Be My Mind.

Gegara Emak akhirnya aku keluar juga sama Irka. Kami ke mall buat nonton. Kami berjalan bersisian naik eskalator. Tentu aja banyak yang mandang aneh. Mungkin mereka berpikir siluman sedang bersanding sama pangeran.

Hiks! Malu mengakui, tapi aku memang gak sepadan sama Irka. Dia gagah, ganteng, dan berduit, sedang aku biasa aja.

Sebenarnya jika ikuti hati, aku malas banget keluar begini. Mending rebahan, atau gak kelarin naskah. Aku punya beberapa buku yang belum selesai. Harus daily tiap hari. Kalo gak daily dapat duit dari mana. Platform tempat aku nulis itu udab

Baik banget. Mana editornya ramah. Bertahun-tahun nulis di sana gak pernah yang namanya dapat naskah gagal. Karyaku Alhamdulillah booming dan itulah yang mendatangkan pundi-pundi cuan. Lumayan bisa menguliahkan adikku yang sudah jadi bidan saat ini.

Apa semulus itu jadi penulis? Tentu enggak. Sebagai penulis platform dan naskah cetak tentu ada plus minus. Kudu banyak riset, banyakin baca dan banyakin merangkai cerita yang gak pasaran tapi mencuan. Dan yang paling penting adalah promo.

Bisa dibilang susah susah gampang. Dan karena aku malas berinteraksi sama orang, menulis adalah jalan ninja untuk menyambung hidup.

"Dis, awas!"

Aku yang kaget spontan lihat depan. Telat sedikit sudah pasti terejerambab dan akan jadi bahan tertawaan. Untungnya masih bisa mengimbangi diri.

"Dis, kamu ngelamun? Udah mau sampai bisa-bisa gak fokus. Untungnya gak kenapa-napa," oceh Irka. Sekilas gak ada yang beda sama dia. Dia masih perhatian dan khawatirnya ini murni. Gak dibuat-buat. Gak juga modus. Hanya saja ….

"Aku gak apa-apa," balasku sekenanya, lalu lihat sekitar. Beberapa orang menertawakan. Apes bener.

"Yuk lah!" ajakku.

Irka mengikuti, lalu kami bersisian menuju bioskop.

"Ka," tahanku pada Irka. "Kita gosah nonton aja deh."

"Loh, kenapa?" Alis Irka naik sebelah.

"Gak tau, gak mood aja. Kita ke food court aja, ya," pintaku lagi.

Ya, ketimbang bioskop aku lagi pengen ke food court. Butuh yang manis-manis. Rasanya kepala rada kliyengan. Mood beneran gak baik. Bawaannya bete mulu. Gak enak juga sama Irka. Aku sudah menyanggupi masa masam kecut begini.

"Ya udah, ayo!"balas Irka. Untungnya dia gak protes.

Kami ubah arah dan menuju tempat yang diinginkan. Di situ sudah lumayan ramai pengunjung. Mungkin karena ini malam Minggu. Tempat ini didominasi remaja. Kayaknya ada yang ngedate, ada juga yang kumpul bareng temen.

"Ka, kamu tunggu sini ya, aku ke toilet dulu," kataku.

"Oh oke, btw tau arahnya kan? Apa perlu aku anterin?" balasnya sambil kedip-kedip. Dasar genit!

"Jangan Ngadi-ngadi. Aku tabok, nih!"

Lah, dia malah ngakak. Asem!

"Ya sudah, pergi sana. Nanti keciuman. Kan kagak lucu."

Kan kan kan. Dasar!

Aku berbalik hendak pergi, tapi balik lagi saat dia memanggil.

"Kenapa? Jangan rese bilang mah ikut segala," cerocosku rada kesal. Sifat isengnya kagak ilang dari dulu.

"Mau makan apa?" tanyanya lalu nyengir garuk-garuk kepala. Aku yakin pasti niat tadi mau iseng. Ck, udah kebaca. Dasar Irka.

"Black forest aja. Aku lagi mau itu."

"Gak mau makanan padat?"

Aku menolak dengan gelengan.

"Yaudah, kalau gitu pergilah. Aku nunggu di sini."

Daripada makin kesal, kuputuskan pergi melewati pengunjung yang mulai ramai.

Selepas buang hajat, aku pun terusik dengar ocehan seseorang dari belakang. Suara orang ngobrol diiringi cekikikan yang rasanya gak asing.

Impulsif aku menoleh dan melihat Rasya sama perempuan. Perempuan hamil. Mereka kelihatan bahagia. Mereka jalan bersisian. Kami jalan searah. Bedanya dia di bagian kiri, aku kanan. Jarak kami sekitar beberapa meter aja.

Gak munafik, aku sakit lihat Rasya sama perempuan lain. Ada sedikit sesal yang entah datang dari mana. Mungkin benar kata emak, aku terlalu nyaman dengan diri sendiri saat ini sampai gak mikirin diri sendiri. Ujung-ujungnya dibuang. Rasya juga sudah berumur, mau sampai kapan dia menungguku yang pesan saja kadang lupa balas. Gak ada kepastian.

Ah, mungkin bukan jodoh. Mungkin jodohku lagi otw. Sudahlah!

Daripada makin sakit hati kuputuskan untuk lanjut jalan. Pura-pura gak lihat, pura-pura baik-baik aja.

Toh, kami gak mungkin sama-sama lagi. Anggap aja kegagalan ini pelajaran agar aku tidak sesumbar. Aku sudah dewasa dan memang sudah waktunya rumah tangga.

Bismillah, semoga jodoh yang lagi otw itu gak kejebak macet. Biar kami cepat halal. Biar emak gak ngomel-ngomel lagi.

Di depan kulihat Irka, dia melambaikan tangan sambil memanggil. Dan mukanya berubah saat melihat arah Rasya.

"Gadis!" panggil Rasya.

Sudah begini apa yang bisa aku lakukan selain menoleh. Wajah diatur sedemikian rupa, biar gak mudah diintimidasi. Aku memang sedih dicampakkan, tapi ya … sudah menerima kenyataannya.

"Beneran kamu? Ternyata kalian beneran punya hubungan?" cecarnya.

"Ya, begitulah." Aku bersedekap. "Btw kandungannya harus dijaga. Kasian, udah gede banget itu. Kayaknya gak lama lagi brojol. Yakin mau resepsi akhir bulan?'

Muka Rasya merah, begitu juga perempuannya. Rasain!

Ah, kalau begini terkesan aku yang jahat. Aku yang julid.

"Yasudah, lanjutkan. Aku permisi," kataku lalu mendekati Irka. Dan ternyata Rasya dan calon istrinya duduk di sebelah kami.

Heran, ruangan seluas ini kenapa meja yang tersisa harus dekat kami.

"Sudah, abaikan aja," ujar Irka berbisik sambil menyuap kentang krispi.

Aku balas dengan desahaan kesal, lalu sendok black forest dengan sendok. Rasa yang manis-manis pait ini pecah di mulut dan buatku sedikit rileks.

"Dis, makasih, ya," ucap Irka.

"Buat apa?" Aku lanjut menyuap gak peduli kalau tetangga sebelah melirik atau mengintip. Bodo amat!

"Ya karena udah mau kasih kesempatan. Aku janji gak bakalan ulangi. Gak akan ngilang lagi," balasnya.

Kupandangi Irka. Dia kelihatan serius. Gak hanya itu. Dia juga mengeluarkan sesuatu. Kotak segiempat berlapis kain beludru.

"Ka?"

Benda itu dibuka dan aku lihat ada cincin di dalamnya. Cincin yang memang lebih indah dari tempo hari.

"Merry me."

"Ka, ini …."

Gila, aku gak bisa ngomong apa-apa. Dia ternyata serius dengan ucapan, tentang cincin lebih indah dan menikah.

"Aku mau kita memulai lagi. Gak yang macam dulu. Dukh cuma cinta monyet, sekarang aku ingin nikah. Kita nikah."

Kulihat ada keseriusan di matanya itu. Hanya saja ….

"Marry me. Be my mind."

Ya Allah, ini adalah kalimat yang sering aku tulis di ceritaku. Adegan romantis saat melamar.

Kupandangi Irka, lama dan lekat. "Ka, ini terlalu cepat. Kamu gak tau aku, aku juga gak tau kamu. Kita berpisah hampir setengah umur kita."

"Aku gak mempermasalahkan itu, Dis. Yang penting kamu. Aku hanya ingin kamu. Sekarang mungkin kamu gak percaya, tapi coba deh kasih kesempatan buatku kasih bukti kalau aku memang layak. Kita bisa perbaiki hubungan."

"T-tapi kenapa aku? Kita udah lama gak ketemu. Gak ada perempuan lain apa, Ka?"

Irka menggelengkan kepalanya. "Aku hanya ingin kamu. Maaf kalau selama ini kamu menunggu."

Astaga ….

"Ka?"

"Marry me. Aku janji akan jadi suami yang baik. Yang bisa kamu andalkan. kita bisa ubah cinta monyet kita jadi cinta sejati."

Duh, kenapa aku jadi bimbang?

Terima, jangan, terima, jangan, terima, jangan.

Duh!

Saat begini terbayang muka Emak. Muka lelahnya, muka tuanya, dan tatapan penuh harap agar aku naik pelaminan.

Bismillah, demi Emak.

Perlahan aku ulurkan tangan dan pasang cincin itu. Cantik, pas, indah.

Kupandangi Irka. Dia tersenyum lebar. Sebahagia itukah?

Terpopuler

Comments

Merry Dara santika

Merry Dara santika

terus nasib edo bagaimna dong

2023-04-20

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!