Aku coba menarik napas panjang. Mengusir pikiran jahat dengan mencoba berpikir positif. Lagi pula sekarang ada masalah yang lebih genting daripada praduga tak beralasan yang sempat menguasai benak. Aku akan percaya Rasya. Dia bukanlah laki-laki jahat.
"Dis, kamu ngelamun?" tanyanya yang buatku tersentak. Jadi canggung sendiri.
Oke, aku harus bisa mengutarakan niat. Pokoknya aku gak mau dinikahkan sama Udin.
Tapi, bukannya yakin aku malah makin resah. Gak dipungkiri rasa gugup bergejolak hebat di dadaku ini. Gak tau kenapa. Padahal wajar kan minta nikah? Kan kami sudah sama-sama dewasa. Kami sudah menjalin cinta selama dua tahun belakangan ini. Ya walaupun bertatap muka hanya bisa dihitung dengan jari.
Tapi aku yakin kok sama dia. Bismillah, nikah!
"Rasya ...."
"Gadis ...."
Kedua mulut kami secara serentak menyebutkan nama orang yang duduk di hadapan.
Tentu aja aku jadi kikuk sendiri. Berpikir apa mungkin ini yang namanya ikatan batin? Kalau iya, duh manisnya. Jadi gak sabar punya suami macam dia.
Tapi ada yang aneh, senyum Rasya sedikit beda. Senyum yang ... entah, gak bisa ditebak. Bibir tertarik tapi sorot mata menunjukkan sesuatu yang lain. Ambigu gitu hingga rasa penasaran memenuhi benakku saat ini. Pertanyaan itu mantul-mantul dalam tempurung kepalaku.
Dia kenapa? Apa ada masalah sama kerjaan? Apa dia mau pinjem duit?
Eh tapi, selama kami dekat gak pernah dia pinjam duit. Malah kalau jalan dia yang selalu traktir. Apa pun yang mau aku beli selalu di kasih. Makanya aku bilang dia ini suamiable banget. Bertanggung jawab. Dan, gak pelit. Itu poin pentingnya.
"Kamu aja yang ngomong lebih dulu," pintaku yang sudah kadung penasaran.
"Kamu aja dulu," balasnya.
Aneh. Dia mataku saat ini Rasya makin terlihat gelisah. Tapi apa yang buat dia gelisah? Kebelet? Eh tapi gak mungkin.
"Enggak, kamu aja dulu." Aku rada memaksa.
"Ladies first."
"Tapi laki-laki itu imam. Keputusan ada di tangan laki-laki," kataku. Mendesak. Sengaja ngelakuin ini biar dia ngaku.
"Gak, kamu aja. Kamu perempuan," balasnya. Terdengar gak mau kalah.
Oke, kalau gini kapan kelarnya.
Baiklah, aku harus bisa ngomong ini ke Rasya.
Aku mengamit jemari tangan sendiri yang sudah terasa rada kaku. Gugup aku tu.
"Dis?" panggilnya.
"Ya."
"Ayo, mau ngomong apa. Setelah itu aku yang ngomong."
Aku tutup mata, lalu tarik napas dan membuangnya perlahan-lahan. Aku seruput jus mangga punyaku.
Astaga, Emak! Emak bener-bener bikin malu. Gara-gara dianakunhatua berani melamar Rasya.
Aku tatap intens wajah tampan Rasya. "Rasya, hubungan kita 'kan sudah lama. Aku mau kita melanjutkannya ke jenjang pernikahan, gimana menurutmu?"
Seketika wajah Rasya berbeda, alisnya tertaut dengan gerak tubuh yang mencurigakan. Pacarku ini bahkan beberapa kali membasahi bibir dengan saliva. Gimik yang entah kenapa mengatakan kalau Rasya ini tengah menyembunyikan sesuatu. Tapi apa?
"Orang tuaku mau kita cepet nikah. Lagian kita 'kan udah lama pacarannya, kamu mau 'kan nikahin aku?" selidikku yang berkedok pertanyaan.
Hah, jangan remehkan seorang penulis. Aku bisa nyinyir cantik. Bisa menghina dalam pujian. Dan bisa mencari tau jawaban dalam sebuah pertanyaan.
Tapi anehnya bukannya menjawab, Rasya malah diam. Gelagatnya masih aneh. Yang lebih kentara itu dia sampai mengendurkan dasi. Padahal saat ini lagi hujan.
Fix, gerak gerik dan mimik wajah Rasya menunjukkan rasa bersalah. Kegugupannya makin kentara.
Apa dia selingkuh?
Ck, jangan selingkuh. Aku mohon ….
Cukup satu kali aja aku dikerjai laki-laki. Cukup satu kali aja aku dimainkan perasaannya. Aku sama kamu itu tulus, Sya.
Ah, ingin aku bilang begitu depan dia. Dia tangkapan bagus. l
Aku amit tanganku sendiri, lalu memanggilnya. Tapi balasan dia cuma hah heh hah heh doang. Mencurigakan kan?
Hening lagi, hingga dua menit berlalu sia-sia.
Aku tarik napas panjang lalu mengembuskan dengan panjang pula. Sedang dia, dia membetulkan posisi duduk menjadi lebih tegak lalu menyeruput air putih yang ada di depan. Yang memang sudah disediakan.
"Kenapa diem?" tanyaku lagi. Sok tenang meski tabuhan dalam dada sudah menggila.
Tapi, Rasya masih bungkam. Aku yang sudah tak sabar melambaikan tangan ke depan muka Rasya. Pria di depanku ini seperti gak fokus. Kayak punya masalah berat, pikirannya kayak melanglang buana ke mana-mana.
"Kamu ngelamun?" lanjutku lagi.
Rasya tersentak. Dia terlihat makin gugup. "Dis, maafin aku, ya. Aku gak bisa nikahin kamu. Aku sebenarnya setuju buat ketemu sama kamu karena aku juga mau ngasih tau kamu sesuatu."
****! Sudah bisa bisa tebak, Rasya memang menyembunyikan sesuatu.
Baiklah, aku bakalan diam menunggu perkataan Rasya selanjutnya. Sambil nunggu aku berusaha duduk tenang. Seanggun mungkin.
"Aku sebenarnya mau nikah sama perempuan lain."
WTF!
Aku tebtu melotot. Shock luar biasa sampai sempat lupa caranya bernapas.
Memang, beberapa detik sebelumnya aku udah menduga dan paham ada yang gak beres pada Rasya. Gelagat pria ini sangat mencurigakan, cuma gak nyangka alasannya.
Baiklah, kalau bukan jodoh apa mau dikata. Mungkin dia punya pemikiran sendiri. Atau mungkin ada target yang belum tercapai. Sepenglihatan aku, dia ini tipe lelaki pekerja keras terobsesi sukses.
Baiklah, aku akan dengar alasannya.
"K-kenapa, apa alasannya? Bukankah selama ini kita baik-baik aja?" tanyaku, suara rasa bergetar karena menahan marah, mencoba tetap bertahan demi harga diri. Laki-laki yang berselingkuh gak patut ditangisi. Itulah pesan yang selalu aku sampaikan pada pembaca.
Bahkan kalau bisa, pria yang gak setia seperti itu harus dikasih pelajaran. Masukin dalam karung lalu ditenggelamkan ke dalam dasar lautan. Biar dimakan hiu sekalian. Menyebalkan!
"Aku mau nikah sama Rani. Dia sudah hamil dua bulan. Dan kami akan menikah akhir bulan ini."
Astaga. Jantung rasanya melemah. Shock luar biasa aku dengar penjelasan dia. Ternyata dia gak hanya selingkuh, tapi berzina juga.
Gila. Dia gak waras!
"Maaf."
Apa? Maaf dia bilang? Ke man sih otaknya.
"K-kamu serius, Rasya? Bagaimana mungkin kamu ...." Kepalan tinju sudah terbentuk sempurna.
Gubrak!
Seorang wanita terjatuh di sebelahku. Wajahnya tampak ketakutan, tapi aku yang juga sedang gak tenang mengabaikan ekspresi wanita itu dan kembali menatap nyalang Rasya.
"Maaf, Mbak. Gak sengaja," katanya.
"Iya, gak apa-apa," balasku sambil berusaha ramah dan kuat di saat bersamaan.
Fokus aku kembali ke Rasya saya cewek itu pergi.
"Aku gak nyangka, ternyata diamnya kamu selama ini karena menyimpan wanita idaman lain. Dan lebih parahnya kamu bikin dia hamil. Ke mana hati nurani kamu, Rasya? Kalau memang menyukainya, kenapa gak bilang dari awal? Kenapa sampai bikin hubungan kita berlanjut tapi berakhir begini?"
"Maafkan aku, Dis."
"Maaf? Kamu bilang maaf?" Aku mencoba menarik napas seraya menguatkan diri, lantas menatap lama dan dalam ke Rasya.
"Kenapa bisa kamu selingkuh? Apa kurangnya aku? Bukankah kita sudah lama pacaran? Aku kira kita baik-baik aja. Aku kira kamu selama ini diam karena ngerti aku."
Rasya terdiam, menunduk dalam. Sementara diamnya Rasya membuat emosi aku makin naik. Aku geprak meja hingga bunyiannya mengundang atensi pengunjung lain. Aku gak peduli. Aku benci lelaki ini!
"Coba jawab! Salahnya aku di mana?" teriakku.
Semua orang memandang ke arah kj dengan tatapan yang ... entah. Aku yang sudah diselimuti kekesalan mengabaikan tatapan dan anggapan orang. Persetan dengan yang lain. Aku gak peduli. Mengurus hati saja susah, buat apa memikirkan isi benak orang-orang?
"Dis, tenanglah." Rasya tampak panik. Ah, kayaknya malu lebih tepatnya.
Tapi aku gak mau tenang. Modelan dia ini memang pantas dipermalukan.
"Tenang?" Aku tergelak miris. Mirip Anggun C Sasmi ketika ditawari jadi duta merek sampo lain.
Nyesek ya Allah
"Kamu kira aku bisa tenang di situasi seperti ini, ha! Dasar buaya!" teriakku lagi.
"Maafkan aku, Dis. Dia selalu ada buat aku. Dia gak terlalu sibuk kayak kamu. Dia manis, dia cantik, dia muda. Dan aku tergoda."
What the hell!
"Rasya!"
"Tapi aku jujur."
Perkataan Rasya buat aku makin murka. Entah kenapa kejujuran itu serasa penghinaan.
"Kamu ngehina aku?"
Dia diam.
"Bukannya dari awal kita pacaran kamu udah tau kesibukan aku? Aku ini penulis, Rasya. Aku selalu dikejar deadline."
"Iya, aku tau. Tapi aku gak tau bakalan tergoda di tengah jalan. Rani itu wanita baik. Dia cantik dan menarik. Gak kayak kamu. Terlalu sibuk dengan dunia halu dan gak pernah nganggap aku."
Asli, ingin rasanya aku injak muka Rasya. Laki-laki ini menampakkan ke-brengsekannya sekarang. Aku rugi sempat berharap lebih. Terlebih lagi aku malu sempat ingin menangisi pria jahat ini beberapa menit yang lalu.
Byur!
Air dalam gelas telah mendarat di wajah dan membasahi jas yang Rasya kenakan. Ya, aku menyiramnya. Aku benci dia.
"Kamu brengsek!"
"Dis?"
"Kamu jahat!" teriakku lagi.
Tapi, tiba-tiba dia terkekeh-kekeh. Nyebelin banget. Apa itu maksudnya.
"Wajar aku selingkuh! Lagian siapa juga yang berharap perempuan hampir tua kayak kamu."
"Rasya!"
Ya Allah, kepalaku mendadak sakit. Darah serasa berkumpul di belakang leher. Rasanya kaku dan membuat pening. Hinaan Rasya lumayan melukai harga diriku. Brengsek!
Byur! Kembali air mendarat di wajah Rasya. Namun, bukan air putih seperti sebelumnya, melainkan air kobokan.
"Dasar bedebah sialan!" Aku ambil lagi gelas berisi jus dan hendak menyiramnya. Akan tetapi tertahan, sebuah cekalan di lengan menghentikan. Tampak lelaki tampan yang wajahnya sangat familier menatap dengan tatapan yang ... aneh.
"Irka?"
"Masih ingat rupanya," balasnya yang sumpah buatku mau nyakar tembok. Apes bener. Aku diputuskan depan laki-laki sialan macam Irka.
***
follow IG aku yuk buat lihat visual mereka.
adisty_rere.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
SulasSulastri
kasih racun tikus aj modelan cowok begituan mah 😠
2023-06-13
0