Still Jefri POV.
Setelah semalaman berlalu. Tika istirahat tanpa mengeluhkan perutnya yang keram lagi. Aku masih saja panik, semalaman terjaga untuknya. Aku menyesali perbuatanku yang mengajak nya diving.
Kata Pak Sani, memang banyak terjadi kejadian seperti ini. Tubuh Tika memang tidak tahan dengan tekanan dalam dasar laut. Apa lagi dia baru pertama kali melakukan scuba diving. Aku merutuki perbuatanku ini, betapa bodohnya aku yang menawarkan wahana ini, sedangkan dia tidak pernah sekalipun melakukannya.
Semalaman aku merasakan ketakutan. Rasa takut yang kembali muncul saat dia kecelakaan dulu. Bahkan Pak Sani dan istri nya pun menemaniku semalaman untuk berjaga. Beliau berdua jua menawariku untuk membawa Tika ke rumah sakit di kota, jika aku masih tidak percaya dengan sistem pengobatan tradisonal ala mereka. Tapi aku menolaknya.
Pagi ini ku putuskan untuk menelpon Mamah Ida, memberitahukan keadaan Tika saat ini. Lalu menelpon Papah. Mereka marah besar bahkan mereka bilang kalau akan segera menyusul kami ke pulau ini. Aku tercekat, ku akui perbuatanku memang salah, namun aku tidak ada maksud ingin mencelakai istri ku sendiri. Dan aku juga tidak mengetahui kalau akan seperti ini jadinya.
Begitu menjelang tengah hari, Tika sadarkan diri. Aku bergegas mendekatinya.
"Sayang.. Gimana perutnya, masih sakit?"
"Emh. Udah enggak kok." ucapnya sambil menarik tanganku untuk membantunya duduk.
"Kamu kok lesu gitu mukanya?" tanyanya lagi sambil menyentuh pipi kiri ku.
Aku melekatkan erat tangannya di pipiku, "Aku khawatirlah sama kamu."
"Maaf ya udah bikin kamu panik," lirihnya pelan.
"Aku yang minta maaf, mestinya aku gak ngajak kamu diving. Kan bisa aja aku ajak kamu renang atau yang lainnya."
"Ga papa kok, kalo gak mana bisa aku liat dasar laut yang kayak gitu."
Kami tersenyum saling tatap lalu ku kecup keningnya kemudian ku peluk tubuhnya erat. Kini aku dapat bernafas lega.
Siang hari nya, aku masih menyuruh Tika untuk bedrest. Tidak ku izinkan dia ingin berjalan berkeliling atau untuk sekedar memasak di dapur. Istri Pak Sani dengan telaten membantu ku menyediakan makan siang serta membantu Tika untuk sekedar membasahi tubuhnya sebentar dengan air hangat.
Sementara Pak Sani pergi ke kota, menjemput Papa dan Max. Ya akhirnya yang pergi menyusul kami kesini adalah para lelaki. Aku memang belum memberitahukan Tika jika Papa dan Max ingin datang. Ku pikir nanti saat dia selesai dengan mandinya akan aku ceritakan.
"Bu, makasih ya sudah bantuin, sampai masakin saya sama suami saya makan juga. Jadi ngerepotin." ucap Tika yang dipapah oleh istri Pak Sani berjalan ke arahku di ruang tengah.
"Iya ga papa, ibu senang bisa membantu."
"Loh kok malah kesini? Ga rebahan?" protesku.
"Aku bosen rebahan terus, capek juga." dia duduk di sampingku.
"Ya udah, kalo gitu ibu tinggal dulu sebentar ya, ibu ke pasar, soalnya disini kalo ke pasar mesti ke kota. Ibu liat isi kulkas kalian sudah hampir habis." jelas beliau.
"Oh iya bu, makasih banyak sudah bantuin kami. Maaf saya ga bisa antar ibu ke depan." sahutku.
"Iya tidak apa-apa. Mari, permisi." Ibu itu berlalu pergi.
Ku lihat Tika bersander pada dinding sofa, menyamankan posisi tubuhnya sambil memejamkan matanya. Sedang kedua tangannya masih saja memegang perut bawahnya.
Aku sentuh tangannya, lalu perutnya, dia membuka mata, "Masih sakit?"
Dia menganggukkan kepalanya pelan, "Nyeri nyeri kalo narik nafas. Trus kalo nunduk juga lumayan sakit."
"Kita pulang ya, biar kamu bisa check-up di rumah sakit." tawarku.
"Enggak, aku masih mau disini." rengeknya.
"Kan katanya kamu juga udah bosen disini. Lagian Papa sama Max udah dijalan jemputin kita." lirihku sambil mengelus perutnya.
Tika kaget, ia melotot padaku, "Papa? Max? Kamu ngabarin mereka?" sewotnya tegas.
"I-iya a-aku ngabarin mereka. Aku panik, khawatir sama kondisi kamu kayak gini."
"Mereka bisa-bisa lebih panik lagi. Mestinya kamu tunggu aku bangun dulu buat ngabarin mereka, kamu lupa ya sama janji kamu? Katanya mau libatin aku disemua keputusan kamu.." rengeknya khas anak manja.
"Maaf, kan tadi aku udah bilang, aku panik." ku tarik tubuhnya dalam dekapanku.
"Aku takut kamu kenapa-kenapa. Kita pulang ya? Kita check-up." ku kecup puncak kepalanya.
Tidak ada respon, Tika hanya terdiam sambil membalas pelukanku. Lama kami dalam posisi seperti ini, sampai akhirnya aku menyandarkan tubuhku pada sofa namun Tika masih tidak mau melepaskan pelukannya. Sampai akhirnya kami berdua tertidur di sofa tengah.
Suara berisik mulai menyadarkan setengah tidurku. Ku buka mata ku perlahan. Ternyata Max dan Papa sudah ada di hadapan ku. Ku lirik jam tangan ku, sudah sore, jam 4mpat. Ku lihat Tika masih terlelap dalam pelukanku.
"Udah lama Pa?" bisikku.
"Lumayan, tadi Papa udah mau bangun kalian, tapi kasian juga liat kalian kayaknya capek."
"Aku ga tidur semalem, takut dia kenapa-napa. Maaf ya Max," lirihku.
"It's ok. Paling kondisi Tika menurun," jawab Max santai.
"Aku udah beresin barang. Emang sebaiknya kami pulang, Pa," lirihku lagi sambil mendekap Tika erat.
"Tika udah setuju kalo pulang?" Max memastikan.
"Udah kok, tadi udah dibicarain. Sayang.. Sayang.. Bangun dong," ucapku sambil mengelus pipinya.
Perlahan Tika menggerakkan badannya lalu duduk menghadapku. Tiba-tiba dia mengecup bibirku kilas tanpa sadar ada dua pasang mata yang memperhatikannya sejak tadi.
Aku tertawa cekikikan. Lalu dengan wajah herannya dia bergelanyut manja padaku.
"Kamu ga malu didepan Papa sama Max begitu?"
Wajah Tika langsung menegang, lalu dia perlahan menoleh ke belakangnya. Lalu memejamkan kedua matanya karena malu dan kembali memelukku.
"Kenapa ga bilang kalo Papa sama Max udah datang? Kenapa semua nya pada hening sih?" omelnya dalam pelukanku.
Aku dan Max tertawa nyaring.
"Ya kamu ga liat-liat kalo ada kami disini." sahut Papa sambil cekikikan.
Tika kembali bangkit, mencoba duduk tegap dan memasang raut wajah biasanya, "Udah lama kalian nyampe sini?"
"Sejak kalian berdua tidur pulas. Yang satu hening, yang satu lagi ngorok." jawab Max dengan senyumnya.
"Trus kita kapan pulang nya?" tanya Tika sambil menatap kami satu per satu.
"Gimana kalo sekarang aja kita ke kota? Sambil Papa minta pesankan tiket ke asisten Papa."
Tika menganggukan kepalanya dengan cepat. Aku dan Max segera berdiri dan mengambil koper kami berserta tas jinjing dan lainnya. Tak lupa kami berpamitan dengan istri Pak Sani yang baru datang dari pasar.
"Bu maaf udah ngerepotin ya? Makasih juga udah ngurusin saya sama istri.." ucapku menjabat tangan beliau. Tika pun ikut berpamitan dan mengucapkan rasa terimakasih nya yang mendalam.
Sesampainya di dermaga, Pak Sani dengan sigap memasukkan barang-barang kami, serta menyambut Tika untuk duduk duluan beristirahat di dalam kapal. Aku terkejut dengan tangan seseorang yang menyentuh pundakku. Aku menoleh.
"Hei guys." aku menjabat tangan mereka.
"Is your wife doing well?"
"Not good but not bad either. I have to bring it back to check it in hospital." jelasku.
Mereka berdua hanya menganggukan kepala mereka.
"Thank you for your generosity and sorry for ruining your day." sesalku.
"Yeah of course! You have to take care of your wife. Maybe next time we will meet again. Take care!" Ucap lelaki yang satunya lagi.
Lalu aku segera melangkahkan kaki ku memasuki kapal dan meninggalkan mereka serta pulau itu. Mungkin suatu saat nanti aku akan membawa kembali istri dan anakku ke pulau ini, batinku.
Di sepanjang perjalanan dalam kapal, aku hanya memeluk Tika dari belakang, mengelus bahunya dengan lengan yang ku kalungkan pada leher depannya. Sesekali ku kecup belakang puncak kepalanya.
Max terlihat sibuk dengan ponselnya. Sesekali ponselnya berbunyi dan Max mengangkat nya, lalu berbicara sebentar, lalu sibuk lagi menekan-nekan layar ponselnya.
Sedangkan Papa sedang menelpon asisten nya untuk memesan tiket pesawat kami pulang.
"Kita nanti mampir makan dulu ya Pak? Cari menu-menu yang hangat berkuah." pinta Papa saat memasuki mobil.
Pak Sani segera mengiyakan permintaan Papa. Dengan kecepatan sekitar 60Km/jam selama beberapa menit kami telah sampai di ibukota. Lalu mampir makan disebuah resto ternama, kata Papa.
"Wah Pak Sani masih ingat aja sama resto ini. Iya iya, masih kokoh ya?" takjub Papa.
"Iya dong Pak masih ingat, soalnya saya kalo ke kota sama istri juga makan disini. Bener kata Bapak soal rasanya, istri saya saja sampai bingung kenapa bisa seenak itu dan selalu bikin nagih Pak." cerita Pak Sani.
Papa tertawa gagah sambil keluar dari mobil. Kami pun berjalan mengikuti langkah Papa dari belakang.
Tika berjalan dengan merangkul tangan Max. Ya aku akui, Max memang sangat menyayangi adik nya itu dan Tika pun sangat menghormati Max. Jika bukan karena Max, tidak mungkin aku bisa menikahi Tika dan memiliki kehidupan selanjutnya dengannya.
Aku tersenyum malu jika mengingat prosesi nikahku seminggu yang lalu.
"Sayang! Sini! ngapain sih jalan sendiri senyum-senyum?" tegur Tika membuyarkan senyuman malu ku.
"Ga bakalan ada yang ngira kalo aku gila kok gara-gara senyum sendiri. Lagian keren begini masa gila." sewotku sambil tetap terus melangkah mengikuti jalan mereka.
Setelah selesai makan kami melanjutkan perjalanan kami lagi menuju bandara. Kami sudah mendapatkan tiket pulang berkat kegesitan asisten Papa dan kembali mendapatkan kursi di business class.
Dari semenjak kami meninggalkan pulau dan akhirnya duduk menikmati penerbangan kami kembali, tidak ada aku mendengar Tika mengeluh akan sakit perut nya itu. Dan dia hanya terdiam saja duduk disebelahku namun tidak pula tidur. Tangannya masih saja seperti yang sudah-sudah, merangkul lenganku dan bersandar pada lenganku.
"Sini aku angkat dulu sandaran tangannya." ucapku lalu mengangkat sandaran tangan itu agar kami berdua lebih leluasa.
Dia kembali pada ku, namun kini dia memeluk tubuhku erat. Aku kecup keningnya.
"Sayang, pulang ini kita tidur dimana?" lirihnya pelan.
"Dirumah kamu dulu aja ya? Kasian juga Mamah kan sendirian." usulku.
Tika mengangguk.
"Nanti kalo kamu udah agak sehatan, kita jalan buat liatin rumah kita ya?" ku kecup lagi puncak kepalanya.
"Iya, trus kan masih berminggu-minggu lagi cuti kita baru kelar. Kita ngapain dong?" ditatapnya wajahku kini di rangkul nya lenganku.
"Kan kita bisa ke mall, belanja, hangout bareng anak-anak, trus bisa bikin anak juga."
"Kamu ih, pikirannya bikin anak mulu. Kenapa mesti anak anak anak terus. Bosen dengernya." sewot nya.
Aku agak syok mendengar omelannya. Aku tarik dagunya untuk melihat wajahnya yang sudah berkerut dimana-mana karena kekesalannya.
"Kamu kenapa sih? Kalo aku bahas masalah anak pasti kayak gini." omelku terkontrol.
"Ya bosen aja denger pikiran kamu ke sana mulu." ketusnya sambil melepaskan rangkulannya pada lenganku tadi.
"Bosen? Kita baru seminggu loh jadi suami istri, trus kamu udah bosen aja?" aku makin emosi.
"Bukan sama kamu bosen nya, tapi sama arah obrolan kamu, mengarahnya ke situ terus." sahutnya lagi dengan membuang wajahnya, ga mau ngeliatin aku.
"Loh memang salah kalo suami ngebahas masalah bikin anak? Wajar dong, aku pingin punya anak dari kamu." jelasku tegas.
"Oh jadi kamu nikahin aku cuman kepingin bikin anak?" suara Tika mulai menyaring dan tidak terkontrol.
"Sssttt kalian berdua ini kenapa sih? Bisa pelan kan? Kedengeran tau. Kalian mau semua orang disini makin denger jelas?" tegur Max yang berada di kursi depan kami.
Tika membuang nafasnya kasar, melipat kedua tangannya di dada. Aku pun ikut terbawa emosi mendengar setiap kalimat yang di lontarkan mulutnya. Ku hembuskan nafasku panjang, ku tutup mata ku dan aku mencoba untuk tenang sampai akhirnya aku terlelap.
"Jeff bangun Jeff, kita udah landing.." suara Max sambil menggoyangkan tubuhku.
Aku membuka mataku, aku langsung menoleh melihat ke arah kursi Tika, kosong.
"Tika mana?" tanyaku pada Max.
"Dia udah keluar duluan begitu pintu di buka, Papa udah nyusulin dia juga kok." jelas Max.
Dia ngembek nih? Batinku.
Aku dan Max pun segera keluar dari pesawat itu. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, suasana di dalam mobil begitu hening. Papa tidak juga menyalakan musicnya saat menyetir. Sedang Max pun asik melihat jalanan malam dan juga tidak berbicara apapun.
Istriku?
Dia asik menghadapkan dirinya ke jendela, melihat jauh keluar jendela dengan serius hingga sampai didepan rumahnya.
Mamah Ida dan Mama terlihat menyambut kami didepan pintu, setelah berpelukan sebentar Tika langsung melangkahkan kaki nya, pamit untuk beristirahat.
Pagi harinya aku terkejut begitu bangun dari tidurku. Tika sudah tidak ada di atas ranjang. Ya semalam dia memang tidur di sampingku tapi tidak sambil memelukku seperti biasanya, melainkan memeluk guling. Namun dia tidak tidur dengan membelakangiku, hanya saja sepertinya guling itu terlalu menggoda untuknya. Mungkin.
Aku segera bangun. Setelah selesai mencuci wajah dan menggososk gigi, aku turun untuk mencarinya. Ku temukan sosok nya berdiri di dapur, sedang membuat kopi di mesinya.
Ku dekati pelan lalu ku kalungkan kedua tanganku di perutnya, dia tidak kaget atau pun mengelak. Lalu ku benamkan wajahku di antara tengkuk lehernya.
"Maaf ya sayang, aku emosi tadi malam. Aku ga ada maksud buat ngebentak kamu." ku kecup tengkuk lehernya lama.
Tika tidak menyahut, dia masih saja terfokus pada kopi di tangannya. Aku mengeratkan pelukkan ku.
"Hari ini kita check-up ya, kita periksain kenapa perut kamu kemaren bisa sampai sakit begitu. Aku takut perut kamu...."
"Perut aku baik-baik aja. Mungkin cuman gara-gara telat makan aja." sahutnya tegas.
"Enggak enggak enggak, kita tetep harus periksain. Mamah bikinin kalian sarapan dulu, sekarang kalian mandi trus siap-siap. Dan kamu berhenti coffee morning!" sahut Mamah lalu mencomot cangkir kopi dari tangan Tika lalu menumpahkan isi nya ke westafel.
Aku yang melihat itu refleks melepaskan pelukkanku. Aku tidak berani bersuara lagi. Mamah Ida ini sekali tegas ya tegas, agak menakutkan.
"Mamah! Itu kopi buat Jefri!!" jerit Tika mengerutkan keningnya.
Mamah kaget.
"Kopi nya buat beneran buat aku?" tanyaku cepat menoleh pada Tika.
Tanpa menyahut Tika langsung berlalu, pergi meninggalkan aku berdua dengan Mamah.
"Sorry Mamah ga tau klo itu buat kamu.." lirih Mamah.
"Jangankan Mamah, aku juga ga tau kalo itu buat aku Mah.." sahutku cepat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 225 Episodes
Comments
Wati_esha
Salah paham. Tika nggak mau, obrolan suami isteri isinya ke hubungan intim saja. Malu lah.
2020-10-22
0
es dawet
ada apa dgn tika....kok aq jd sedih ya
2020-06-27
1
Firdaus Azzahir
apa ada masalah sama rahim tika ya, tiap bahas anak bawaannya BT mulu
2019-12-20
3