Berada di kamar yang tertutup dan hanya mendapatkan penerangan dari lampu ruang tamu logika Paijo semakin semrawut. Handuk yang membebat tubuh Michelle terasa kurang pendek, pikirnya yang di hasut setan lewat.
“Pakai bajumu terus sembunyi di bawah dipan!” bisik Paijo di telinga Michelle.
Rasa hangat yang sopan menyentuh telinganya membuat Michelle bergidik geli seakan ada hiburan di tengah suasana genting yang mendebarkan hati.
Michelle menggelengkan kepala, tidak setuju. Berasa di kolong dipan adalah pilihan yang berat. “Kenalin aja aku sama bapakmu daripada kamu sembunyiin aku di sana, geli.”
Suaranya yang lembut menyentuh kuping Paijo serupa ajakan untuk melihat hamparan sawah yang menghijau di bawah terik matahari siang. Menyegarkan mata sekaligus membuat badan gerah.
”Nurut saja, sudah pakai bajumu.”
Di saat yang sama. Kusumonegoro mendekat ke kamarnya dengan wajah lelah.
“Jo... Paijo. Di dalam kamu, Le?”
Mampus. Bapakku patroli.
Buru-buru Paijo menyentuh bahu Michelle seraya mengajaknya berjongkok. Jantungnya berdetak serupa double pedal yang menghentak keras, kegawatan terjadi begitu pesat di benaknya.
Mereka berhadapan dengan napas yang saling membaui satu sama lain. Begitu dekat wajah mereka sekarang hingga memusnahkan akan sehat yang tersisa.
”Gawat ini, Sel.” bisiknya sangat pelan dan dekat sampai hidungnya menyentuh telinga Michelle. “Jangan ngeyel, masuk bawa kopermu sekalian!”
Michelle meringis. Berduaan di kamar dengan kondisi remang-remang membuat pikirannya berkelana akan kedekatan yang sangat lekat dengan laki-laki berkulit eksotis itu. Tapi demi menyelamatkan harga diri Paijo, Michelle menurut. Ia menelungkupkan badan sampai kepalanya menyentuh lantai seraya merangkak hati-hati dengan ke bawah kolong dipan.
“Jo, Paijo...” Kusumonegoro mengetuk-ngetuk pintu kamar, tidak sabar. “Kalau di panggil bapak itu jawab! Di kamar kamu?”
“Nggih, Pak. Nggih.” Paijo mendorong koper Michelle dengan tumitnya mengikuti jejak sang pemilik yang meringkuk bersama sarang laba-laba dan bau khas kamar bujangan. Apek dan berdebu.
“Paijo nyebelin.” Michelle menggerutu dalam hati, bukannya mendapat perhatian extra dari lelaki yang ia datangi tanpa perlu membuat jadwal temu, ia malah menemukan apa yang belum ia bayangkan dalam hidupnya sebagai anak konglomerat!
Paijo menarik daun pintu seraya membetulkan sarungnya. Lagaknya berpura-pura habis bangun tidur.
“Kenapa, Pak?”
Kusumonegoro yang masih menggunakan baju peranakan abdi dalem Keraton Yogyakarta dengan blangkon yang menjadi mahkota terbaiknya mengamati langit-langit kamar.
“Mati lampune, Jo?” tanya Kusumonegoro heran, bukan karena lampunya yang mati dan hilang tapi aroma feminim yang tersebar di kamar anaknya menyusup samar-samar saban tarikan napasnya terjadi.
“Bapak nyium wangi-wangian yang sama di kamar mandi. Sabunmu baru?” imbuh Kusumonegoro.
Tangan Paijo menarik daun pintu sambil meringis aneh, tetapi tangan Kusumonegoro lebih cekat menahan dan mendorongnya sampai pintu itu terbuka lagi.
Hidung Kusumonegoro mengendus semakin sering dan serius.
“Beli wangi-wangian baru kamu, apa tadi kamu bawa Puspita ke kamar?” Kusumonegoro serius menatap Paijo, jabang bayinya dengan Kasidah Wastini yang tak pernah beruntung di kasus percintaan.
Sulit jodoh, susah gaul, bahkan pernah sekali ia berpikir untuk mengganti namanya dengan nama yang lebih modern supaya tak ada yang malu memiliki mantu dan suami bernama Paijo, namun alangkah leganya Kusumonegoro sebelum benar-benar niatnya tersampaikan pada Kasidah yang urun memberi nama spesial untuk anak laki nomer satu, rumah gedek yang ia renovasi memudahkan Paijo mendapat pacar ketika berusia 30 tahun.
“Nggak beli wangi-wangian baru aku, Pak. Apalagi masukin Puspita ke kamar. Nggak mungkin itu. Ini mungkin wangi kuntilanak atau peri dari pohon randu di belakang rumah.”
Kusumonegoro tidak percaya, ekspresi Paijo terlihat mengada-ada. Ia memilih wira-wiri sambil mengendus selarik aroma yang saban mendekat ke kasur semakin jelas terasa.
Kusumonegoro mengernyit, dugaan anaknya mungkin betul, mungkin juga tidak, Puspita tidak mungkin ke kamar anaknya, calon mantunya itu terdidik santun dan tegas bahkan menjadi tukang gerebek hotel-hotel kelas melati karena ia seorang polisi wanita.
“Sudah, Pak. Nggak ada apa-apa di kamarku.” ucap Paijo mencoba mengusir bapaknya.
Kusumonegoro ingin melakukannya tetapi kata hatinya memintanya membungkukkan badan dan melongok ke bawah dipan yang ia yakini betul ada apa-apanya.
Paijo mengayunkan kakinya dengan sengaja. “Iyonggh...” serunya saat menendangkan jari kakinya ke kaki dipan, teriakan itu serta-merta mengurung niat Kusumonegoro membungkuk.
Paijo berjingkrak-jingkrak dengan satu kaki sementara kakinya yang sakit tertekuk ke atas, Paijo memegangi jarinya yanby sakit.
“Wes beli lampu dulu, keburu Lik Mul tutup!” ucap Kusumonegoro sembari keluar kamar.
Paijo mengikutinya dengan wajah pucat lega yang terlihat di wajahnya yang eksotis. Cemas dan sakit bercampur aduk di tubuhnya sementara Michelle mengigit bibirnya menahan tawa. Hampir kepergok.
“Lampu kamar mandi tadi mati, Pak. Tak ganti pakai lampu kamarku dulu.” jelas Paijo setelah merasa tenang.
”Terus mau gelap-gelapan sampai besok pagi, iya?” Kusumonegoro menggelengkan kepala. “Apa perlu bapak yang pasang lampunya?”
“Ya enggak, Pak.” Paijo menggeleng kecil.
Kusumonegoro melepas blangkonya sembari menghela napas. Lelah ia duduk di kursi lawas seraya menatap anaknya yang sekali dua kali menengok ke belakang.
“Terus kenapa hanya diam? Mau minta duit?”
“Kalau bapak mau kasih Paijo terima.”
Mendengus lelah, jari telunjuk Kusumonegoro merogoh kain lilit yang berputar di pinggangnya untuk mengambil uangnya.
Paijo berjalan keluar rumah setelah menerima uang lima puluh ribu dari bapaknya.
Ke warung Lik Mulyadi, pemilik warung yang melihat kedatangannya melambaikan tangan antusias.
“Mobil siapa yang parkir di rumahmu, Jo? Apik banget, kinclong.” Lik Mulyadi berdecak kagum. “Pasti mahal itu.”
Paijo tak menggubris, jantungnya masih berdebar tak tertolong. Ia membuka lemari showcase dan bergeming di sana sementara waktu untuk mendinginkan kepalanya yang riuh akan ide.
Paijo berpikir bagaimana cara mengeluarkan Michelle dari kamarnya setelah bapaknya pulang, rasanya tak semudah memasukkan wanita itu ke dalam kolong dipan.
“Jo, Paijo.” Lik Mulyadi menyabetkan kemoceng ke punggung Paijo. Kaget dan gugup, Paijo meraih satu minuman dingin seraya menutup lemari showcase. Tatapannya menghindari tatapan Lik Mulyadi yang heran dengan memilih jajanan ringan di atas etalase kaca.
“Sudah Lik, sekalian lampu 15 watt.” ucap Paijo, ia mengambil satu lagi minuman dingin rasa jeruk di lemari showcase dan meminumnya langsung seperti orang kehausan.
Lik Mulyadi yang menahu tentang kedatangan mobil merah di halaman rumah Kusumonegoro meringis.
“Bejo banget kamu, Jo. Dapat tunangan polwan terus punya kenalan wong sugih, izin pak RT dulu sana kalau ada yang mau nginep. Pasti di kasih izin itu sambil di sogok martabak telur.” Lik Mulyadi menggeser penutup etalase kaca, tangannya meraih kotak berisi lampu 15 watt seraya memasukkan belanjaan Paijo ke plastik transparan.
“Nggak nginep itu, Lik. Cuma main.” Paijo tersenyum dalam duka sembari membayarnya.
Lik Mulyadi memberikan uang kembali sembari berkata, “Main lebih dari jam sembilan juga harus izin, Jo. Ingat jam tamu.”
“Iya, Lik.” Paijo meraih belanjanya seraya keluar warung. Langkah lemasnya di jalan aspal tak rata di kampungnya penuh pertimbangan.
Lapor Pak RT, tidak. Lapor Pak RT, tidak.
Paijo menggeleng kepala. Lapor Pak RT hanya akan menambah luas kabar kedatangan tamu wanita di rumahnya dan yang perlu ia lakukan hanyalah mengusir Michelle yang entah sekarang masih hidup atau pingsan.
Sampai di rumah, Paijo masuk rumah lewat bedeng belakang. Kusumonegoro menatap belanjaan anaknya yang seperti bocah sd sambil menjemur kain jarik yang ia cuci dengan lerak di tali tambang yang terikat di satu tiang ke tiang satunya. Meski begit ia maklum, mungkin Paijo bosan keseringan membeli keperluan rumah.
“Cepat di pasang itu lampunya biar kakimu nggak kesandung lagi!” Kusumonegoro mengingatkan.
Paijo berdehem seraya masuk ke kamar, setelah memasang lampu baru ia bersujud di samping dipan setelah mengunci pintu kamar.
“Michelle... hai...” Paijo mengeluarkan kopernya seraya meraih tangan Michelle yang menjulur keluar, ia sekuat tenaga menariknya dengan perasaan tidak tenang.
“Yungalah.” Sekujur tubuh Michelle yang menempel di lantai berdebu. Sejenak, Paijo merasa kasihan. Tapi benaknya bersorak kegirangan. Kapok, pikirnya, salah sendiri datang-datang tanpa kabar lalu membuat kerusuhan.
“Pakai bajumu terus keluar dari rumah kalau bapak sudah tidur.” bisiknya kikuk di telinga Michelle.
Tanpa sempat laki-laki itu sadari, Michelle memeluknya. Tubuhnya membeku dan debu berterbangan dari rambut dan handuknya membuat Paijo bersin-bersin berulang kali.
...---------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Asngadah Baruharjo
wes Jo Paijo
2023-11-09
0
Anonim
Paijo...Paijo....pait dah uripmu nek koyo ngono kuwi wkwkwk
2023-09-04
0
via
kelakuane Podo ae,marai guyu 🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2023-05-29
1