Kepalang tanggung sudah bangun di sore hari, Michelle Josefine Prambudi 27 tahun, model dan pemilik rumah designer berkelas di Surabaya mengunyah permen sembari membuka pintu mobil ketika Paijo sudah pulang bekerja.
Jam setengah lima mereka kembali bertemu di bawah langit Bantul yang masih bersinar cerah dengan kecepatan udara yang berembus sepoi-sepoi.
Paijo yang menunggu ojek daring di bawah pohon ketapang kencana yang dipangkas sedemikian rapi mendengus seraya membatalkan pesanan.
“Michelle lagi, Michelle lagi. Ampon.”
Di parkiran yang di huni dua mobil dinas dan empat motor pegawai kelurahan yang masih menyelesaikan beberapa berkas kependudukan, ingin sekali Michelle membenamkan wajahnya di dada Paijo yang lapang dan nyaman setelah pria itu masuk ke mobilnya di tengah suasana lengang.
“Nggak usah macam-macam!” kata Paijo memperingati dengan spontan saat ia condong ke arahnya.
Michelle mencebikkan bibir dan Paijo tidak pernah mengira perempuan yang biasanya berada di bawah gemerlap lampu kristal dan ruangan ber-AC serta pemakai baju branded yang ia beli saban mampir ke mal mampu terpesona kepadanya.
“Puspita dulu tidak begini amat sukanya sama aku.”
Paijo menghadap ke arah Michelle, mengamati raut wajahnya yang habis tidur. Seketika ia paham kenapa wanita itu bisa menjemputnya.
Paijo menghela napas. “Aku nggak bisa ngajak kamu ke rumah, kita ke hotel lagi saja, kamu butuh mandi.”
“Bagus juga idemu, Jo.” Michelle mengamati arus lalu lintas di sekitarnya seraya mengajak pria itu kembali ke hotel bintang tiga yang mereka tempati semalam.
Hotel dengan gaya klasik yang di lengkapi kolam renang besar dan suasana asri yang menenangkan.
Paijo berekspresi kecut ketika wanita itu hanya memesan satu kamar untuk beristirahat di lantai dasar yang mempunyai pemandangan langsung ke kolam renang dan taman.
“Mau kamu dulu atau aku yang mandi?” Michelle menaruh kopernya di lantai seraya berjongkok dan membuka resleting koper.
“Gini ajalah sambil nunggu mas Dominic sampai dan bapak pulang, aku mau renang dulu terus jalan-jalan. Gimana, setuju tidak?” kata Michelle.
“Ntar kita itu bahas sesuatu yang penting dan memusingkan, Sel. Bisa-bisanya kamu ngajak jalan-jalan! Nggak, males aku.” protes Paijo sembari melepas sepatunya dengan posisi membungkuk.
Sudah sejak tadi ia cemas menunggu kedatangan Dominic, ia pusing harus memilih keputusan apa untuk menyelesaikan kesalahannya. Sudah sejak tadi pula ia menghubungi Puspita untuk bertemu dan bicara hal-hal yang telah ia persiapkan maksudnya. Namun ia terlampau pening menghadapinya seorang diri dan sesak napas oleh kebimbangan yang kian mengusiknya lebih dahsyat.
Paijo yang berdiri di depan ranjang mencegah Michelle melepas kaus Balenziaga di ambang pintu kaca yang terbuka.
“Nanti dulu jangan buru-buru kamu buka bajumu, Icel!”
Michelle tersenyum tipis seraya menoleh ke arah laki-laki yang melepas kancing seragam dinas harian berwarna khaki itu.
“Mau renang aku tuh, bukan godain kamu.” Michelle mengingatkan sembari menurunkan kausnya yang sudah terangkat setengah. Mengeksploitasi keistimewaan yang di milikinya hingga membuat urat Paijo nyaris tegang.
“Aku ngerti.” balas Paijo, “Kita ngobrol dulu sebentar, menyepakati musyawarah nanti malam.”
Sekitar dua meter, keduanya duduk berjarak. Paijo di tepi ranjang, Michelle berdiri di bawah dua lampu petromax pajangan dinding.
Keduanya sama-sama menumpahkan perhatian di wajah dan sekujur masing-masing lawan bicara. Rasa kagum tersebar di sana ini namun tak mampu membangkitkan libido keduanya yang tertawan resah.
“Dominic bisa maklum kenapa kita berbuat seperti tadi malam, tapi bapakku enggak.” ucap Paijo memulainya.
“Oh itu...” Michelle lalu mengangguk. “Tentu mas Dominic maklum, dia playboy kan, mantannya banyak. Yang di cium sudah lusinan.” urainya santai.
“Tapi sudah kubilang, kamu sudah ngintip aku ganti baju, kita juga sudah ciuman. Gak cuma sekali, ingat! Kamu sudah lihat bentuknya gimana dan aku jamin kamu nggak bisa lupa karena punyaku indah.” Michelle menghela napas.
“Kamu harus tanggung jawab sudah ngintip aku dan ngajak aku ke kamarmu karena seharusnya itu nggak perlu. Sementara aku tanggung jawab karena sudah peluk kamu dan cium kamu. Deal or no deal?”
Paijo menggeleng pelan. “Masalahnya aku sama kamu beda, Sel. Kamu kaya, aku cuma pns. Keluargamu pasti tidak mau kamu turun kasta dengan adanya pernikahan ini.”
Kali ini, Michelle tidak berkomentar, bukti bahwa ia memikirkan ucapan Paijo. Lelaki itu cukup realistis menyikapinya sebab hubungan mereka nantinya melibatkan banyak masalah serius dan akan membuat semuanya semakin kusut.
Tanpa bicara, Michelle melepas kausnya seraya mencampakkannya di meja. Dia membiarkan pembicaraan mereka menggantung sementara waktu.
Wanita itu menuju kolam renang sebelum melompat ke sana, byurrrr... tubuhnya meliuk-liuk di dalam air seorang diri sembari memikirkan ucapan Paijo.
Gimana kalau papa nggak setuju, nenek bawel, mama pingsan, kakak ngakak sampai mati. Gimana kalau mantan-mantanku ketawa aku nikah tanpa cinta yang matang dan besar hanya karena kepergok ciuman.
Michelle yang tidak fokus berenang membentur dinding hingga membuatnya kelabakan di dalam air. Ia megap-megap dengan tangan yang mengeluarkan bunyi kecipak riuh.
Di detik itu Paijo menarik napas seraya berlari cepat dan melompat ke dalam air. Ia meraih tubuh wanita yang mulai kehilangan oksigen di dalam air seraya membantunya naik ke permukaan. Ketercekatannya membuat pupil Michelle menggeriap.
Paijo dan Michelle sama-sama terengah-engah di pinggir kolam dengan satu petugas jaga yang ngacir ke arah mereka dengan panik.
Paijo mengusap wajahnya dan mengangkat tangan. “Nggak apa-apa, mas. Sudah kondusif.”
Petugas jaga yang menggunakan seragam kerja menganggukkan kepala dengan mata yang tertuju pada tubuh indah Michelle yang hanya berbalut dalaman merah muda.
Sadar, Michelle sedang dinikmati laki-laki yang berusia sekitar tiga puluh tahunan. Paijo membalikkan badan di depan Michelle yang masih terkaget-kaget dengan apa yang terjadi.
Paijo memamerkan punggungnya untuk di lihat pria itu sembari mendekat ke wajah Michelle.
“Pindah ke kamar. Dia melihatmu dan aku tidak mungkin membiarkannya menjadi penggantiku di pelaminanmu.” bisiknya serius.
“Aku, lemes.” Aku Michelle sambil mengerjapkan mata. Paijo sudah memberi isyarat tentang keinginannya yang memancing senyum tipis Michelle.
Di saat yang sama, Paijo tak keberatan menggendong Michelle ala pengantin baru ke dalam kamar. Meninggalkan penjaga hotel yang tersenyum kecut.
“Gagal maning, gagal maning. Pemandangan indah ada yang punya.” Langkah kakinya kembali mengarah ke dalam hotel untuk melanjutkan tugasnya.
Saat kembali ke kamar, Paijo menurunkan Michelle di bawah siraman cahaya lampu dan yang benderang. Tubuh indahnya yang terpampang jelas dan kain tipis yang basah melekat di tubuhnya membuatnya menahan napas.
“Untung aku dulu sering latihan renang di kali, bagaimana kalau aku tidak bisa renang tadi?” kata Paijo galak.
Michelle berdiri setengah telanjang, celananya tertinggal di teras kamar, bajunya di meja sementara di depannya ada pria yang memakai singlet putih dan celana dinasnya basah kuyup berkacak pinggang.
“Kepalaku kebentur dinding.” akunya pelan. “Makasih sudah di tolongin.”
Alarm di kepala Paijo mengingatkan untuk segera meninggalkan Michelle. Tetapi hatinya menyuruhnya mengelus kepala wanita itu dengan pelan.
Paijo berdehem sambil membalikkan badan. Tangannya meraih handuk putih yang tersedia di bufet minimalis. “Tutup pintu, biar aku mandi dulu dan cari makan!”
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Ersa
cieee dah haqul yakin aja nih sampe pelaminan... gaaasss Jo
2023-08-24
1
Umine LulubagirAwi
awas paijo. hrs jg imnmu lg
2023-07-03
1
App Putri Chinar
ga fokus renang malah kejedot
2023-05-08
0