Ada perasaan lega menderaku saat Rasya sudah pergi, tapi enggak dipungkiri rasa kesal juga ada. Campur aduk pokoknya. Aku amat bersyukur karena enggak jadi nikah sama playboy cap buntelan perut ayam macam dia.
Tapi, aku resah juga karena pasti ada Udin yang nunggu untuk nikahin aku. Dan Emak membuat aku gak punya waktu untuk berpikir apalagi memilih. Untuk mencari calon baru jelas gak mungkin.
Lalu siapa kandidat kuat buat dijadikan suami? Aku gak punya cadangan. Gak punya temen cowok juga Aku selalu sibuk dengan naskah dan gak sempat kenalan sama laki-laki.
Apa aku cari di aplikasi dating?
Tapi, tetap mustahil!
"Pokoknya emak kagak mau tau, lu kudu bawa calon laki akhir bulan ini!"
Hais! Kata-kata Emak terngiang-ngiang lagi. Aku kudu apa sekarang?
“Kamu pasti senang, ‘kan?” tuduhku ke Irka. Ekor mata sengaja aku sipitkan, sengaja memperlihatkan kalau aku mampu menelan dia bulat-bulat.
Heran, bisa-bisanya bersikap konyol depan orang. Mana pake lamaran segala lagi. Dasar cowok gak punya empati!
Irka mengedikkan bahu, kelihatan cuek dan terlihat sengak bin tengil. Karakternya memang sudah begitu sejak dulu. Paling suka dengar aku senewen. Jengkelin banget. Kok bisa aku ketemu dia di sini.
Lantaran kesal aku pun kembali duduk dan memilih diam bersedekap menatap Irka. Sumpah, aku gak tau harus ngapain. Haruskah berterima kasih karena cowok sengak ini udah menyelamatkan harga diriku sedikit?
Ya paling gak dia kasih tau ke Rasya kalau aku ada yang menanti. Aku bukan perawan tua gak laku yang dia bilang
Ataukah mengamuk mengingat masa lalu kami memang belum kelar? Kisah cinta monyet dibumbui drama yang meninggalkan trauma mendalam. Gara-gara dia aku jadi gak pernah mau ketemu dan dekat laki-laki lain. Setelah sekian tahun barulah qku berani buka hati. Eeh, malah begini. Apes banget.
"Kenapa liatinnya begitu? Aku masih ganteng, 'kan?" seloroh Irka.
WTF!
"Lega nggak bisa lepas dari dia?" tanya Irka lagi.
Aku diam membuang muka. Yakinlah, dia pasti cuma mau cengcengin aku. Mau ngebacot kalau nasib aku memang apes.
"Sudah lama pacarannya?"
Aku masih malas buat ngomong.
Irka tiba-tiba berdecak. "Gak nyangka nasib kamu begini."
Kan kan kan.
Kutatap sengit dia.
"Maksud kamu apa?" balasku sengit.
Mulai naik tensi rasanya, tapi aku tahan-tahan agar gak berakhir meledak. Ini tempat umum.
"Ya begitu."
Mengepal tanganku. "Ka, kalo kamu cuma mau nambah bensin di api, mending sekarang cabut aja. Mumpung aku ngasih taunya baik-baik!"
Tanpa rasa bersalah Irka menggelengkan kepala. "Ngapain? Kan aku juga makan minum di sini. Aku bayar!"
Astaghfirullah ….
Daripada makin gila ada baiknya aku yang pergi.
"Dis, kamu nggak ngerasa nama kamu itu kutukan, ya?"
"Apa maksudmu?" Makin naik darahku. Aku yang sudah berdiri duduk lagi.
"Gadis Mawar Melati. Kamu nggak berpikir nama itu terlalu berlebihan? Ya gimana ya bilangnya. Agak norak aku bilang."
Ya Allah, boleh gak sih aku tendang makhluk yang satu ini?
"Ganti namalah," lanjutnya yang buat dadaku mengentak-entak. Apa haknya suruh aku ganti nama?
"Ka, jangan banyak bacot, bisa? Kamu bukan siapa-siapa. Kita gak terlalu kenal."
"Woi, jangan galak-galak. Nanti beneran jadi perawan tua, lho."
Astaghfirullah … tabah tabah tabah.
"Tapi aku serius. Mending ubah nama," sambungnya.
"Irka!"
Memang, sejak awal aku agak gimana dengan nama ini. Ya, nama Gadis terdengar sedikit keren. Nama Mawar atau Melati juga tak kalah manis. Namun, jika ketiga kata itu digabungkan akan terdengar norak.
Tapi, whatever-lah. Aku sudah kebal dinyinyir gegara nama. Lagian percuma juga mengganti nama. Yang ada emak murka lalu merajuk. Aku dikutuk jadi lutung. Kan kagak lucu.
Lagian nama gak penting sekarang, yang penting adalah suami. Aku harus bisa membawa calon suami akhir bulan ini.
"Kamu nggak penasaran sama kabar aku?" tanya Irka.
Aku mendengkus, lalu berdiri lagi dengan tampang cuek. "Nggak penting. Kita buka siapa-siapa."
Setelah mengatakan itu aku pun ngeloyor pergi keluar dari restoran hotel. Aku biarkan Irka memanggil tanpa berniat menoleh. Hati sudah kadung panas soalnya, dan bicara sama Irka hanya akan buat tubuh dan hati makin terbakar. Hangus.
Aku terus berjalan ke parkiran dan gak menyangka ternyata Irka masih mengejar. Dia manggil terus.
Ya Allah, sabar sabar sabar.
"Dis!" serunya.
Kesal, aku pun balik badan.
"Apaan sih?"
Tapi, bukannya menjawab dia malah lihatin motorku.
"Ini motor kamu? Aku nebeng, ya?"
"Najis!"
Masih dengan emosi, aku dorong dada Irka hingga lelaki itu rada terhuyung. Kenapa juga gak langsung jatuh. Ish.
tiba-tiba kunci motorku dirampas gitu aja.
"Irka!"
"Sebelum pergi tolong lepas dulu cincinnya?"
"Hah!"
"Iya, itu cincin murah. Nanti aku ganti yang lebih mahal." Irka tarik cincin berlian di tanganku, sayangnya melekat.
"Kok melekat, ya. Lurusin dong jarinya biar ni cincin bisa lepas."
Kesal, aku tarik paksa cincinya. Untungnya terlepas bersamaan dengan meluapnya emosi. Aku rampas kunci motor dari genggaman Irka, lalu tendang tulang keringnya hingga dia langsung meringis dan mengangkat kaki sebelah.
"Dasar brengsek! Bedebah sialan. Ketemu aku sekali lagi aku bikin pusakamu jadi keriting," geramku lantas berlalu memacu kendaraan.
Apes apes apes!
Emak! Ini gara-gara Emak!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
SulasSulastri
emang komedian y penulisnya
2023-06-14
0
Sara Surono
lucu loh
2023-06-04
0
Merry Dara santika
sabar sabar jngn marah dong gadis
2023-04-06
1