Sekarang ini aku sama Irka lagi di jalan menuju rumah dinas. Rumah yang ditempatinya selama di sini. Aku jalan bareng dia setelah tadi lepas Emak pulang.
"Dis, yang langgeng ye. Jangan nunda lagi. Kalian udah pada tua. Mak dah pengen nimang anak elu!" kata emak tadi. Kata-kata itu masih terngiang-ngiang sampai sekarang.
"Insya Allah, Mak. Nanti mama papa pasti ke rumah Emak buat nentuin tanggal. Sekarang mama sama papa masih ada urusan di China," balas Irka.
Dan, aku cuma diam lihat keakraban mereka. Kadang aku berpikir emak ini sebenarnya sayangnya itu ke aku atau Irka. Soalnya perlakuannya beda. Sama Irka senyumnya lebar, sama aku mah pelit. Udah dikit, dipangkas lagi. Durasinya cuma sekian detik. Perlakuannya makin kelihatan beda saat menginjak hari kelima kami jadian.
Eh enggak. Kayaknya kata jadian terlalu norak untuk aku ucapkan. Kami sudah terlalu tua. Mungkin lebih tepatnya lima hari kuterima lamaran Irka. Cincin berliannya bahkan masih terpasang.
Cantik, tapi aku Gak ada niat lihat sampai baper. Aku juga gak ada niat lepasin cincinnya. Soalnya Emak begitu berharap aku nikah sama Irka.
Demi emak aku bakalan gali lagi perasaan yang sempat aku kubur. Barangkali masih ada sisa-sisa rasa yang nyelip. Barangkali!
"Jadi kamu tinggal di sini?" tanyaku sambil buka pintu mobil.
Sepemgamatan aku rumah ini kayak rumah dinas biasa. Terasnya juga gak terlalu besar. Cuma, halamannya luas banget. Ada pohon mangga di depan. Dan Irka pakai jadi tempat parkir mobil.
"Iya, ini rumah dinas. Kecil tapi cukup nyaman. Yuk, masuk!"
Aku pun ikuti langkah Irka. Dia buka pintu rumah dan aroma harum ruangan langsung menyergap hidung. Kupandangi sekitar dan sangat rapi. Memang tipikal Irka banget. Sejak dulu dia memang penyuka kebersihan. Tertata semuanya. Perempuan aja kalah.
"Rumah ini hanya ada dua kamar. Aku harap kamu betah tinggal di sini sebelum rumah kita jadi."
"Rumah kita?" Kupandangi Irka.
"Iya, rumah kita. Aku ada beli tanah di sekitar sini dan sekarang lagi ditahap membangun. Aku yakin kamu bakalan suka soalnya rumah ini impian kita. Minimalis yang halamannya luas."
Aku diam mengerjap natap Irka. Memang, dulu aku pernah berandai-andai punya rumah kecil dua lantai dengan pekarangan luas. Ada taman bermain dan kolam. Biar anak-anak betah di rumah. Gak nyangka dia masih ingat itu dan sekarang berusaha wujudkan semua.
"Ka?"
"Aku serius. Aku ingin memulai lagi. Jadi jangan ragu. Aku tulus sama kamu. Aku sayang dan beneran pengen berumah tangga sama kamu."
Irka tersenyum dan kulihat ada ketulusan di sana. Hanya saja ketulusan itu kayak gak nyampai. Ada yang mengganjal di dada ini.
"Kenapa diam?" tanyanya.
Aku menggeleng. "gak apa-apa."
"Aku serius mau berumah tangga sama kamu. Aku ingin perbaiki hubungan kita," lanjutnya. "Kamu mau kan?"
Aku mengangguk lalu memberi senyum. Setelahnya entah kenapa penasaran dengan alasan dia menghilang.
"Ka, kamu masih belum mau cerita kenapa kamu gak ngabarin aku? Kamu ngilang," kataku.
Kulihat Irka mundur, terlihat gugup. Lalu, tiba-tiba dia masuk ke dalam dan bawa nampan serta air mineral.
"Minum dulu," katanya sambil berlalu melewatiku. Dia duduk di sofa.
"Ka?"
"Minum, Dis,"
Sudah aku duga, dia belum mau cerita. Kenyataan ini sedikit buatku sakit. Apa sesulit itu jujur?
Terpaksa aku duduk dan menyambar minuman dingin yang dia hidangkan.
"Bisa gak itu jangan ditanyakan?" tanyanya.
Kupandangi lekat Irka.
"Itu masa lalu dan sekarang kita bersiap jemput masa depan," lanjutnya.
"Tapi aku penasaran. Kamu ngilang dan orang tua kamu juga gak mau bilang. Mereka cuma bilang aku gak usah khawatir. Kamu baik-baik aja."
"Mereka benar, aku baik-baik aja."
"Justru aku yang gak baik-baik aja, Ka!" teriakku. Dia diam.
Aku tarik napas panjang. Menetralkan emosi. Sudah sering kali bilang gak boleh emosional, tapi tetap aja berakhir teriak saat ingat itu. Aku di-bully dan dia hilang entah ke mana.
"Maaf," ujarnya.
Entah kenapa aku bosan dengar kata ini.
"Sudahlah, aku mau pulang," kataku lalu berdiri.
"Gak mau lihat calon rumah kita?"
Lamat kupandangi Irka dan melihat kesungguhan di sana.
"Ya sudah ayo." Aku menyanggupi.
Setelah itu kami pun lanjut perjalanan dan memang benar ada lahan kosong.. Ada batu-batuan dan lainnya. Kayaknya Toko bangunan sedang mengantar bahan. Banyak pekerja di sana.
"Kita akan bangun keluarga kita di sana," katanya.
Aku memejam, lalu mengaminkan dengan pelan.
"Mau langsung pulang apa jalan-jalan?" tanya Irka. Mobil mulai berjalan lagi.
"Pulang aja, Ka. Aku capek semalam bergadang," sahutku.
"Yasudah, nanti istirahat. Jangan lupa ngabarin," balasnya.
Aku mengangguk, lalu liat depan. Saat ini jalan sedang padat. Aku makin gak sabar mau sampai rumah.
****
Malam.
Setelah selesai dengan naskah kucoba kabari Irka. Nanya dia. Darimkasus Rasya aku coba introspeksi diri. Rasya selingkuh lantaran aku terlalu cuek. Makanya kucoba bersikap layaknya pasangan lain.
[Lagi apa, Ka?]
Tapi anehnya pesan gak dibalas. Padahal centang dua. Biru.
[Sibuk? Kalau gitu lanjut aja. Nanti kalau udah senggang balas, ya]
Kali ini pesanku centang satu abu-abu. Agaknya dia memang sibuk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments