“Edo, ngapain kamu ke sini malam-malam?” tanyaku padanya. Aneh aja dia tiba-tiba datang dengan pakaian formal. Gak kayak biasanya. Biasanya juga cuma pakai baju bola. Mana harum lagi.
"Kamu pakai parfum?" lanjutku lagi.
Aneh, bulan menjawab dia malah kedip-kedip. Kayak orang cacingan. Heran.
"Do, kalau mau iseng liat jam, dong. Ini udah malam. Pulang sana!" omelku lagi sambil berancang-ancang akan tutup pintu.
E tapi … pintu yang hendak aku tutup tertahan. Dia menahannya dengan kaki.
"Jangan galak-galak napa, Dis. Aku terima dengan lapang dada kok kalau kamu bilang aku ganteng."
"Sinting!"
"Realistis."
"Gila!"
"Tapi aku ganteng."
Astaghfirullah. Aku tarik napas sambil pijit pangkal hidung. Asli, mau ngamuk rasanya. Tapi ini sudah malam. Terlebih di dalam ada Emak. Bisa makin panjang urusan kau emak udah ikut campur.
"Udah deh, ya, jangan bikin aku pening. Kamu mau ngapain ke sini malam-malam?" tanyaku serius.
Kulihat dia tersenyum, lalu duduk di kursi teras sambil menyilangkan kaki. Kebiasaan ini anak memang nggak pernah berubah, semena-mena seolah rumah ini masih rumahnya.
"Duduk dulu, dong. Ngobrol," ocehnya.
"Do, aku lagi nggak mood." Aku berdengkus.
"Justru nggak mood makanya kamu harus ngobrol. Sini, coba cerita kamu dari mana pulang-pulang kayak gini," ujarnya sambil natap serius.
Aku diam. Malas menyahut karena nggak ada untungnya juga kalau bercerita sama dia. Irka menghilang dan itu artinya aku kembali dicampakkan. Cerita sama Edo hanya akan memperkeruh. Dia akan mati-matian mengejek. Dia kan memang begitu dari dulu. Seperti lalat cari koreng. Paling demen ngeledek.
"Bukan hal penting," sahutku lalu mendekat dan duduk di sebelahnya.
"Aku tebak pasti Irka," ocehnya, buatku nggak tahu mau ngomong apalagi. Ya karena memang masalahku adalah Irka, dulu dan sekarang tetap dia.
Padahal sebelum-sebelumnya hidupku adem ayem. Nggak ada tuh galau, nggak ada tuh istilah pusing tujuh keliling. Gak banyak drama.
Kecuali naskah ya. Kan mikirin naskah emang tanggung jawabku. Naskah itu ibarat anak dan anak harus diurus dengan baik.
Tapi semenjak Irka kembali hidupku jungkir balik lagi. Jam terbang buat nulis tersendat gegara dia. Aku gak bisa fokus nulis walau sebenarnya gak mau mikirin dia. Otak kayak ter-setting mengarah ke dia mulu.
"Udah jangan dipikirkan. Mungkin dia lagi sibuk," sambung Edo.
Aku menghela napas panjang sambil lihat langit. "Sibuk apa sampai gak ngabarin, Do? Dia punya HP. Sekarang zamannya digital. Emangnya zaman dulu yang berkomunikasi aja pakai surat atau burung. Enggak kan?"
"Bukannya kamu juga dulu gitu?"
Degh!
Aku tercekat. Ucapan Edo langsung nacep gitu ke dada. Kuamati lamat Edo yang lagi mandangin depan.
"Sekarang kamu tau kan betapa besarnya pengaruh sebuah komunikasi itu?" ocehnya lalu menatap.
"Hmm, itu … itu …."
"Tanpa komunikasi pikiran buruk udah kayak virus. Mematikan," ujarnya lagi.
Aku termenung menafakuri kaki. Membenarkan ucapan Edo. Sekarang aku merasakan apa yang Rasya rasakan dulu. Dia pasti kesal karena aku orangnya cuek. Terlalu malas kasih kabar. Sekarang aku paham kenapa dia selingkuh. Mungkin karena merasa tidak dianggap. Hufh! Aku salah.
"Berpikir positif aja. Barangkali Irka juga sibuk. Ada hal mendesak yang buatnya gak bisa kasih kabar sampai berhari-hari," lanjut Edo
"Kamu benar, do. Aku terlalu parno padahal selama ini aku juga sering hilang kabar." Kuamati Edo, dia tersenyum sambil kedip-kedip. Hilang sudah atmosfer sedih saat lihat dia begitu. Aku malah pengen nabok dia. Gemes pengen cubit pankreasnya.
"Kenapa? Sakit mata?" kataku setengah ketus.
Eh, dianya malah senyum dikulum.
"Enggak, aku senang kamu paham. Nanti jangan ulangi. Siapa pun calon suami kamu, entah Irka atau siapa, komunikasi tetap harus terjalin biar hal begini gak kejadian," ocehnya.
Tumben.
Gak mau berdebat aku pun mengangguk saja. Toh, memang benar yang dia katakan. Komunikasi penting. Irka hilang kabar seminggu aja aku belingsatan, apalagi hilang berbulan-bulan gak ngabarin. Persis aku ke Rasya dulu. Pantas dia marah dan selingkuh.
"Kamu benar," sahutku.
"Btw, kamu cantik malam ini," katanya. Aku tentu auto melotot.
"Jangan ngadi-ngadi, Do." Aku amati dia dengan tatapan bengis.
"Beneran, kamu cantik."
Ck, bau-baunya ada yang gak beres.
Kesal, aku pun bersedekap dan sengaja natap dia gak kedip. Gak cuma itu, aku juga sengaja mencondongkan badan hingga wajah kami mendekat secara intens.
Cepat-cepat dia menarik diri, lalu berdeham-deham kecil sambi usap tengkuk.
Ck, tau tau takut juga dia. Grogi dia.
"Jangan dibiasakan natap orang dekat-dekat," katanya, terdengar setengah ketus.
"Emang kenapa? Kamu kan bukan orang," ocehku asal.
"Kalau bukan orang lalu apa, Gadis?" geramnya tertahan.
Btw, aku suka lihat dia mode gemas begini. Kaya mau nyekek tapi kagak jadi. Hahaha.
"Tau." Aku menggidikkan bahu, sedang dia menghela napas panjang.
"Kali ini kenapa?" tanyaku.
"Aku butuh partner malam ini."
Partner?
Kuamati lagi dia.
"Ikut, yuk! Aku butuh teman buat diajak reuni," jelasnya.
"Sekarang?"
"Iya."
Sekarang, sekarang sudah jam delapan. Mana sempat.
"Gak deh." Aku menggeleng. "Cari aja yang lain. Udah malam. Lagian gak ada waktu."
"Ayolah, Bantar aja. Aku izin deh sama Emak."
Kutatap lekat Edo. Mukanya yang biasa sengak kini terlihat memelas.
"Ayolah, Dis. Kali ini … aja. Aku butuh teman. Malas kalau ke sana gak bawa gandengan. Yang ada diledekin," ungkapnya lagi yang entah kenapa buat hati sedikit iba.
"Kalau gitu jangan pergi." Kan, ini lebih masuk akal.
"Gak bisa. Bertahun-tahun gak pernah ikut dan aku sudah dicap sombong sama anak-anak."
Aku diam, berpikir.
"Aku bayar, deh, bayar pakai semangkok seblak. Gimana?" tawarnya.
Geram, aku toyor pundaknya. Dia meringis kesakitan. Lebay banget.
"Ayolah, bantu ya, bantu ya."
"Tapi …."
"Aku tungguin. Gak peduli kelar mekapnya jam berapa, tetap aku tungguin."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments