Reuni.

Terpaksa aku ikuti Edo ke reuni teman seangkatannya. Kupikir daripada di rumah mendingan pergi. Lagian kasian itu anak mukanya memelas banget. Gak tega jadinya.

Walau keputusan ikut agak aku sesalkan sedikit ketika kami sampai di aula hotel tempat acara. Pasalnya pertemuan ini rata-rata dihadiri orang sukses semua. Pakaian mereka serta kendaraannya mewah-mewah. Terparkir rapi di depan. Benar kata orang kalau reuni adalah ajang pamer.

Ya maklum sih, temen-temennya Edo rata-rata sukses. Gak ada tuh yang buluk, tampilan mereka glowing kinclong rapi parlente semua. Setelah ditelusuri teman-temannya ini ada yang jadi polisi, tentara, dosen, dokter dan macam-macam. Bergengsi semua profesi mereka. Paling banter buka rumah makan dan restoran. Jadi wirausaha pencipta lapangan pekerjaan.

Salut aku. Sama sekali gak ada tuh yang jualan online apalagi jualan pop ice. Baik cewe maupun cowoknya rata-rata sukses dan berkeluarga. Yang pengangguran plus masih bujang cuma Edo. Ya walaupun bisa dibilang bukan pengangguran sih. Soalnya kontrakannya banyak. Berjejer. Panen setiap bulan. Yang gak kenal Edo pasti berpikir Edo punya peliharaan babi, babi ngepet.

"Do, itu pacarnya kok diem mulu," tegur teman Edo. Kalau gak salah tadi namanya Anwar. Dia seorang kepala desa, katanya.

Aku yang ditegur jadi kikuk sendiri dan gak sengaja mandangin Edo. Dan itu kunyuk bukannya bantuin malah menaikkan sebelah alisnya.

"Lagi sariawan dia," balasnya santai.

Sialan emang. Kesal, aku tendang kakinya yang ada di bawah. Raut mukanya sedikit bergelombang. Dia meringis. Rasain. Reseh, sih.

"Ha-ha-ha, bercanda. Gadis cuma agak malu," jelas Edo kemudian.

Aku yang melihatnya begitu cuma bisa nyengir gak enak. Lagian mana mau nyambung ngomong. Aku kan cuma tamatan SMA yang sekarang cuma kerja sambil rebahan. Mana nyambung sama mereka.

"Oh, kirain gak suka sama kita," lanjut yang lain.

Gegas aku menggeleng. "Enggak, kok, bukan begitu," sahutku. Jadi gak enak. "Aku cuma kikuk karena Edo ngajakin ke sini."

"Jangan sungkan. Kita gak gigit, kok. Kita kumpul ya karena memang kangen sama masa-masa sekolah dulu," jelas Anwar lagi. Aku makin gak enak.

"Oiya, jadi kalian kapan nikah?"

Uhuk-uhuk-uhuk!

Masya Allah, aku gak bisa meredakan batuk. Rasanya sesak, hidung kayak banget. Sulit napas jadinya. Air sirup masuk ke hidung itu beneran menyiksa.

"Astaga, Dis, kok sampai keselek gitu," oceh Edo sambil menepuk-nepuk punggungku, lalu setelahnya mendorong segelas air putih.

Aku yang udah gak bisa ngomong cuma berusaha keras meredakan batuk dengan segelas air putih Ymyang dia sodorkan.

"Makasih, Do," kataku, lalu melihat sekitar.

Saat ini aku, Edo dan teman-temannya duduk di meja bundar dengan beberapa camilan di depan. Canggung banget rasanya ditatap begini. Ada sekitar delapan orang di depanku dan mereka semua lelaki.

Di aula hotel ini ada beberapa meja bundar yang rata-rata dari mereka menikmati sajian dan hiburan. Ada pemusik di sana. Ada band, ada pemain biola dan piano. Kayaknya ada pertunjukan dance juga. Bisa aku bilang reuni ini untuk kelas atas. Gak kaleng-kaleng.

"Kamu benaran gak apa-apa, kan, Dis. Maaf kalau pertanyaan tadi bikin kamu gak enak," lanjut Anwar.

"Apanya yang gak apa-apa. Tuh coba lihat, muka cantik gadis jadi merah," sungut Edo sambil menunjuk kecil lengan Anwar.

"Maaf, Do."

"Heran, udah kayak emak-emak jaman Firaun aja. Masa nanya begitu. Lagian kami mau menikah kapan ya urusan kami lah," balas Edo yang buatku melotot gak percaya.

"Iya, kan, Dis?" lanjutnya lagi sambil kedip-kedip.

Sialan emang. Dia pikir aku beneran calonnya. Jiah, mana bisa. Yang ada badan aku yang semok ini jadi kering kerontang kalau beneran nikah sama dia. Orang usil gak pernah serius macam dia mana bisa diajak berumahtangga. Main ular tangga, iya.

Tapi aku juga gak bisa menyalahkan. Wong aku juga mau dikenalkan sebagai pacar. Hufh! Nyesel. Tau gini mending turing. Turun miring.

"Do, aku ambil cemilan dulu, ya," kataku yang berusaha sekalem mungkin. Senyum juga diukir semanis mungkin. Entar kalau udah di rumah, barulah segala jurus aku keluarkan. Semena-mena dia. Ngeselin.

"Iya, makan yang banyak biar debai kita sehat," katanya lagi. Aku auto cubit lengannya. Eh, dianya malah ngakak.

"Canda, Dis, canda. Ha-ha-ha."

Astaghfirullah.

Aku cuma bisa ngelus dada sambil berdiri melihat muka temen Edo yang rata-rata dari mereka mengulas senyuman. Entah apa makna senyumannya itu, tapi akan bisa menebak ke mana arah pikiran mereka. Sudah pasti mengalir jauh kayak pipa rucika.

Nasib! Tau begini gak mau aku ikut. Edo keterlaluan!

Daripada makin gila, aku pun memutuskan pergi ke meja prasmanan lihatin hidangan. Fokusku pun ke salad buah.

Namun, saat hendak mengambilnya tangan ini bersentuhan dengan tangan seseorang. Impulsif aku melihat si empunya tangan dan membeku di tempat detik ini juga.

"Gadis? Kamu gadis, 'kan?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!