liat Mamah sedih," jelasnya.
Aku terdiam sejenak, memejamkan mataku. Lalu menarik nafas panjang, "Kita ke makam Papah yuk! Aku kan belum izin nikahin anak perempuannya. Malah main nyelonong aja."
Tika membalikkan tubuhnya menghadapku, membuat tanganku yang terselip dalam bajunya tadi jadi susah dikeluarkan.
"Ajakin Mamah juga, kita bertiga ke sana, gimana?" tanyaku lagi.
Tika menatapku semakin tajam, aku mengernyitkan kedua alisku, tanda sedang menunggu jawabannya. Lama, dia tidak berkata apapun, hanya merespon ku dengan pelukannya yang erat. Aku pun mengelus punggungnya. Lalu ku kecup keningnya kilas.
Setelah berhasil membuka sekitar sepuluhan bungkus kado yang berukuran besar, akhirnya Tika menyerah. Ia bangkit berdiri, berjalan ke arahku yang sedang diranjang bersandar sambil menonton televisi dan merebahkan tubuhnya di atas pahaku. Aku terkekeh geli melihat tingkahnya.
"Kok berhenti? Capek?" tanyaku sambil mengelus puncak kepalanya.
"Bosen, isinya kebanyakkan bedcover set. Kalo enggak bantal cinta yang panjang itu." sahutnya lalu menghembuskan nafas kasar.
"Aku bilang juga apa, rata-rata tuh isinya gak jauh dari urusan ranjang. Kamu ga percaya!"
"Kamu udah kayak pernah nikah aja jadi pede banget. Tau banget isi-isinya apaan," sewotnya.
"Idih ketus amat sih! Kan dulu waktu Jerry nikah, aku ngeliatin mereka buka kadonya. Bahkan beberapa bedcover ada yang aku pake."
Tika menghembuskan nafasnya lagi.
"Jam berapa kita ke makam Papah?" tanyanya sambil menatapku.
"Terserah kamu."
Tika langsung duduk lalu menoleh padaku, "Kalo sekarang gimana?"
"Boleh, aku tinggal ganti baju. Kamu tanyain Mamah dulu deh, mau gak kalo sekarang," saranku.
Tika mengangguk dan segera pergi menemui Mamahnya. Aku masih bersantai sambil menonton acara televisi. Sudah lama aku tidak bersantai seperti ini. Dan rasanya masih seperti mimpi aku rebahan santai dikamar Tika ini tanpa ada rasa was-was. Aku cekikian sendiri.
Aku sungguh merasa beruntung memilih Tika sebagai istriku. Dan aku merasa nyaman bergabung dalam keluarganya yang begitu akrab dan kokoh. Di dalam otakku kini hanya ada Tika, dia prioritas hidupku saat ini dan untuk kedepannya.
Kini kami sudah didalam mobil, diperjalanan menuju makam Papah. Dulu saat baru awal-awal kenal Tika, dia pernah mengajak ku menemaninya untuk nyekar ke makam Papahnya ini. Tapi aku tidak turun dari mobil, karena aku memakai celana pendek. Tika juga tidak memberi tahuku kalau dia akan mengajakku untuk kesana.
Dan ini adalah kali kedua nya aku ke sana. Aku masih mengingat jalannya. Dan aku juga masih ingat yang mana makam Papahnya. Disepanjang perjalanan Tika dan Mamah terdiam, hanya suara alunan musik dari mobil yang terdengar. Aku pun tidak ingin merusak suasana ini.
"Sayang, nanti deket sana kita mampir beli bunga dulu ya?" pinta Tika tiba-tiba.
Aku hanya menganggukan kepalaku, lalu kembali hening. Setelah mampir membeli bunga, akhirnya kami sampai di halaman parkir makam. Tika dan Mamah segera turun lalu berjalan menuju makam Papah yang tidak jauh dari halaman parkir.
Aku menggandeng tangan Mamah dan membantunya untuk duduk. Mamah mulai menangis saat meletakkan bunga diatas batu nisan, meneteskan airmatanya dibalik kacamata hitam pekat yang dikenakannya sejak tadi. Aku duduk di samping Tika yang sedang menyentuh batu nisan Papahnya. Lalu ia seakan mengobrol sendiri.
"Pah, apa kabar? Maaf Tika kemaren jarang nengokin Papah dan Papah pasti tau kenapa alasannya. Tika sekarang udah nikah, Pah. Tika harap Papah bisa ada disana saat itu, menjadi wali menikahkan tika," lirihnya sambil meneteskan airmatanya.
Aku merangkulnya dari samping dengan sebelah tanganku lalu ku kecup puncak kepalanya.
"Ini Jefri Pah, suami Tika. Yang gantiin posisi Papah buat jagain Tika ke depannya. Doain kami ya, Pah?" tambahnya lagi lalu menangis tersedu.
Semakin ku eratkan rangkulanku. Tak terasa genangan air di pelupuk mataku mulai penuh. Tumpah perlahan melewati kacamata hitamku. Segera ku usap agar Tika dan Mamah tidak melihat linangan air itu.
Lumayan lama kami disana, untungnya cuaca siang hari ini begitu teduh. Sehingga kami nyaman untuk berlama-lama disana.
Ku lihat tulisan batu nisan itu, sudah 12 tahun Tika ditinggalkan oleh Papahnya. Berarti itu terjadi saat Tika masih SMA, 17 tahun. Saat dia baru menginjak masa remajanya. Jadi wajar menurutku jika dia memiliki sisi tegas dan sisi sensitifnya secara bersamaan. Dan aku merasa telah melakukan hal yang paling benar di hidupku untuk menjaganya, menafkahi dan menanggung hidupnya sampai nanti maut memisahkan kami.
Mamah menyentuh pundakku, "Ayo kita pulang."
Aku mengangguk. Mamah mulai berdiri. Tika pun bergerak berdiri terlepas dari rangkulanku.
"Aku bakal jagain Tika dan bahagiain Tika sepanjang hidupnya. Aku janji, " ucapku dalam hati sambil menyentuh batu nisan Papahnya.
Lalu kami pergi berlalu meninggalkan kesedihan dimakam itu.
Disepanjang perjalanan pulang, suasana dalam mobil kembali hening. Tidak ada lagi isakkan tangis yang sempat ku dengar dimakam tadi. Entah apa yang ada dalam pikiran kedua wanita ini. Aku tidak ingin mengacau. Namun tiba-tiba suara perutku mulai meronta kencang. Aku menyipitkan sebelah mataku mencoba menahan bunyi itu, tapi gagal.
Tika menoleh padaku, "Kita mampir makan ya, Mah?"
"Iya boleh, Mamah juga udah lapar," sahut Mamah.
"Mamah mau makan apa?" tanya Tika sambil menoleh ke belakang melihat Mamahnya.
"Em. Terserah kalian aja. Kalian mau nya makan apa?"
"Makan bakar-bakaran mau gak Mah? Sayang?"
"Aku terserah aja, Mamah mau gak?" tanyaku melirik Mamah dikaca spion tengah.
"Iya boleh, asal ada sayurnya aja," sahut Mamah.
"Ada dong, Mah," jawab Tika santai lalu kembali dengan posisi duduknya yang benar.
Langsung ku tancapkan gas mobil menuju rumah makan khas bakaran. Dulu aku juga pernah makan disini waktu sama Tika. Bahkan beberapa kali. Dan ternyata aku dan Tika punya salah satu kesamaan yaitu menyukai ikan bakar.
"Kalian pernah kesini?" tanya Mamah saat selesai menulis pesanannya.
"Iya, dulu," jawab Tika cuek sambil membaca buku menu.
Mamah hanya mangut-mangut sambil melihat sekitar.
"Kamu nila bakar, yang?" tanya Tika sambil menyenggol sikuku.
"Iya nila bakar, sama terong bakar tanpa santan," jawabku singkat lalu berdiri mengambil kerupuk udang kesukaanku.
"Habis ini kita ke mall ya? Mamah ada yang mau dibeli," pinta Mamah padaku.
Aku mengangguk sambil memakan kerupuk. Tika menyerahkan kertas pesanannya. Lalu sekitar lima belas menit kemudian hidangan kami pun datang. Dengan berdoa sebelum makan dalam hati, lalu kami langsung menyantap makanan itu sambil membahas ringan tentang liburan yang akan kami lakukan lusa depan.
"Mamah ga papa kan aku tinggal seminggu? Apa aku minta Haikal buat nemenin Mamah?" ucap Tika.
"Nyuruh dia itu sama juga bohong. Iya dia tiap malem pulang, tapi buat tidur. Bukan buat nemenin Mamah makan di rumah," sewot Mamah.
"Ya trus gimana dong? Apa Mamah ikut kita aja liburan? Ya kan, yang? Ga papa kan kalo Mamah ikut juga?" Tika menoleh padaku.
Dengan refleks ku jawab, "Iya ikut aja deh Mah, ntar aku cariin tiketnya yaa?"
Aku memang sudah merasa akrab dengan beliau saat sebelum aku melamar Tika. Tanpa sepengetahuan Tika, aku sering berbincang dengan beliau dulu. Lalu saat Tika kecelakaan, beliau begitu memperhatikanku, beliau juga dengan ikhlasnya saat itu mempercayakan anak perempuan satu-satu nya untuk dijaga oleh ku saat di rumah sakit. Padahal saat itu kan statusnya masih calon!
"Enggak enggak, Mamah di rumah aja, masa Mamah ikut kalian! Gangguin kalian buat bikinin Mamah cucu dong. Enggak!" protes Mamah.
Uhuukk..
Uhuukk..
Uhuukk..
Tika tersedak!
Segera ku ambilkan gelas minumnya, dia langsung meneguk habis air di dalam gelas tak bersisa. Sedangkan tangan ku yang satu nya lagi mengelus pundaknya dengan ujung pergelangan tangan.
"Kamu kenapa? Kalo makan tu yang santai, jangan buru-buru," omelku.
"Ma-mah nih, kalo ngomong tu liat-liat anak nya lagi ngunyah apa mau nelen. Uhuukk!" sewotku tak mau kalah.
"Loh memang Mamah salah ngomong?" tanya Mamah antusias.
"Ya enggak sih, cuman kan ...." Tika tiba-tiba terdiam, lalu menoleh melihatku dan melihat Mamah bergantian, "Ga papa deh, ga usah di bahas lagi."
"Udah udah ayo lanjutin makannya, biar ga kesorean ke mall nya jadi ga kemaleman juga pulangnya," titah Mamah.
Kami kembali melanjutkan makan. Aku heran dengan Tika. Rasanya kemaren-kemaren juga pernah membahas tentang ini. Dan dia selalu mengalihkan pembicaraan.
Memang sudah lama kami tidak melakukan itu. Tadi pagi pun aku gagal karena ketukan pintu Jerry. Aku ingin sekali memiliki anak bersamanya. Pasti lucu! Aku tersenyum sendiri lalu mencoba fokus untuk menghabiskan makananku lagi.
Diperjalanan menuju mall, Mamah asik mengobrol dengan temannya via telepon. Sedangkan Tika asik melontarkan pandangannya keluar jendela mobil. Sesekali aku meliriknya, memperhatikan tingkahnya. Dia menggigit bibir bawahnya, yang arti nya sedang ada yang dipikirkannya. Aku hafal sekali tingkahnya yang seperti ini. Tidak ada yang berubah.
Sesampainya di mall, Mamah langsung memisahkan diri dari kami dan jika sudah selesai dengan barang cariannya, Mamah akan segera menelpon kami. Sekarang tinggallah aku berdua dengan istriku ini.
(ya kira-kira begini deh style kami kalo jalan berdua)
"Kita kemana enaknya?" tanyaku sambil merangkulnya, melilitkan lenganku pada pundaknya.
"Kita ngopi aja yuk, kamu juga belum ngerokok kan habis makan tadi?" sarannya.
Aku mengangguk cepat. Lalu ku kecup keningnya sambil berjalan menuju coffee shop.
"Aku boleh nanya gak?" ucapku saat Coffee kami sudah tersedia di atas meja sambil menyulut rokokku.
Tika menoleh padaku, "Ya, nanya apa?" sahutnya dengan tangan yang menyangga wajahnya.
Ku hembuskan asap rokok ku pelan, "Kamu bahagia gak jadi istri aku?"
Dia menatapku sambil mengernyitkan alisnya.
"Kok nanya nya gitu?"
"Aku mau nanya aja, bahagia gak?"
"Sebelum nikah aja aku sudah bahagia, apalagi setelahnya," jawab Tika simpel.
Tapi jawaban itu mampu membuat aku tersenyum sumringah, ku kecup punggung tangannya mesra.
"Kamu beneran ga mau ngerokok nih? Udah lama loh aku ga liat kamu ngerokok," tawarku.
"Enggak ah."
"Aku ga maksa kamu buat berhenti ngerokok loh ya? Kamu yang tau mana yang terbaik buat badan kamu."
"Emang kalo istri kamu ini ngerokok didepan banyak orang kamu ga malu?"
"Aku ga malu, dari pada kamu sembunyi-sembunyi ngerokok di belakang aku? Lebih parah mana?"
"Tapi kan entar yang diliat ga baik kamu nya, masa sebagai suami ga bisa negur istri?"
"Itu kan pemikiran kamu! Lagian bodo amat sama omongan orang, mereka kan ga kasih kita makan."
Tika tersenyum menatapku.
"Trus kenapa kamu malah senyam-senyum ngeliat aku?" tegurku.
"Ga papa, suami aku ternyata idealis!"
"Banyak hal yang belum kita ketahui satu sama lain. Semoga aja kamu bisa bertahan dengan keidealisan ini."
"Semuanya bakalan baik-baik aja kalo kita bicara, komunikasi. Itu kan yang paling penting? Kalo ga ada komunikasi gimana bisa tumbuh rasa percaya?"
Aku mendekatkan dudukku padanya lalu merangkulnya dalam dekapan kedua tanganku.
"I love you!" lirihku.
"l love you more...."
Sore itu kami berdua menikmati secangkir coffee dengan di temani langit yang jingga. Semakin membuat romantis sore hari kami. Aku menjadi semakin menyayangi Tika. Aku tidak akan sanggup hidup jika dia tidak ada.
Sejak bersama dengannya, aku lebih santai dan terasa lebih menjadi diriku sendiri. Aku juga menjadi lebih banyak tau tentang dirinya. Dan aku yakin, masih akan ada banyak sekali kejutan-kejutan dalam kehidupan kami di hari esok.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 225 Episodes
Comments
'ℜ𝔢𝔱𝔫𝔬 👒ℭ𝔣.
semangka
2020-10-14
1
Wati_esha
Ishhh tetiba Tika sudah nikah aja, dan bukan dengan Dana. Kenapa thor?
2020-07-02
3
es dawet
semangaaattt
2020-06-27
1