Edo bilang rusuh.

Gabut. mau nulis tapi otak buntu. alhasil Seharian aku hanya berguling-guling di kamar. Malas sekali keluar, pun hanya sekadar makan atau ke toilet.

Aku menscroll layak ponsel sampai bosan. Anehnya, isi ponselku hanya bercerita tentang pasangan, pasangan, dan pasangan. Sampai-sampai aku berpikir kalau semua orang yang punya konten itu menyindirku.

“Ihhh, aku juga mau kali punya kisah uwu romantis kayak gitu!” ucapku sebal sembari memandang layak ponsel yang menampilkan seorang wanita berjilbab yang dipeluk laki-laki dari belakang dalam konteks sudah halal.

Sepertinya tidak ada orang yang lebih aneh daripada aku.

Meskipun lelah menggeser layar, tetapi tetap saja dilakukan. Ketika sedang asyik-asyik menonton, aku mendengar pintu depan di gedor keras. Aku terkesiap dan melempar ponsel.

“Siapa sih? Nggak sopan banget gedor rumah orang tanpa akhlak begitu!”

kucoba abai, tapi gedoran itu gak kunjung berhenti. Karena lelah mendengar suara ribut, aku beranjak dan langsung menuju ke depan. Baru saja aku membuka pintu. Suara laki-laki terdengar nyaring.

"Edo!"

“GADIS YUHUU!” Edo mengangkat satu tangannya dan bertindak seolah sedang memanggil seseorang dari kejauhan.

Aku pun terkejut sepenuhnya. Laki-laki kurang ajar, berani sekali dia.

“EDOOO KAMPRET! NGAPAIN SIH TRIAK-TRIAK!” sentakku dengan wajah galak dan siap untuk menguleg laki-laki di depanku itu.

Mendengar teriakanku, Edo menutup kedua telinganya. sukurin. sapa suruh rese. dia membangunkan singa yang lagi rebaham

“Buset dah, galak banget kamu, Dis!”

“Lagian kamu juga ngapain gedor-gedor rumah orang sampai pintunya aja mau copot?” tanyaku sembari memelototkan mata.

Edo cengengesan. “Soalnya kalau nggak keras kamu kan budeg. Butuh tenaga yang sangat keras biar bikin kamu denger.”

“Enak aja. Aku masih punya dua telinga sehat walafiat kali.”

“Buktinya kemarin aku bilang satu meter kamu justru dengernya diputer. Apalagi kalau bukan budeg?!” Edo balik menimpali lalu bersedekap.

Ucapan Edo membuatku memalingkan muka. Agak malu sih sebenarnya. Kenapa juga laki-laki ini mengingatnya, bikin badmood aja.

“Tuh kan nggak bisa jawab!” timpal Edo.

Aku yang kesal pun mengalihkan perhatian demi menyelamatkan harga diri karena tidak mau dicap budeg.

“Ngapain sih ke sini sampai gedor-gedor segala. Mau ajak tawuran?” Aku menggelengkan kepala lalu menambahkan, “nggak deh. Aku terlalu malas untuk digunain ke hal yang tidak perlu.”

Edo memandangku cengo. “Yang ngajak mau tawuran juga siapa idih! Aku mau ajak kamu makan pecel lele depan komplek. Udah kangen makan di mamang sana.”

“Ya elah makan doang ngajak-ngajak. Nggak mau ah, males aku mending tiduran di rumah.”

Edo merengut mendengar penolakanku. “Jahat bener, Dis.”

“Emang. Udah sana berangkat sendiri.”

“Males ah ntar dikatain jomblo sejati. Mau sama kamu aja. Ayo deh, temenin ya?” Edo memasang puppy eyesnya yang membuat aku ingin muntah.

“Nggak usah sok imut.”

“Makanya ayo, nanti kalau kamu nggak ikut aku bilangin ke tetangga loh kalau kamu ternak tuyul.”

“Yang bener aja dong!” protesku takut.

“Iyalah. Kamu mau dikatain tetangga. Kalau kamu nggak mau dikatain makanya ayo.” Edo terus membujuk.

Jujur saja ucapan Edo bikin aku kepikiran. Aku takut dan panik kalau tetangga tiba-tiba anggap aku begitu. Apalagi, aku emang jarang interaksi sama tetangga. Kalau tiba-tiba mereka percaya dan usir aku dari tempat ini bisa berabe.

Jadilah setelah memikirkan panjang, aku setuju untuk ikut Edo.

Aku pun ganti baju dan langsung berangkat bersama Edo jalan kaki.

“Eh Dis, Irka ke mana? Kok nggak kelihatan?” tanya Edo tiba-tiba.

Baru saja aku berproses untuk tidak memikirkan Irka, nyatanya Edo justru membuatnya ingat kembali.

“Kamu kenapa murung? Ada masalah?” selidik Edo.

“Irka ngilang lagi. Aku nggak tahu di mana.”

ya, Irka memang ilang. dia ngilang lagi. gak tau. dia sulit banget dihubungi. sudah hampir saty Minggu ini dia gak ada kabar. pesan atau teleponku diabaikan

“Ngilang? Dibawa siapa? Mantan? Pacar? Gebetan? Atau diambil ayam?”

Aku mendengus. “Yang bener dong kalau bicara!”

“Gitu aja marah!” cibir Edo. Laki-laki itu lalu mengetik sesuatu di ponselnya.

“Nih kalau marah bisa berubah jadi macan!” Edo menunjukkan ponselnya kepadaku. Di sana ada gambar macan yang sedang mengaum.

“Edoo nyebelin banget jadi orang!”

Edo mengendikkan bahu. “Thank you, aku emang manusia super ganteng di jagad raya ini.”

Aku menggelengkan kepala. Kalau sudah sama Edo rasanya aku ingin gila. Bukan karena stress masalah, tetapi stress gara-gara jokesnya dia. Memang laki-laki yang sulit ditebak.

“Sebahagianya kamu aja!”

Edo lalu menatapku. “Irka beneran nggak bisa dihubungi?”

“Iya,” jawabku singkat dan agak malas.

Edo menyangga dagunya. “Kayaknya sih dia kabur gara-gara takut lihat wajah kamu yang super jutek dan nyebelin itu. Makanya jadi cewek tuh yang girly, ramah, jangan berubah jadi macan mulu.”

Aku melirik tajam dan siap menerkam laki-laki itu bulat-bulat. “Nggak usah ngasih ulti juga kali!”

“Itu namanya ultimatum paling fakta dari seorang Gadis yang belum menjadi gadis.”

“Suka hati kamu aja ya ,.. Edo kamprett!” teriakku yang membuat Edo sakit perut karena banyak tertawa. Sementara itu, aku memilihd ia diam dan mendahului Edo untuk warung.

“Ehh Tunggu dong. Masa orang ganteng ditinggal!”

Tidak lama sambil terus berdebat, kami sampai di warung pecel lele. Di sana ada dua orang yang juga sedang menikmati sajian ikan tersebut.

Edo memesan makanan sekaligus minum. Karena tidak mau ribet, aku bilang saja pesanannya sama dengan Edo.

Kami duduk di meja ujung dan saling berhadapan. “Doo …”

Edo mendengak. “Apaan?” sewotnya.

“Kamu kenapa belum nikah-nikah juga?”

Edo yang sedang melihat ponselnya sontak terbatuk dan membuat benda pipih itu jatuh.

“Kenapa tiba-tiba tanya masalah itu?” tanya Edo padaku.

“Mau tahu aja sih, kayaknya umur kamu udah layak buat nikah.”

Edo menghembuskan napas panjang. “Jangan lupa ngaca dulu,” sahutnya.

“Aku kan cuma nanya.”

“Ya udah aku jawab.” Edo menyungingkan senyum. “Sebenarnya sih lagi proses. Aku lagi proses nikung cewek lewat jalur langit.”

“Wihhh ngeri banget. Emang tuh cewek udah punya pacar?”

“Kayaknya sih udah. Makanya mau doa buat nikung dia. Siapa tahu hoki.”

Aku terkekeh. “Bisa emang?”

“Bisa nggak bisa ya harus bisalah.”

“The reall maksa kehendak Tuhan.”

Edo menggelengkan kepala. “Nggak juga sih. Cuma agak nuntut aja.”

“Sama aja ih.”

“Ya begitulah.”

Sambil makan, aku dan Edo membahas banyak hal. Sebagian besar sih tentang pasangan dan konten romantis.

Ketika sedang membahas cewek, aku teringat dan langsung bertanya, “Doo emang cewek kamu siapa sih?”

“Ada-lah. Kepo banget mau tahu.”

“Cuma nanya ihhh!”

Edo memutar bola matanya. “Edooo siapa ceweknya?” tanyaku.

Edo yang sepertiny sudah muak mendengar celotehanku pun beranjak dan bilang kepada mamang pecel lele.

“Mang, yang bayar dia ya,” tunjuknya ke arahku. Tentu saja aku kaget dan panik. Edo justru tersenyum menggoda, membuatku ingin sekali melayangkan sandal.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!