Michelle mencengkram erat stir mobil sembari mengambil napas dalam-dalam.
“Mas Dominic sudah sampai rumahmu, Jo! Kita nggak tahu musyawarah nanti hasilnya apa tapi aku memintamu untuk memutuskan Puspita dan menikahi ku!”
Paijo menelan ludah karena tiba-tiba tenggorokannya terasa kering. Sampai permintaan itu terlontar Paijo masih mencoba menghubungi Puspita untuk memastikan wanita itu membalas pesannya walau hanya selarik kata.
Sungguh Paijo hanya ingin mencari nyawa dalam hubungan mereka yang sudah lama berjarak. Ia sudah kadung berjuang untuk mendapatkannya dengan menjadi abdi negara.
“Gimana, Jo? Kita sudah harus menuju sidang putusan ini!” ucap Michelle dengan suara naik setengah oktaf.
Paijo meringis saat mengingat betapa rumit keadaannya saat ini.
“Kita lihat nanti.” ucapnya sambil memakai sabuk pengaman, yakin, rumitnya perasaan wanita itu akan membuatnya tidak fokus mengemudi meski tatapannya terus tertuju pada paras bening yang sejak tadi tampak kusut.
“Kalau aku menikahimu, aku nggak bisa menjanjikan apapun apalagi kehidupan mewah seperti di keluargamu, Sel. Poin itu bisa kamu pertimbangan.”
Michelle mengetuk-ngetuk stir mobilnya dengan kukunya yang memakai kutek biru langit. Ia terdiam mencoba meredam kegelisahan yang memenuhi kepala.
Makan ketela rambat aku sudah biasa, makan keju aku sudah biasa, menjadi rakyat biasa aku belum tahu rasanya.
Kening Michelle berkerut, tinggal lima belas menit lagi ia sampai pada kejutan yang telah disiapkan Dominic untuknya dan Paijo, namun belum juga ia temukan jawaban dari kegelisahannya.
Michelle menepikan mobilnya di bahu jalan yang sepi dan jauh dari rumah penduduk. Menghela napas ia melepas sabuk pengamannya seraya mencondongkan tubuhnya ke arah Paijo.
“Cium aku, Jo. Cium aku sebelum nanti aku nggak bisa ketemu kamu lagi karena terpaksa pertemuan kita berakhir malam ini.” ucap Michelle dengan suara gemetar seraya memejamkan mata.
Paijo bertahan di tempat duduknya, pegawai kelurahan itu menatap jarinya yang tersemat cincin tunangan. Wajah Puspita terbayang di memenuhi pelupuk matanya, tersenyum kaku dengan seragamnya yang gagah berani.
“Kita nggak bisa melanjutkan kesalahan kita, Sel. Berhenti berharap!” ucapnya serius seraya memandang ke depan sambil mengangkat dagunya.
Itu tidak mungkin terjadi, Michelle pasti akan bersedih jika pertemuan mereka tak cukup panjang dan kesalahannya akan semakin besar, dosanya tertumpuk dan tak termaafkan.
“Kita pulang.” ucap Paijo, menamatkan keinginan Michelle yang kini hanya akan menjadi mimpi.
Perempuan di sampingnya itu makin muram di bangku kemudinya yang nyaman. Michelle pun sangat tahu, nyalinya belum siap bersemuka dengan kebenaran yang disuarakan logika dan hatinya.
Michelle mencengkram pelipisnya dengan tangan kiri sebelum melajukan mobilnya dalam campuran rasa bimbang yang tergambar begitu transparan di raut wajah pasangan mesyum itu.
Memasuki gang kampung yang sunyi dan melewati persawahan membuat pasangan itu bergidik ngeri meski di luar mobil kunang-kunang berkerlip-kerlip, kodok mengorok dan jangkrik berisik membuat Michelle rindu masa kecil di kampung halaman ayahnya di daerah Batu, Malang. Kota sejuk yang berada di kawasan pegunungan itu membuat sanak keluarga Marisa—ibu Michelle—dari Michigan betah berlama-lama main di sana.
Sesampainya di halaman rumah yang tertutup pintunya, ada dua motor yang terparkir di sana. Michelle dan Paijo saling menatap dengan benak yang berharap pintu itu belum akan terbuka dalam waktu singkat.
“Aku pikir jantung kita sama-sama berdetak kencang, Jo.” Michelle menyentuh dadanya. “Jantungku bergemuruh seperti saat kamu menciumku.”
Paijo meraih tasnya yang teronggok di kaki seraya memangku tas ranselnya sebelum mengusap rambut Michelle yang wangi dan lembut, perasaannya carut-marut. Menghadapi Dominic? Menghadapi bapaknya? Sepertinya hari ini ia membutuhkan anti depresan untuk menyeimbangkan suasana hatinya yang depresi.
“Keluar, kita rampungkan urusan ini sebaik-baiknya.” ucapnya serius.
“Peluk dulu, aku harus tenang.” Michelle merenggangkan tangannya.
Untuk yang terakhir. Paijo merentangkan tangan untuk menerima pelukan Michelle yang erat dan tak ingin terlepaskan.
Di saat yang sama, keluarga dua belah pihak yang mendengar mobil Michelle sepakat untuk keluar rumah. Di bawah pohon mangga yang teduh, dan penerangan di teras rumah yang remang-remang masing-masing dari mereka yang menyaksikan tontonan gratis itu melebarkan mata dan semakin mempertebal kesalahan Michelle dan Paijo di mata Kusumonegoro.
Dominic melirik ayahnya dan Kusumonegoro dengan ekor mata. Senyumnya terlihat geli dengan apa yang diumbar pasangan dalam mobil itu.
“Diam-diam Paijo sesat juga, cewek kok sampai dua.” batinnya sambil mendekat ke mobil.
Prambudi terlebih-lebih, paras ayah tiga anak itu nampak terpukau melihat putrinya bermesraan dengan laki-laki orang.
“Adikmu bener-bener nggak waras, Dom. Memalukan!” ucapnya dengan gegas mengikuti Dominic. Sementara itu, tanpa alas kaki Kusumonegoro berjalan tegas seraya menggebrak-gebrak kap mobil.
“Diulangi teros... Diulangi terosss...” ucapnya dengan suara kencang. Tarikan napas tajam mengakhiri ucapan Kusumonegoro.
Di dalam mobil, Michelle dan Paijo terperanjat seraya melepas pelukan mereka dengan cepat. Tak kalah terkaget-kaget, Michelle yang mendapati ayahnya bergeming di depan mobil sambil berkacak pinggang melebarkan mata sampai kelopak matanya nyaris mencelat dari tempatnya.
”Papa.” gumam Michelle.
Memahami gerak-gerik bibir putrinya, Prambudi menuding ke arahnya.
“KELUAR KALIAN BERDUA!”
Tidak ada kata lega di raut wajah mereka yang tegang dan keruh, tidak ada celah untuk menghindar pula. Yang bisa mereka lakukan hanyalah menghadapinya.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
emak gue
ancen embuh....🤣🤣🤣
2024-06-13
0
Ersa
grebek njuk arak nuju KUA Pak Kus, Mas Dom, Pa Pram...🤣🤣
2023-08-24
1
Ersa
Tuman 🤣🤣🤣
2023-08-24
0