Sendirian.

Liontin itu punya Irka. Dia kasih itu pas kami jalan di pasar malam. Dia beli untuk aku. Dan kenapa itu liontin bisa nangkring di situ, ya karena aku lempar saking kesalnya habis mimpiin doi. Gak taunya nyangkut di sana. Sampai sekarang itu liontin gak aku turunin. Biarin, itu sebagai simbol kalau perasaanku pernah digantung oleh dia. Ck! Ingat dia aku jadi makin emosi.

"Mak kagak mau tau, lu kudu bawa calon suami akhir bulan ini!"

"Maaf, ya, Dis. Aku sebenarnya mau nikah sama perempuan lain."

"Aku Irka, mantan pacarnya yang mungkin akan jadi suaminya beberapa hari lagi."

"Tapi karena halu kamu jadi kagak dapat laki!"

Argh! Ucapan emak, Rasya, Irka dan Edo mantul-mantul dalam kepala. Bikin makin pening. Mumet cari solusinya.

Aku bangun dari kasur, lalu mengacak-acak spray dan bantal. Aku butuh sesuatu untuk melampiaskan frustrasi ini. Aku terjepit. Terjepit dan sama sekali gak tau cara mengeluarkan diri.

Selepas mengamuk aku duduk lagi di sisi ranjang. Melihat dengan seksama keadaan kamar yang sudah macam kapal pecah. Melihat ini kepalaku makin berdenyut.

Ya Allah, aku harus apa?

Aku mendesah lelah. Sesak, dada nyeri. Walaupun usia sudah tua tetap saja aku lemah. Aku hanya wanita kesepian yang melampiaskan rasa frustrasi lewat tulisan. Miris dan mengenaskan.

Salahkah, salahkah jika terlalu sibuk dengan sesuatu yang disukai? Kenapa Rasya gak mengerti? Lalu kenapa dia sampai selingkuh? 

Harusnya ngomong! Kalau kekuranganku adalah di komunikasi harusnya dia bilang, bukannya diam. Dia pikir aku peramal yang bisa nebak isi kepala dia. Ish!

Aku nyesal. Tau begini gak akan aku gantungkan harapan segede gaban ke Rasya. Tau dia gak setia, sudah dari lama aku tinggalkan. Tau begini ….

Ish! Kenapa aku malah mengeluh, terkesan gak bersyukur. Astaghfirullah ….

Air mataku netes makin banyak kala mengingat kenangan lama. Tentang beberapa sahabat saat masih sekolah dulu serta perasaan suka pada beberapa pria yang pernah membuat hati jedag jedug tidak karuan.

Sialnya para pemuda di masa lalu gak mau singgah maupun menetap. Miris. Aku yang sebenarnya berwajah lumayan cantik selalu apes jika menyangkut soal asmara.

Tapi, perasaan itu dipatahkan dengan kehadiran Irka. Dia murid pindahan. Kami sebangku saat kelas satu. Dia cowok smart, nilainya selalu tinggi, pribadinya supel dan menjadi idola di sekolah. Kakak kelas bahkan ada yang terang-terangan ngejar dia. Tapi, dia terus sama aku. Apa-apa kita selalu bareng. Pernah suatu saat dia memang lomba maraton dan medalinya dikasih ke aku Siapa yang gak baper coba.

Tangisku berubah jadi raungan, makin terdengar nyaring dari waktu ke waktu. Maunya aku, aku nangis dalam diam. Tapi, makin diam makin sakit. Akhirnya aku menangis. Sesenggukan. Suaraku keluar. Entah macam apa kedengaran oleh orang lain.

Biarlah. Aku gak peduli lagi. Toh, di rumah minimalis ini aku hidup seorang diri. Sengaja menjauh dari orang-orang. Sejak lulus SMA aku menyukai dan menikmati kesendirian.

Alasannya ya karena malu, skandal merayu guru dan cap pelakor itu merebak di internet. Dan salah satu kenapa aku asyik cari duit dari menulis ya itu, aku gak perlu berhadapan dengan orang yang berujung akan mendengar cibiran dari mereka. Itu terlalu sakit.

Sungguh, aku gak ingin mengecewakan Emak dengan menjadi perawan tua, tapi kayaknya skenario Allah gak sama dengan skenario yang aku tulis dalam semua cerita.

Di novel aku akan membuat karakter maupun tokoh berakhir happy ending. Menikah muda dan mendapatkan pasangan sempurna dengan tingkat kebucinan yang gak akan sanggup manusia dengan kapasitas kehaluan rendah pikirkan.

Tapi skenario yang telah Tuhan gariskan sama sekali gak bisa aku tebak. 

Sekarang aku sendiri, kesepian, mengalami begitu banyak rasa pahit dan sakit yang dunia nyata berikan.

Tiba-tiba layar hp menyala dan tertera nomor Emak lengkap dengan fotonya di layar. Tentu aku panik.

Ngapain Emak nelpon lagi?

Aku abaikan, tapi Emak memanggil lagi. Jika aku perhatikan sudah lebih dari dua kali.

Kalau begini biasanya Emak bakalan ngamuk.

Cepat-cepat aku berdiri menghampiri meja rias. Merapikan rambut yang acak-acakan. Gak lupa wajah yang sembab aku poles make up ala kadarnya, lantas menekan tombol hijau. Kelihatan Emak dengan tutup kepala berwarna hijau tersenyum lebar.

"Assalamualaikum, Mak," sapaku dengan suara gemetar. Sebisa mungkin sembunyikan kesedihan di depan orang terkasihku ini. Jangan sampai dia curiga. Bisa keluar itu jurus ngomelnya.

"Oh. Waalaikumsalam." Emak menjeda kata, lalu mendekatkan mata. Dekat banget. Apa coba maunya? Aku sampai bisa lihat keriputnya.

"Emak mau ngapain?" tanyaku yang sontak menjauhkan wajah dari layar, gelagapan. Aku takut Emak menyadari sesuatu.

"Kagak ngapa-ngapain, cuma mau liatin ada belek apa kagak."

Ish! Dasar Emak!

Aku menghela napas lega.

"Oiye. Ntu muka lu kenape, Dis? Lu nangis?"

Nah! Mampus! Emak kok bisa nyadar, sih?

Senyum terpaksa pun aku ukir. "Kagak, kok, Mak. Gadis baru bangun tidur."

"Oh ... Mak kire lu nangis."

Aku mengangguk gak enak, lalu mengembuskan napas lirih. Ada perasaan bersalah setelah bohong. Tapi gimana, dong. Aku belum berani jujur.

"Jadi gimane?" tanya Emak to the point.

Aku menggaruk kepala karena tahu persis apa yang sang emak pertanyakan.

"Gagal?" tanya Emak lagi.

Aku mengangguk lesu.

"Nah kan Mak udah kate. Elu sih ngeyel. Pake alasan kerjaan. Sekarang baru deh kerasa gak enak kan efek kelamaan melajang?" omel Emak dengan bibir merah yang mengerucut.

Selalu begini. Ngegasnya gak kira-kira. Untung sayang.

"Kenape gagal? Dia selingkuh?"

Tepat, tebakan Emak langsung membuat aku agak gelagapan. Tadinya ingin mengelak tapi rasanya percuma berbohong. 

"Jawab, Dis!"

"Iya, Mak. Dia selingkuh terus mau nikahin selingkuhannya akhir bulan ini," jawabku hati-hati.

Bismillah, moga mentalku aman setelah dimarahi.

Tapi aneh, bukannya marah eymak cuma manggut-manggut doang. Kenapa?

"Emak gak marah?" tanyaku.

"Kagak. Ngapain marah. Malah Emak bersyukur lu kagak jadi sama pria kek begitu."

"Alhamdulillah, makasih, Mak."

Ada perasaan lega mendengar ucapan ini.

"Tapi Emak tetap minta lu nikah akhir bulan ini."

Wah, gak bener. Gak bisa dibiarkan.

"Ya Allah, Mak yang bener dong, Mak. Gimana ceritanya nikah akhir bulan ini? Gadis gak punya calon, Mak. Calon yang ada ketikung pelakor."

"Ya cari sendirilah. Emak pokoknya gak mau tau. Cari pokoknya cari. Kalo kagak ... awas. Mak gak mau ngomong sama lu lagi."

Nah kan emak pakai ngancem.

"Mak?"

"Ape? Jangan mewek lu!"

"Mak, jangan begitulah, Mak. Kagak kesian ape. Gadis sayang Emak. Jangan ngambek gitulah," bujukku

Jujur, aku gak mau dibuang lagi. Mak Harum ini adalah orang tua terbaik menurutku walau kami gak ada hubungan darah.

"Atau mau Emak yang cariin?" tawar Emak.

Aku berpikir sejenak.

"Jawab, Dis!"

Elah emak, belum juga sedetik udah diteriaki.

Pasrah ajalah.

Aku pun mengangguk. Gak masalah jika dicarikan jodoh selama Emak gak mengancam putus hubungan.

E tapi aku penasaran sama sesuatu.

"Kenape muke lu? Kesambet limbat lu?" tanya Emak.

Aku menggeleng. Ada-ada aja.

"Kagak, Mak, gadis cuma mau bilang kalau Gadis gak mau Bang Udin."

"Oke, kalau lu gak mau sama Udin gak ape-ape. Mak cariin jodoh yang lain."

"Ya udah deh, Mak. Yang penting jangan Bang Udin."

Emak manggut-manggut sambil bersihin gigi dari kulit cabe.

"Ya udah. Lusa Emak ke sana. Emak bawa calon suami buat lu. Assalamualaikum."

Lah, belum juga nyahut emak udah nutup telepon. Dasar emak otoriter.

"Waalaikumsalam."

Aku rebah lagi. Lihatin langit-langit. Penasaran, sekiranya siapa yang bakalan dia bawa. Kalau bukan Bang Udin lalu siapa?

Terpopuler

Comments

Merry Dara santika

Merry Dara santika

udah aja sama edo nganggur kasihan dia mau nikah jg

2023-04-08

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!